Hari Buruh Internasional tahun ini dirayakan secara berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Imbauan menjaga jarak dan larangan berkumpul dalam jumlah besar membuat May Day 2020 tak mungkin dirayakan dengan demonstrasi massa dan arak-arakan.
Di tengah keterbatasan tersebut, banyak masalah perburuhan yang justru harus disuarakan. Pemutusan hubungan kerja (PHK) semakin marak terjadi, sebagian diantaranya tanpa pembayaran pesangon. Belum lagi terbitnya surat edaran Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19. Surat yang diteken Menteri Tenaga Kerja, Ida Fauziyah tersebut memberi peluang bagi pengusaha untuk mengubah besaran maupun cara pengupahan kepada buruh selama masa pandemi.
Untuk tahu kondisi aktual para buruh di tengah karut-marut kondisi ketenagakerjaan akibat pandemi Jaring.id mewawancarai Nining Elitos, Ketua Federasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI). Serikat buruh yang terbentuk sejak 2004 tersebut bersikap independen dalam pemilihan presiden 2019, konsisten menolak Omnibus Law. KASBI juga menuding pemerintah mencatut namanya dalam tim perumus draf Omnibus Law yang dinilainya tidak demokratis.Berikut petikan wawancara yang dilakukan pada Kamis, 30 April 2020.
Bagaimana kondisi buruh saat ini, terutama terkait dengan wabah covid-19?
Dalam situasi krisis covid-19, apalagi pasca-Menteri Tenaga Kerja menerbitkan surat edaran terkait pencegahan dan penanggulangan covid-19 pada 17 Maret 2020, kondisi buruh memprihatinkan. Mereka mendapat pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa mendapatkan pesangon serta dirumahkan tanpa mendapatkan upah. Situasi ini sangat merugikan kaum buruh. Padahal sudah puluhan tahun pengusaha mengambil keuntungan dari tenaga buruh. Mereka tidak menggunakan uang tersebut untuk memberikan upah kepada buruh. Bahkan banyak pengusaha tidak pernah terbuka menyampaikan laporan keuangannya.
Pandemi Ini juga membuka peluang pengusaha bertindak nakal. Mereka tidak mau tahu bahkan tidak ingin berunding dengan buruh dengan alasan covid-19 serta Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Parahnya pemerintah tidak hadir mengawasi dan menindak pengusaha yang mengabaikan hak-hak buruh. Kami diminta melapor melalui sistem online, tapi tidak ada tindakkan konkret dari Kementerian Tenaga Kerja.
Dalam catatan Anda berapa banyak buruh yang di-PHK maupun dirumahkan?
Anggota kami (KASBI) saja lebih dari 30 ribu buruh di-PHK dan dirumahkan. Sekitar 20 ribu lebih dirumahkan dan sisanya di-PHK. Mulanya pengusaha merumahkan, lalu setelah diprotes malah mereka mem-PHK. Ada juga yang langsung di-PHK. Masa pagebluk ini membuat buruh berhutang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Mereka yang bergantung pada pendapatan harian terimbas besar. Mau ngojek tidak bisa, mau dagang tidak boleh.
Persoalan pangan, rakyat harus berjuang mati-matian. Awal April lalu saya pernah ditelepon Kemenaker. Mereka mau kasih bantuan Rp 300 ribu buat 70 orang di Jakarta, tapi saya tolak. Anggota KASBI di Jakarta saja ada 500 orang. Kalau diterima, kepala saya bisa pusing.
Kalaupun ada bantuan, satu Rukun Tetangga (RT) hanya dijatah dua hingga empat orang paling banyak. Bantuan terbatas ini bisa menciptakan ketakutan di masyarakat. Rakyat perlahan bisa mati di rumahnya sendiri. Pemerintah bilang akan ada dana insentif untuk bagi pekerja yang menjadi korban PHK. Setahu saya 99 persen anggota KASBI tidak menerima bantuan itu. Ini tragedi besar bagi buruh. Setelah puluhan tahun, baru kali ini ada PHK massal.
Berarti program tersebut tidak tepat sasaran?
Saya di lingkungan masyarakat banyak mendengar keluhan ibu-ibu rumah tangga. Ada single parent beranak tiga sudah diminta data sampai tiga kali tapi tidak kunjung menerima bantuan. Laporan itu tidak satu, dua orang. Banyak yang melaporkan hal serupa. Sebutir beras saja tidak diterima. Jadi gembar-gembor pemerintah perihal bantuan sembako melalui saluran sosial media, berita hingga sosialisasi langsung tidak sesuai dengan apa yang terjadi. Pendataan dengan klasifikasi miskin, rentan dan tidak mendapatkan penghasilan per bulan tidak jelas. Saat ini sudah banyak muncul warga miskin baru. Ketika pemerintah tidak bergerak cepat, maka mereka bisa mati kelaparan. Bahkan bisa memicu konflik sosial.
Kalau kondisi buruh yang masih bekerja bagaimana?
Kondisi umum yang kami dapatkan, ada perusahaan yang tidak menerapkan protokol kesehatan seperti melengkapi para buruh dengan alat pelindung diri. Saya sudah berusaha menghubungi Kemenaker melalui telepon buat meminta bertemu langsung membahas kondisi pekerja yang tidak mendapatkan perlindungan kesehatan, tapi tidak direspon.
Apa pendapat anda soal kartu prakerja?
Saya bisa memastikan 99 persen anggota saya tidak mendapatkan program itu. Kami sudah pernah ikut untuk mendaftar akan tetapi sangat sulit masuk. Butuh waktu berjam-jam untuk bisa memasukkan data. Saya bahkan sudah sampaikan langsung kondisi tersebut kepada Kementerian Tenaga Kerja, tetap tidak ada respons. Prakerja tidak efektif membantu buruh saat ini.
Tidak sedikit pelatihan yang tidak perlu, seperti pembuatan curriculum vitae. Apakah rakyat butuh itu? Saat ini yang mereka butuhkan adalah makan, beli beras, bayar kontrakan, bayar listrik, bayar pendidikan sekolah anak. Lalu ada pelatihan mengelas, sekarang kalau sudah lolos pelatihan apakah ada jaminan mereka bisa bekerja? Saya yakin tidak, karena pengusaha saja banyak yang melakukan PHK. Orang sakit kepala malah dikasih obat maag, kan tidak nyambung.
Dalam peringatan Hari Buruh Internasional tahun ini, apa yang berbeda?
Tahun ini kami akan melakukannya dalam dua strategi. Kami akan tetap turun ke jalan dengan menyesuaikan protokol kesehatan. Tidak akan banyak yang ikut aksi. Kami juga akan menjaga jarak, pakai masker dan menyediakan hand sanitizer. Selain itu, aksi turun ke jalan ini tidak disentralkan di Jakarta seperti tahun-tahun sebelumnya. Aksi akan dilakukan di tiap daerah masing-masing, di hadapan pabrik masing-masing. Kami memilih turun ke jalan lantaran ingin mengingatkan pemerintah untuk serius memenuhi tuntutan kami, yakni (penolakan) Omnibus Law. Pemerintah dan DPR harus fokus pada penanganan pandemi dan tidak melakukan PHK, lalu mereka yang dirumahkan diberi upah layak. Kalau tidak, rakyat terancam kelaparan.
Kedua kami juga akan melakukan aksi virtual melalui kanal sosial media. Mereka yang mau orasi dalam bentuk video bisa mengirimkan bahan ke koalisi. Selain itu, masyarakat yang ingin ikut berpartisipasi bisa membuat tulisan di kertas dengan tuntutan apa yang menjadi kegelisahan masing-masing, lalu posting di sosial media bersamaan pada Hari Buruh. Walaupun di rumah kami harus tetap melakukan kritik terhadap pemerintah.
Tuntutan para buruh pada May Day tahun ini?
Pemerintah harus menjamin perlindungan kerja kepada buruh. Pastikan ada pendataan kongkrit, setiap pengusaha diminta untuk terbuka perihal jumlah buruh kontrak, buruh magang dan training. Lalu memastikan pendapatan keseluruhan pengusaha sebelum ada pandemi. Kalau tidak jujur harus ada sanksinya. Selain itu melakukan pengawasan serta tindakan dengan memberikan sanksi bagi pengusaha yang nakal tidak membayar pesangon dan upah buruh dengan dalih pandemi.
Bagaimana dengan Omnibus Law?
Omnibus Law tidak hanya bicara buruh semata. Ada soal kemanusiaan lebih luas di sana. Ada persoalan perempuan, miskin kota, petani, masyarakat pesisir pelajar. Sejak awal kami terus menolak bukan tanpa sebab. Regulasi yang dilahirkan tersebut tidak berdasarkan konstitusi negara kami serta merugikan masyarakat dan buruh. Kami sudah mengirimkan kajian kami ke pemerintah. Dalam situasi pandemi pemerintah dan DPR seharusnya fokus menangani covid-19. Tidak menunggangi masa pandemi untuk mempercepat pengesahan Omnibus Law. Ketika aturan sapu jagat ini tetap bahas mereka telah mengabaikan aspek kemanusiaan. Kami tahu Omnibus Law dibuat untuk kepentingan para pembisnis, rakyat akan menjadi korban terus-menerus.
Tapi Presiden Jokowi sudah beri pernyataan kalau menunda klaster ketenagakerjaan?
Kami tidak bangga maupun bahagia. Sebab pada waktunya semua itu akan dibahas juga. Ini tidak menghilangkan esensi daya rusak terhadap kondisi masyarakat, melindungi alam, serta tidak menjamin penghidupan yang layak bagi rakyat. Yang ada hanyalah perbudakan gaya modern, eksploitasi manusia dan penghisapan sumber daya alam. Hal itu menjadi landasan kami menolak keseluruhan, bukan hanya klaster ketenagakerjaan.
Perlu diingat, dalam kondisi pandemi ini sudah banyak buruh mendapat PHK, lalu tidak ada sanksi tegas kepada pengusaha. Bagaimana nanti kalau Omnibus Law ini disahkan? itu melegitimasi tidak adanya pesangon bagi buruh yang di PHK, lalu sanksi pidana diganti menjadi sanksi administrasi. Saat ini saja yang jelas ada sanksinya, pengusaha banyak yang bandel apalagi hanya sanksi administrasi justru akan mempermudah pengusaha berkelit.
Pihak Istana apakah meminta pendapat Anda?
Kami diundang ketika sudah matang. Keterlibatannya tidak partisipatif. Padahal sebuah regulasi itu mestinya melibatkan masyarakat. Kami tidak pernah dlibatkan, malah mereka sembunyi-sembunyi. Kami tidak tahu daftar inventarisasi masalahnya dan apa landasan filosofisnya.
Ada usaha untuk meredam penolakan Omnibus Law?
Represi dan ancaman terus menerus kami hadapi. Misalnya ketika ada aksi, kami dibenturkan dengan masyarakat. Ada juga sekelompok orang yang aksi melakukan pembakaran dekat kantor kami. Kami juga sering mendapat telepon orang tidak dikenal, bahkan kami dicari-cari sampai datang ke pabrik. Catat! Kami ini tidak dibayar oleh siapa pun. Kami tidak dibekingi siapapun, kecuali ini atas dasar kegelisahan kami melihat realita penderitaan rakyat.
Saya ditelepon sama orang tidak dikenal yang memberitahu agar tidak usah melakukan penolakan terhadap Omnibus law. Kami meyakni bahwa pasti ada upaya jahat ketika melihat perjuangan kami massif dan meluas. Meski begitu kami juga yakin, apapun yang kami lakukan bukan semata-mata buat kepentingan pribadi tapi untuk kepentingan orang banyak. Selamat Hari Buruh Sedunia.