Suara Al Araf yang mula-mula tenang mendadak lebih keras. Direktur Imparsial ini geram dengan pemerintah yang tidak berhenti mencari cara guna meloloskan gagasan pembentukan Dewan Keamanan Nasional (DKN). Setelah gagal melalui rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional, pemerintah lewat Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Pertahanan (Kemhan) berencana menghidupkan DKN lewat peraturan presiden.
Al Araf menyatakan pemerintah sudah dua kali membahas pembentukan DKN sejak akhir 2019. Pertama dilakukan oleh Wantannas, setelah itu bersama Bappenas. Mereka menginginkan agar DKN terbentuk pada 2020. “Forum pertemuan di level pemerintah cukup intensif. Tampaknya draft-nya sudah matang,” ungkapnya di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Senin, 27 Januari 2020.
Namun, koalisi masyarakat sipil untuk reformasi keamanan, di antaranya Imparsial, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Imparsial, Lembaga Studi dan Advokasi Masyakarat (Elsam) dan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) mengaku belum mengantongi rancangan regulasi terkait DKN.
”Kita belum bisa mengakses itu,” ujar Al Araf. Meski begitu, ia berujar, koalisi mendengar adanya upaya pelibatan militer maupun polisi dalam ranah sipil. Tidak terbatas kasus peredaran narkoba, namun radikalisme, hingga ekonomi, termasuk pembangunan infrastuktur.
Menanggapi hal itu, Pembantu Deputi Urusan Lingkungan Alam Kedeputian Bidang Sistem Nasional Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas), Brigjen TNI Karev Marpaung kepada Jaring.id membenarkan bahwa lembaganya tengah membahas rencana pembentukan DKN. Pembahasan yang dilakukan mulai 2018 hingga 2019 lalu itu dilakukan menjelang masa penghabisan Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019.
“Lebih dari tiga kali bertemu. Kita koordinasi dengan Bappenas. Karena ketika program belum terlaksana di dalam RPJMN 2015-2019 jadi hutang pemerintah. Supaya sah, kita berkoodinasi dengan Bapennas agar kegiatan DKN ini bisa dituangkan dalam RPJMN 2020-2024. Sebenarnya secara tersirat dan tersurat sudah ada di RPJMN,” kata Brigjen TNI Karev Marpaung saat ditemui di Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional, Selasa, 4 Desember 2020.
Hal ini lah yang membikin Sekretaris Jenderal PBHI, Julius Ibrani was-was. Melalui lembaga baru bernama DKN, ia memprediksi, pemerintah akan dengan mudah menganggap gerakan massa – perlawanan masyarakat terhadap penggusuran maupun konflik lahan bisa tergolong sebagai gangguan terhadap keamanan. Sementara tidak sedikit konflik lahan yang terjadi sepanjang masa pemerintahan Presien Joko Widodo.
Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat 258 petani dan aktivis agraria yang dikriminalisasi, 211 orang dianiaya dan sebanyak 24 orang ditembak. Sedangkan sebaran konflik agraria pada 2019 tersebar di 420 desa. Kasus tertinggi sebanyak 28 konflik terjadi di Jawa Barat, Sumatera Utara 24 konflik, Kalimantan Tengah 23 konflik, Jawa Timur 21 konflik dan Jambi 16 Konflik. “Setiap ada gerakan massa, maka akan dicap sebagai bentuk gangguan keamanan nasional,” ujar Julius.
Merujuk pada pandangan mantan Menteri Pertahanan dari kalangan sipil Prof. Juwono Sudarsono, Al Araf menyatakan bahwa ada empat sistem keamanan ideal yang perlu dikembangkan. Meliputi, pertahanan negara (ancaman dari luar), keamanan negara (ancaman dari dalam), keamanan publik (pemeliharaan dan pemulihan keselamatan) dan keamanan insani (penegakkan hak dasar warga). Dalam hal ini, kata dia, pemerintah tidak bisa serta-merta mengaitkan satu isu yang terjadi di dalam masyarakat sebagai ancaman terhadap negara. “Dalam kondisi normal dan biasa, maka isu keamanan insani tidak menjadi isu ancaman keamanan negara atau keamanan nasional dan cukup ditangani secara regular oleh institusi terkait,” kata Al Araf.
Ketimbang membentuk DKN, Al Araf mengusulkan agar pemerintah fokus membikin Dewan Pertahanan Nasional sesuai amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Pasal 15 ayat 2 menjelaskan bahwa lembaga ini berfungsi sebagai penasihat presiden dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan dan pengerahan komponen pertahanan negara. Dewan Pertahanan Nasional sendiri dibentuk oleh presiden melalui keputusan presiden.
“Fungsinya hampir sama dengan apa yang diinginkan dalam DKN. Bedanya cakupannya lebih spesifik ke pertahanan. Kekhawatirannya tidak meluas karena domainnya jelas. Kalau keamanan nasional domainnya meluas, mulai dari human security public and state security,” ujarnya.
Tumpang Tindih
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bidang pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika serta intelijen, Charles Honoris mengingatkan agar pemerintah tidak membentuk DKN dengan peraturan presiden. Menurut dia, lembaga strategis semacam DKN perlu dibentuk dengan undang-undang. “Apakah pantas lembaga yang diketuai presiden dan strategis keamanan nasional dilahirkan pakai perpres?” Charles mempertanyakan.
Bila merujuk Amerika Serikat dan Inggris, menurut Charles, posisi DKN di dua negara itu sebatas forum koordinasi antarlembaga yang dapat memberikan nasihat kepada presiden. Sementara, ruang lingkupnya membuat kebijakan keamanan nasional, penanganan krisis, ketahanan nasional dan intelijen. Sedangkan di Indonesia, fungsi tersebut sudah dilekatkan kepada Kementerian Kordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam).
Kementerian yang kini dipimpin ahli hukum konstitusi Mahfud MD ini menjadi koordinator antar kementerian, antara lain Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kejaksaan Agung serta Kepolisian Republik Indonesia. Itu sebab, kader Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan ini menganggap pembentukan DKN di Indonesia tidak relevan.
“Lalu Menkopolkuham apakah perlu? atau kalau tidak dibubarkan saja sekalian. Buat apa dua institusi memiliki pekerjaan yang sama, yakni memberikan koordinasi dengan lembaga terkait. Toh Presiden sudah menjalankan fungsi pemerintah tanpa ada DKN,” ungkap Charles.
Selain itu, Indonesia sudah mempunyai pelbagai regulasi terkait keamanan nasional, antara lain Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri, Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, Undang-Undang Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan Peraturan Perundang-Undangan Nomor 23 tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
Lebih jauh, Al Araf menganggap pembentukan DKN lewat peraturan presiden sangat berbahaya. Pasalnya, peraturan itu bisa digunakan presiden untuk mengakomodir kepentingannya sendiri, alih-alih masyarakat. “Problemnya adalah aturan ini secara konsep akan mengubah ketahanan nasional menjadi keamanan nasional. Kami masyarakat sipil sangat khawatir,” ungkapnya.
Sementara itu, Brigjen TNI Karev Marpaung dari Wantannas meyakinkan bahwa tidak akan ada tumpang tindih di dalam Dewan Keamanan Nasional. Menurutnya, DKN hanya sebatas forum sidang yang dipimpin oleh presiden. Sedangkan anggotanya adalah kementerian/lembaga, TNI, Polri, termasuk kalangan masyarakat sipil.
“Kita harapkan DKN ini menjadi dewan yang bisa membuat keputusan yang berkaitan dengan ancaman nasional yang bersifat urgent, kritis dan mendesak,” kata Karev kepada Jaring.id.
Dalam forum tersebut, DKN akan memberikan pertimbangan terkait dengan keamanan nasional kepada presiden. Ia juga menjamin DKN tidak memiliki fungsi yang bersifat operasional. “Orang pada mengatakan nanti bisa mengambil berbagai macam orang seperti dulu (Kopkamtib). Tidak demikian. Mereka belum paham sesunggungnya apa itu DKN. Maka dari itu perlu ada diskusi terbuka,” ujarnya.
Anggota Kepala Staf Presiden (KSP) Deputi Politik Hukum dan Keamanan, Mukhti Maakarim berpendapat serupa. Dia menegaskan belum ada pembahasan mengenai DKN. “Pada dasarnya kita belum sampai pembahasan pembicaraan tentang naskah atau draft tentang yang disebut DKN,” jelas Mukhti.
Meski begitu, koalisi masyarakat sipil sanksi dengan rencana pembentukan DKN. Apalagi sampai sekarang, baik Wantannas, Kemenhan dan Bappenas tidak pernah membuka konsep yang melatari pembentukan DKN. Agar tidak menimbulkan curiga, Al Araf meminta Wantannas membuka rumusan terkait DKN kepada publik. “Pemerintah harus hati-hati kalau dibuat dalam konsep yang tidak matang khawatir zona HAM akan diterabas. Muncul overlaping yang mengakibatkan kerja tidak efektif dan efisien,” ungkap Al Araf.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Choirul Anam pun mewanti-wanti agar pemerintah tidak membentuk lembaga represi baru. Ia tidak ingin DKN bersalin rupa menjadi Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) rezim Soeharto. Saat itu, Kopkamtib tak segan memukul masyarakat yang mengganggu investasi dan keamanan negara. “Kalau hal itu diurusin DKN, bisa dipastikan negara akan kembali menjadi negara otoritarian,” kata Choirul Anam.