Di era big data, kerja investigasi tidak bisa lagi dilakukan jurnalis sendiri. Kolaborasi jurnalis investigasi antarmedia juga bukan satu-satunya solusi. Memanfaatkan UU Kebebasan Informasi, media nonprofit di Jerman melibatkan warga untuk mengakses data publik bagi keperluan investigasi.
Telepon gengam Andreas K. Bittner bergetar di bawah meja. Anggota Federasi Jurnalis Jerman (The Deutsche Journalisten-Verband/DJV) tersebut meliriknya sekilas.
“Oliver Schrom digugat,” ujarnya, Selasa 11 Desember 2018.
Suara tarikan nafas seketika terdengar di ruang pertemuan German Commission for UNESCO, di Bonn. Menyadari saya dan tiga jurnalis dari Indonesia yang hadir di sana kemungkinan besar tak tahu siapa Oliver Schrom, Bittner memperjelas.
“Pemimpin redaksi Correctiv,” terangnya.
Correctiv adalah media nonprofit di Jerman. Didirikan pada 2014, organisasi ini memfokuskan diri pada produksi jurnalisme investigasi.
“Kasus apa?,” tanya saya ke Bittner.
“CumEx-Files. Dikenai pasal UU Kompetisi, dianggap membocorkan rahasia perusahaan. Pertamakalinya diterapkan ke jurnalis,” jelas Bittner.
CumEx-Files adalah laporan investigasi yang dikerjakan Correctiv berkolaborasi dengan 18 media massa di Eropa pada tahun 2017. Ini laporan tentang skema penipuan pajak yang melibatkan jaringan bank, pedagang saham, dan pengacara terkemuka. Lima negara di Eropa dirugikan atas aksi ini dengan kerugian total mencapai US$ 62, 9 miliar atau sekitar Rp 910 triliun. Jerman adalah salah satu negara yang paling terpukul dengan kerugian mencapai US$ 36,2 miliar atau sekitar Rp 523 triliun. Empat negara lainnya adalah Prancis, Italia, Denmark, dan Belgia.
Alih-alih menindaklanjuti perampokan pajak tersebut, kantor kejaksaan di Hamburg, Jerman justru menggugat Schrom dengan tuduhan membocorkan rahasia bisnis.
“DJV akan melakukan advokasi kasus ini?,” tanya saya ke Bittner.
“Iya. Sudah pasti. Ini bukan semata soal Correctiv. Ini soal pelanggaran kebebasan pers dan kebebasan memperoleh informasi,” kata Bittner tak bisa menyembunyikan rasa kesal.
Nikolaus Steiner, jurnalis Monitor, yang berada di ruangan itu ikut mengiyakan meski ia tidak tergabung dalam DJV. Monitor adalah program televisi investigasi yang dikelola oleh Westdeutscher Rundfunk (WDR), lembaga siaran publik di Jerman bagian barat. Steiner sebelumnya meyakinkan kami bahwa kebebasan memperoleh informasi adalah prasyarat untuk menghasilkan karya jurnalistik yang bermutu.
Crowdsourcing
Empat hari sebelum bertemu Bittner, kami sempat menyambangi markas Correctiv di Berlin. Wakil Pemimpin Redaksi Correctiv Frederik Richter berkisah soal langkah mereka melibatkan masyarakat dalam proses investigasi.
Mereka menyediakan crowdnewsroom, platform daring untuk menghimpun data dari komunitas masyarakat mengenai kasus atau isu tertentu. Informasi dari platform tersebut kemudian ditindaklanjuti para jurnalis.
“Lewat platform ini, kami ingin mendekatkan kembali jurnalisme dengan masyarakat,” ungkapnya, Jumat 7 Desember 2018.
Selama ini, lanjutnya, liputan investigasi dianggap kurang menyentuh langsung keseharian masyarakat. Walhasil, dukungan publik menjadi minim.
Investigasi kecurangan yang dilakukan Sparkassen, jaringan bank besar milik pemerintah Jerman, terhadap para nasabahnya merupakan proyek perdana crowdnewsroom. Lebih dari 800 warga ikut terlibat dalam investigasi dengan meminta daftar donasi dari tabungan mereka, memotret biaya yang dikutip, dan membantu menganalisis laporan keuangan tahunan. Bersama dengan jurnalis Correctiv, ratusan warga tersebut mengumpulkan informasi tentang kredit macet, gaji anggota dewan, hingga suku bunga yang berlebihan.
Proyek kedua mengangkat soal jam kosong pada sekolah-sekolah di Dortmund, Jerman. Lebih dari 500 orang tua, guru, dan siswa ikut menginput jam kosong yang terjadi di sekolah ke platform crowdnewsroom.
Data tersebut kemudian ditindaklanjuti Correctiv dengan menggandeng Ruhr Nachrichten , koran lokal di Dortmund. Hasilnya: jumlah jam kosong yang terjadi di Dortmund jauh lebih besar dari statistik yang dilaporkan pemerintah. Dua koran pelajar di Dortmund menggunakan data ini untuk membuat laporan jurnalistik mereka sendiri.
Laporan lainnya mengenai pasar real estate di Hamburg dikerjakan dengan sistem yang sama. Warga turut mencari informasi perihal aturan sewa rumah mereka ke pemilik rumah. Dengan menggunakan UU Kebebasan Informasi, warga menggunakan haknya untuk mendapatkan informasi terkait kepentingan mereka.
“Ini adalah laporan investigasi non-traditional,” terang Richter.
Bekerja dengan platform seperti crowdnewsroom, kerja jurnalis bukan semata membuat outline liputan, melakukan riset, reportase, dan menulis, tetapi juga menggalang kampanye. Sebelum melakukan liputan, Correctiv bekerja sama dengan media atau komunitas lokal untuk menggelar diskusi publik tentang topik yang hendak diinvestigasi. Semua pihak terkait dengan topik yang hendak diinvestigasi diundang, termasuk dari kalangan pemerintahan maupun korporasi.
“Dalam forum tersebut, kami juga menjelaskan bahwa investigasi yang kami lakukan bukan menyerang orang per orang atau institusi, tapi lebih menyoroti sistem,” ungkapnya.
Pelibatan masyarakat juga dilakukan AlgorithmWatch. Didirikan oleh dua jurnalis data, satu orang peneliti, dan seorang ahli hukum, organisasi ini memulai langkah sebagai lembaga riset.
AlgorithmWatch melakukan audit eksternal terhadap mesin pencari Google sebagai proyek perdana. Mereka mencoba mencari tahu algoritma yang digunakan Google dan memahami bagaimana proses kerjanya dalam mempersonalisasi hasil pencarian selama proses pemilu di Jerman.
“Bagaimana bisa melakukan hal tersebut jika kami tidak tahu database Google?” kisah Matthias Spielkamp, pendiri AlgorithmWatch, saat ditemui di ruang kerjanya di Berlin, Jumat 7 Desember 2018.
Dengan bantuan profesor ilmu komputer di University of Kaiserslautern, Katharina Anna Zweig, AlgorithmWatch membuat platform crowdsourcing. Melalui platform ini, mereka mencari sukarelawan untuk mengunduh dan memasang plugin yang diprogram khusus untuk browser Chrome atau Firefox, dan memberikan datanya. Sebanyak 5.000 orang mengunduh plugin dan 3.000 dari mereka memasangnya secara sukarela.
Zweig menyebut bahwa proyek ini bukan bentuk ketidakpercayaan pada Google, melainkan usaha masyarakat untuk mengontrol algoritma. Proyek yang dimulai Mei 2017 ini juga menggandeng Spiegel Online sebagai media partner.
Hasil liputan dirilis ke publik pada Januari 2018. Nama AlgorithmWatch mulai populer di tingkat lokal maupun global, dan lebih dikenal sebagai lembaga nonprofit yang fokus pada jurnalisme data. Tawaran kerjasama berdatangan.
AlgorithmWatch bertransformasi dari sekadar lembaga riset menjadi lembaga nonprofit yang juga memproduksi berita. Liputan yang dihasilkan AlgorithmWatch dengan menggandeng media mainstream disebut sebagai laporan berbasis akuntabilitas algoritma oleh Spielkamp.
“Bukan sekadar soal data, tapi dari data tersebut kami juga bisa memperlihatkan soal diskriminasi, ketidakadilan, dan lain-lain,” ungkapnya.
Teranyar, AlgorithmWatch bekerja sama dengan Open Knowledge Germany dan Spiegel Online dalam proyek OpenSchufa. Mereka menelisik sistem pemeringkatan kredit berbasis algoritma yang dimiliki Schufa, lembaga pemeringkat kredit terkemuka di Jerman.
Algoritma yang dibangun Schufa menghasilkan skor untuk menentukan bisa atau tidaknya seseorang menerima kredit perumahan atau pinjaman uang di bank. Semakin rendah skor, maka peluang mendapatkan pinjaman semakin kecil.
OpenSchufa berusaha menyelidiki ada atau tidaknya bias dalam algoritma pemeringkatan yang digunakan Schufa. Untuk melakukan analisis, lebih dari 2.000 warga memasukkan laporan Schufa mereka ke platform OpenSchufa. Proyek ini direspons luas di Jerman. Belakangan Bayerischer Rundfunk ikut melakukan investigasi mengenai hal ini.
Inisiatif crowdsourcing yang dilakukan Correctiv maupun AlgorithmWatch sebenarnya bukan hal baru. ProPublica melakukannya dari soal menelusuri jejak dana kampanye pemilu hingga melibatkan veteran Perang Vietnam untuk menginvestigasi penggunaan bahan kimia oleh militer Amerika Serikat dalam perang Vietnam. Sementara International Consortium of Investigative Journalist membuat database dari bocoran Panama Papers, juga Offshore Leaks dan Bahamas Leaks, sehingga para jurnalis yang berkepentingan bisa turut menandai nama atau petunjuk yang mereka cari.
Kebebasan Informasi
“Perampokan pajak adalah kejahatan. Jurnalisme bukan.” Kalimat tersebut adalah judul petisi yang ditulis Correctiv pada 11 Desember 2018 dan ditujukan kepada Menteri Hukum Jerman Katarina Barley dan Menteri Keuangan Olaf Scholz yang pernah menjabat sebagai walikota Hamburg. Petisi tersebut mendesak Pemerintah Federal Jerman untuk membatalkan investigasi yang dilakukan terhadap Oliver Schrom terkait kasus CumEx-Files.
Tudingan dari jaksa pemerintah bahwa Schrom telah membocorkan rahasia perusahaan dinilai absurd. Correctiv menyebut bahwa Schrom telah memulai penyelidikannya sejak tahun 2014 untuk mengungkap “keluhan besar-besaran yang terjadi di masyarakat kita.”
Alih-alih sibuk menginvestigasi Schrom, Correctiv minta pemerintah menginvestigasi “orang-orang yang mencuri pajak kami untuk memuaskan keserakahan mereka sendiri.”
Dukungan terhadap Schrom mengalir dari banyak kalangan, bukan hanya dari para jurnalis di Jerman, tapi juga komunitas jurnalis internasional. Global Investigative Journalism Network (GIJN) turut mengecam persekusi yang dilakukan jaksa Hamburg terhadap Schrom. Kalangan jurnalis menilai bahwa apa yang terjadi pada Schrom bukan semata serangan terhadap Correctiv tapi juga pukulan terhadap kebebasan pers dan kebebasan memperoleh informasi. Padahal kedua hal itulah yang merupakan pondasi bagi bekerjanya good journalism (jurnalisme yang baik).
Jika pemerintah mulai membuat regulasi dan mencari dalih yang membatasi kebebasan memperoleh informasi maka platform seperti crowdsourcing juga bakal prematur. Namun jika publik percaya bahwa media atau jurnalis benar-benar bekerja untuk kepentingan mereka, maka proses mendorong pemerintah bersikap lebih transparan bukan hanya menjadi pekerjaaan media atau jurnalis semata, demikian halnya dengan lahirnya jurnalisme yang baik. Publik yang berkontribusi melalui data maupun donasi juga berperan dalam menghasilkan jurnalisme yang baik. (Fransisca Ria Susanti)