Dalam wawancara dengan GIJN, enam jurnalis foto ternama dari berbagai negara menjelaskan pendekatan yang mereka gunakan saat menjepret berbagai momen terkait Covid-19.
Di berbagai belahan dunia, para jurnalis foto memutar otak untuk mendokumentasikan pandemi sembari tetap membuat orang-orang yang difoto terhindar dari virus korona. Mereka juga berusaha membuat foto yang berdampak.
Joshua Irwandi memantik debat publik di Indonesia setelah memublikasikan foto yang merekam jasad korban Covid-19 dibalut plastik untuk mencegah penyebaran virus. Foto tersebut menjadi sampul muka majalah National Geographic edisi Agustus. Di akun Instagram National Georaphic, foto tersebut disukai lebih dari sejuta pengguna hanya dalam waktu beberapa hari.
Bekerja dengan Jurnalis Investigasi
Di Peru, fotografer lepas Omar Lucas bekerja dengan jurnalis investigasi IDL-Reporteros untuk menyelidiki usaha pemerintah mengurangi jumlah kematian akibat virus korona. Untuk membuktikan dugaan tersebut, Lucas memfoto kru rumah jenazah swasta berbalut alat pelindung diri (APD) lengkap ketika mengambil jasad dari beberapa rumah. Saat melakukan liputan, Omar menjaga jarak sejauh 6 kaki agar tak terpapar virus.
“Banyak tantangannya, tetapi yang tersulit adalah menghilangkan rasa takut dan masuk ke ruangan tempat jenazah disimpan. Dalam beberapa kasus, saya harus menunggu hingga momen yang tepat untuk mengambil foto. Saya juga menggunakan APD yang sama dengan para kru rumah jenazah, masker yang bagus, dan secara rutin menggunakan disinfektan” ujarnya kepada GIJN.
Bekerja dengan jurnalis investigasi, diakuinya, lebih melelahkan dibandingkan dengan liputan yang biasa dilakukannya. Namun, ia bisa mengakses tempat yang acapkali tak bisa diakses media massa.
Dampak dari pandemi terhadap lingkungan paling miskin di Lima, Peru juga tak luput dari bidikan Lucas. Untuk mendapatkan kepercayaan warga, ia berusaha membangun hubungan emosional, empati, dan menyelami keseharian mereka.
“Sebisa mungkin saya tak tampil mencolok dengan kamera dan lensa 35mm yang saya bawa,” terangnya.
Langkah tersebut berbuah undangan untuk menghadiri sebuah pemakaman di distrik Comas, Lima, Peru.
“Mereka membuka peti jenazah untuk memastikan jasad yang ada di dalamnya adalah keluarga mereka. Namun, ketika dibuka, mereka mendapati jenazah tersebut terbungkus rapat. Pacar dari korban Covid-19 tersebut mendekat ke jenazah dan mulai menangis, benar-benar tercabik, lalu memandangi langit. Momen tersebut sangat menyakitkan,” kenangnya.
Memfoto dari Rumah
Di Paris, Thomas Dworzak – yang pernah bekerja sebagai fotografer perang dan memenangkan penghargaan World Press Photo – memutuskan untuk tak memfoto pandemi secara langsung setelah beberapa hari mencoba menangkap krisis yang sedang terjadi dan nihil hasil.
Lantaran merasa dirinya riskan tertular virus korona, Dworzak memilih untuk mengambil tangkapan layar dari berbagai pertemuan daring. Menurutnya, jika jurnalis investigasi bisa mengumpulkan informasi melalui telepon, maka jurnalis foto bisa menemukan cara untuk mengumpulkan gambar menarik melalui komputer.
“Tentu saja, secara visual gambar tak bergerak dari Zoom tak seberapa bagus. Namun, hal tersebut bisa jadi sangat menarik,” ujarnya.
Dworzak mengikuti hampir dari seribu pertemuan daring di Zoom selama pandemi. Dalam sebuah peringatan virtual untuk George Floyd – pria Afrika-Amerika yang kematiannya di tangan seorang perwira polisi Minnesota terekam dalam sebuah video – Dworzak mendapati kobaran api dalam satu kotak kecil yang muncul di layar.
Ketika ia memperbesar kotak tersebut, Dworzak menyadari kalau seorang “Zoom Bomber” telah menyusup dan menggunakan foto profil bernada rasis yang menggambarkan ritual pembakaran salib oleh Ku Kluk Klan. Ia menangkap reaksi para peserta peringatan sebelum si penyusup dikeluarkan dari pertemuan tersebut.
Kali lain, ia mengatur pertemuan melalui Zoom dengan seorang pengelola panti jompo di Prancis. Dworzak memintanya untuk meletakkan komputer jinjing di tengah ruang tempat para lansia makan malam dan membiarkannya tetap berjalan selama beberapa jam. Ketika gambar menarik muncul, ia menekan tombol Command-Shift-3 di papan tombol Mac miliknya untuk melakukan tangkapan layar.
“Meski bukan sebuah foto jurnalistik yang menawarkan kedalaman pandangan, tetapi saya menyukai cara hidup diungkap secara sinematik,” ujarnya.
Terlibat dengan Komunitas
Madelene Cronjé, fotografer yang bekerja di Johannesburg, Afrika Selatan, menilai bahwa kuncitara memaksanya berpikir berbeda mengenai subjek foto dan etika sebagai jurnalis. Menurutnya, para jurnalis foto di Afrika Selatan merasa kebingungan pada masa awal wabah. Mereka, seperti halnya polisi, tidak yakin apakah jurnalis dan jurnalis foto merupakan kategori pekerja yang dikecualikan dari pembatasan mobilisasi.
Cronjé bimbang di antara dua pilihan: tetap merekam kondisi yang berlangsung atau diam di rumah untuk menekan risiko penyebaran virus korona. Dari apartemennya, ia menyadari kalau anak-anak yang tinggal di lingkungan tersebut terjebak dalam tempat bermain yang tak seberapa luas. Kondisi tersebut yang kemudian coba diabadikan melalui lensa kamera.
Dalam kesempatan lain, ia mendapatkan penugasan untuk menjepret situasi relokasi para tuna wisma.
“Saya mendatangi Wembley, sebuah lokasi darurat yang dibangun untuk tuna wisma. Kondisinya baik dengan tenda militer baru dan berbagai fasilitas. Namun, di sisi lain lokasi tersebut, terdapat Wemmer Shelter yang dibuat pemerintah kota tiga tahun lalu untuk para tuna wisma yang semula tinggal di bangunan-bangunan kosong,” terangnya.
Kondisi di Wemmer Shelter mengenaskan. Tak ada sanitasi dan banyak orang tidur di luar ruangan. Tindak kriminal merajalela. Tak ada seorang pun di sana yang memiliki masker atau penyanitasi tangan, tak ada seorang pun yang menawarkan bantuan.
Cronjé meminta organisasi amal untuk mencari donor. Hasilnya, 400 selimut dan makanan senilai US$ 3000 disalurkan bagi para penghuni di Wemmer Shelter. Ia meletakkan kameranya dan ikut bekerja di kantin, dua kali seminggu selama empat pekan.
“Anda seharusnya menjadi jurnalis dan tidak berpihak, tapi orang-orang ini tak punya apa-apa. Padahal, di lokasi tersebut ada anak-anak dan sebentar lagi musim dingin akan datang,” imbuhnya.
Menantang Stereotip
Jacquelyn Martin, fotografer Associated Press (AP) di Washington DC, bekerja dengan protokol kesehatan yang dibuat ruang redaksi dan berusaha menghindari memotret dalam ruangan. Namun, lama berkutat dengan isu keamanan dan kesehatan saat meliput, ia memutuskan untuk melakukan liputan lapangan berbekal “seragam” dan prosedur kesehatan.
“Saya menggunakan masker dan sarung tangan setiap melakukan liputan. Selepas menjalankan penugasan, saya menggunakan penyanitasi tangan, membasuh kamera dan komputer jinjing dengan alkohol, langsung mandi setiba di rumah, serta segera mencuci pakaian saya,” ujarnya.
Foto yang dijepret Martin menantang berbagai stereotip yang muncul di masa pandemi. Anggapan bahwa warga kulit berwarna lebih riskan tertular virus korona lantaran tidak menerapkan protokol kesehatan, ia gugat dengan sebuah foto seorang anak Afro-Amerika berbalut hazmat yang sedang mengantri untuk mendapatkan makanan. Foto tersebut diabadikan di masa awal wabah Covid-19, jauh sebelum pemerintah Amerika Serikat merekomendasikan penggunaan masker.
Pada kesempatan lain, ia membuat sebuah esai foto mengenai pemakaman warga kulit hitam yang menerapkan protokol kesehatan Covid-19.
Lihat postingan ini di InstagramSebuah kiriman dibagikan oleh Jacquelyn Martin (@jacquelynmartin) pada
Foto Sebagai Jembatan
Jurnalis Foto David Goldman menonton televisi dengan penuh ketidakpercayaan saat menyaksikan jumlah kematian di Massachusetts Holyoke Soldiers’ Home terus menanjak. Para lansia yang tinggal di panti jompo khusus veteran perang tersebut terjangkit Covid-19 hingga beberapa diantaranya harus meregang nyawa. Sementara itu, keluarga mereka yang sedang menjalani karantina di tempat tinggalnya masing-masing hanya bisa meminta pertolongan perawat agar berada di sisi para lansia yang sedang menjalani detik-detik terakhirnya.
“Saya berpikir mengenai serial foto tentang para veteran, tetapi hal yang juga menarik buat saya adalah perasaan duka dalam kesendirian,” terangnya.
Goldman menyisir berita dukacita dan menggunakan Facebook untuk mencari tahu keberadaan dan tempat tinggal keluarga para veteran perang yang meninggal karena Covid-19. Kemudian, ia mencoba menjalin komunikasi melalui telepon. Celakanya, aturan menjaga jarak membuatnya tak bisa mendatangi mereka.
“Hal yang sulit saat memotret di masa pandemi adalah keterbatasan akses,” ujarnya.
Menyiasati hal itu, Goldman menawarkan sebuah rencana: ia akan memproyeksikan foto berukuran besar dari para veteran perang yang meninggal ke dinding luar rumah, lalu mengambil foto dari gambar tersebut bersama para keluarga yang menampakkan diri di jendela rumah. Tawaran tersebut disambut baik oleh keluarga dari 12 veteran perang.
Selepas mengambil foto para keluarga bersama gambar raksasa di dinding rumah, ia mengajak mereka menuju halaman depan rumah untuk melihat gambar tersebut.
“Sebagian besar dari mereka mulai menangis. Mereka tak pernah melihat ayah atau ibunya dengan cara tersebut. Mengalami momen seperti itu menjadi cara melepas emosi,” imbuhnya. (Rowan Philp, GIJN)
Tulisan ini merupakan suntingan dari artikel bertajuk How Leading Photojournalists Around the World Are Documenting COVID-19 yang pertama kali dipublikasikan oleh Global Investigative Journalism Network (GIJN). Penyebarluasan tulisan ini berada di bawah lisensi Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International.
Alih bahasa ini disponsori oleh dana hibah dari Google News Initiative. Untuk menerbitkan ulang tulisan ini, Anda bisa menghubungi [email protected].