Krisis kemanusiaan di Timor Leste—ketika itu bernama Timor Timur—pascajajak pendapat (referendum) 30 Agustus 1999 membikin ribuan warga eksodus ke Nusa Tenggara Timur (NTT). Data Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) menunjukkan ada sekitar 250 ribu warga Timor Leste yang angkat kaki menghindari medan pertempuran politik bersenjata. Dalam jajak pendapat tersebut, sekitar 94.388 orang atau 21,5 persen dari warga Timor Timur memilih untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia. Sementara 344.580 orang atau 78,5 persen ingin memerdekakan diri dari Indonesia.
Kabar mengenai gelombang pengungsi ini yang kemudian mendarat di ruang redaksi TEMPO di Jalan Proklamasi, Jakarta. Purwani Dyah Prabandari—kini menjabat redaktur pelaksana TEMPO English—ialah salah satu wartawan yang mengikuti rapat redaksi terkait pengiriman wartawan ke daerah konflik berjarak lebih dari 3 ribu kilometer dari Ibukota Jakarta. Ketika itu, ia dipanggil bersama 4 wartawan laki-laki dan 1 perempuan dari TEMPO Interaktif. Namun hanya Dyah yang mengajukan diri untuk terbang ke Dili.
“Saya satu-satunya yang angkat tangan. Mungkin yang laki-laki mau, tetapi mereka sungkan,” cerita Dyah kepada Jaring.id pada Jumat, 6 Maret 2020.
Mula-mula, Dyah pesimistis akan dipilih sebagai mata dan telinga TEMPO di Timor Leste. Terlebih saat itu komposisi antara pekerja perempuan dan laki-laki di media yang tahun ini berumur 49 tahun tersebut terbilang timpang. Kalaupun berangkat, ia yakin benar sedikit banyak akan ada perlakuan berbeda antara dirinya dengan laki-laki tatkala meliput konflik.
“Pesan atasan macam-macam. Ada yang bilang nanti siap-siap buka jilbab kalau ada masalah, karena membayangkan di Timor Leste banyak beragama Katolik,” ujar Dyah.
Dyah berada di Timor Leste selama tiga hari. Dari sana ia mampu membuktikan kalau kemampuan dirinya bekerja tidak berbeda dengan wartawan laki-laki. Selama perempuan mau bicara, menurut dia, akan ada kesempatan yang sama yang dapat diambil. Namun persoalannya, perempuan pekerja tak jarang membatasi dirinya sendiri. Mereka kerap enggan bersuara, hingga menolak jabatan atau posisi strategis lantaran urusan domestik sebagai ibu rumah tangga. Padahal TEMPO—media di mana ia bekerja—selalu menganggap perempuan maupun laki-laki sama rendah sama tinggi.
“Mereka berpikir tidak punya waktu yang cukup mengurus keluarga,” ungkap Dyah.
Hal yang sama diungkap Evi Mariani, redaktur pelaksana di surat kabar harian berbahasa Inggris, The Jakarta Post. Menurut dia, persoalan utama minimnya keberadaan perempuan di puncak pimpinan media massa selama ini disebabkan oleh stereotip yang lahir dari rahim budaya patriarki. Mulai dari anggapan miring mengenai perempuan tidak mampu menjalankan tugas, tidak dapat mengatur waktu antara urusan domestik dengan pekerjaan, sampai anggapan umum yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh pulang malam.
“Ketika dunia kerja tidak memahami itu, perempuan bisa terkena serangan mental. Akhirnya mereka tidak bisa bersuara. Karena ada beban itu, jadi perempuan tidak berkembang,” ujar Evi usai diskusi terbatas bertajuk “Media for Women 2020” yang dihelat oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Free Press Unlimited (FPU), Jumat, 6 Maret 2020.
Selain diskusi terbatas, PPMN juga akan menggelar kampanye umum keadilan gender di media massa sambil menonton film garapan Luviana, More Than Work pada Rabu, 11 Maret 2020. Diskusi umum yang digelar di ruang Teater Multimedia, Unika Atmajaya, Jakarta ini turut dihadiri Desi Anwar, Board of News Director CNN Indonesia TV dan Ninuk Pambudy, Pemimpin Redaksi Harian KOMPAS.
“Kami ingin peran dan kepemimpinan perempuan di media makin terbuka luas guna memperkuat peran media dalam mempromosikan keadilan gender,” kata Eni Mulia Direktur Ekesekutif PPMN kepada Jaring.id.
Kegiatan tersebut merupakan satu bagian dari rangkaian kampanye global bertajuk #EachforEqual di Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day) yang jatuh pada hari ini, Minggu, 8 Maret 2020. “Dunia yang setara adalah dunia yang memungkinkan untuk melakukan apapun. Kesetaraan bukan hanya isu perempuan, tetapi juga isu ekonomi. Kesetaraan gender sangat penting untuk perkembangan ekonomi dan masyarakat. Dunia yang setara secara gender bisa jadi lebih sehat, kaya, dan harmonis,” dikutip dari situs internationalwomensday.com.
Di Indonesia, menurut Ketua Divisi Gender Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Endah Lismartini, representasi perempuan di media massa masih terbilang rendah. Hasil penelitian yang dilakukan Tempo Institute serta Pusat Data dan Analisis Tempo (PDAT) menunjukkan dari 22.900 narasumber yang dikutip media, hanya 11 persen atau 2.525 orang di antaranya yang perempuan. Penelitian tersebut didasarkan atas pengamatan terhadap berita-berita di luar rubrik hiburan di tujuh media cetak dan tiga media daring pada pada 6 Agustus-6 September 2018. Sementara riset UNESCO di tahun yang sama mengungkapkan bahwa dari seluruh isu yang dibahas media massa, hanya 10 persen dari isu perempuan yang dimuat. Sedangkan, komposisi narasumber perempuan tidak lebih dari 20 persen.
“Secara umum perbandingan jumlah jurnalis laki-laki dan perempuan pun berdasarkan keanggotaan AJI, cukup timpang. Tahun 2018 saja dari 1846 anggota, hanya 344 anggota perempuan,” kata Endah.
Redaktur pelaksana The Jakarta Post (TJP), Evi Mariani menyebutkan bahwa minimnya representasi perempuan di media massa sangat dipengaruhi oleh proporsi yang tidak seimbang antara jumlah pekerja laki-laki dan perempuan. Padahal keseimbangan ini sangat diperlukan agar maskulinitas tidak lagi mendominasi ruang redaksi. Menurutnya, perempuan mesti diberi ruang lebih besar agar mampu berkontribusi terhadap ekonomi sekaligus membangun keberagaman, baik konten maupun perspektif.
“Ini bukan supaya perempuan mendominasi. Saat ini kan yang mendominasi laki-laki, jadi tidak balance. Dampaknya terhadap perspektif di redaksi yang tidak beragam,” ujarnya.
The Jakarta Post sendiri mempekerjakan 93 orang yang terdiri dari 49 laki-laki dan 44 perempuan. Meski komposisinya belum setara, menurut Evi, hal tersebut berdampak positif terhadap perubahan kultur di ruang redaksi TJP. Saat ini, sudah banyak perempuan yang mengambil peran sebagai pengambil keputusan, antara lain di posisi managing editor di mana terdapat 4 perempuan dan 1 laki-laki. Sementara jabatan senior editor diawaki oleh 4 laki-laki dan 1 perempuan, sedangkan editor perempuan mencapai 14 orang berbanding 12 laki-laki.
“Harus dipastikan semua newsroom jangan ketinggalan jaman. Newsroom maskulin harus ditinggalkan,” ucap Evi serius.
Hal tersebut diamini oleh redaktur pelaksana TEMPO English, Purwani Dyah Prabandari. Menurut dia, kesempatan perempuan untuk mengendalikan ruang redaksi saat ini sangat terbuka.
“Perempuan berpotensi,” kata Dyah.
Hanya saja, kata dia, perjuangan untuk meraih diversity of content bukanlah pekerjaan mudah. TEMPO sendiri saat ini masih terus berupaya mengutamakan narasumber perempuan dalam setiap isu yang diulas. Namun, hal itu terhambat dengan keahlian perempuan dalam ranah publik yang terbatas. Sekalipun ada, mereka terkadang tidak percaya diri untuk menjadi narasumber. Akibatnya, laki-laki yang kerap tampil di ruang publik.
“(Tetapi) setidaknya kita ada kesadaran yang mengarah pada pelibatan perempuan sebagai narasumber,” katanya.
Dyah menambahkan, rubrik yang paling konsisten merepresentasikan suara perempuan di TEMPO adalah rubrik Sains. “Di Sains perempuan prioritas naik,” ungkap Dyah.
Dalam dua bulan terakhir, ia mencontohkan, banyak perempuan yang sudah mau bicara ketika diwawancari wartawan rubrik tersebut, baik TEMPO online, koran TEMPO maupun MBM TEMPO.