Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI), Bagus Utomo pada 29 April lalu diminta untuk menyampaikan keluhan penyintas skizofrenia di hadapan Direktorat Jenderal Pencengahan Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan. Dalam sebuah pertemuan virtual melalui aplikasi Zoom, Bagus menyampaikan bahwa stok obat di rumah sakit umum daerah menipis. Terlebih di wilayah Indonesia Timur dan Sumatera hingga Aceh.
Salah satu obat yang mendadak hilang dari peredaran misalnya obat triheksifenidil (trihexyphenidyl) atau biasa disebut THP dan resperidone. Obat ini biasanya digunakan untuk mengatasi gejala parkison, sekaligus meredakan efek samping kaku otot setelah minum obat skizofrenia. Akibat kelangkaan itu, sebanyak 50 ribu anggota KPSI terpaksa mencampur obat yang tidak sesuai dengan resep dokter. Beberapa di antara bahkan mencari obat itu secara daring di pasar gelap.
“Padahal kita tidak mendukung karena tidak ada resep. Karena pemerintah tidak menyediakan, akhirnya kita terpaksa beli online,” kata Bagus kepada Jaring.id, Kamis, 11 Juni 2020.
Hal serupa juga diamini oleh Ketua Perhimpunan Sehat Jiwa, Yenny Rosa Damayanti. Dalam sebuah percakapan di kelompok percakapan WhatsApp disabilitas mental yang diikuti, Yenny mendapat pengakuan dari sejumlah pasien mengenai susahnya mendapatkan obat Seroquel dan Haloperidol di fasilitas kesehatan tingkat I selama pandemi. Kalau pun ada, dosisnya dibatasi dengan hanya memberi separuh dari jumlah obat yang dibutuhkan.
“Kita tidak tahu apakah ketidaktersediaan obat ada hubungan dengan Covid-19 atau tidak,” ujar Yenny.
Hal tersebut dibenarkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialisasi Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI). Menurut Humas PDSKJI, dokter Zulvia, kelangkaan obat terjadi di masa awal pandemi, sehingga pada Maret lalu tidak sedikit pasien yang tidak dapat mengonsumsi obat.
“Sekarang sudah kembali normal,” kata dokter Zulvia.
Dalam laporan Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan 2018, sedikitnya ada 1929 orang yang harus mengonsumsi obat secara rutin selama hidup, seperti pada pasien skizofrenia.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Kesehatan Jiwa dan NAPZA, dokter Fidiansjah menyatakan bahwa tidak semua obat langka.
“Risperidone tidak langka, buffer stock cukup. Kalau trihexyphenidil benar kosong karena tidak ada lagi di e-catalog, sehingga pengadaannya masih tertunda,” ungkap Fidiansjah.
Selain itu, ketersedian sejumlah obat selama pandemi terganggu akibat kelangkaan bahan baku dari India dan Cina. Namun ia memastikan bahwa kelangkaan obat bagi pasien disabilitas mental hanya sementara. Pasalnya Direktorat Kesehatan Jiwa (Ditkeswa) Kementerian Kesehatan sudah mengajukan usulan kebutuhan obat 2020 dan 2021.
Kementerian Kesehatan masih menggunakan pedoman umum untuk seluruh pasien yang terjangkit Covid-19, termasuk juga bagi disabilitas mental. Perhimpunan Dokter Spesialisasi Kedokteran Jiwa Indonesia mewanti-wanti agar para dokter tidak sembarangan melakukan penanganan dan memberikan obat. Pasien dengan skizofrenia memiliki obat yang berbeda dengan orang yang mengidap bipolar maupun depresi. Bila tidak, maka akan membuat efek berlebih yang mengakibat tubuh kaku dan berhalusinasi.
“Butuh kerjasama multidisiplin dokter,” kata dokter Zulvia.
Untuk memudahkan penanganan, PDSKJI telah menyusun panduan obat melalui Surat Keputusan Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Nomor 011/SK/PDSKJI/III/2020 tentang interaksi obat psikiatri dengan obat Covid-19. Di dalamnya mengatur ketentuan kadar interaksi obat yang mesti diberikan kepada pasien disabilitas yang terjangkit Covid-19.
“Perlu ada kolaborasi dokter paru dan psikiatri supaya obat ini dipertimbangkan. Namun tidak perlu khawatir karena bisa dijalani dua-duanya,” kata dokter Zulvia.
Membayangkan sulitnya menangani pasien disabilitas mental dengan Covid-19, PDSKJI menyayangkan masih ada tempat penampungan disabilitas mental yang tidak patuh dengan protokol kesehatan. Kondisi pandemi, menurut dokter Zulvia, mengharuskan semua institusi beradaptasi memenuhi protokol kesehatan.
“Kadang mereka (penghuni panti-red) dianggap memiliki suara untuk menuntut. Semestinya Dinas Sosial memerhatikan agar protokol kesehatan tetap dijalankan,” kata perempuan lulusan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo ini.