PEKERJAAN belum sepenuhnya rampung ketika Muhammad Sanusi beristirahat. Duduk di atas geladak kapal Run Zeng 03 pada Sabtu, 6 April 2024, badan pria usia 30 itu terlalu lelah setelah bekerja tanpa henti. “Waktu itu kami kerja jam 6 pagi, lalu berhentinya jam 12 siang. Kerja kembali jam 1 siang sampai jam 5. Lanjut lagi jam 6 sore berhenti lagi jam 12 malam. Hari kedua nonstop dari jam 7 pagi sampai jam 1 malam,” kata Sanusi  pada Jumat, 17 Mei 2024.  

Di atas kapal berbendera Rusia itu, Sanusi tak bekerja sendiri. Ia bersama puluhan anak buah kapal (ABK) lain sedang memindahkan hasil tangkapan seberat 150 ton ke Kapal Motor Mitra Utama Semesta. “Kami disuruh kerja lepas karung dibarter cuma dengan rokok dan kopi beberapa bungkus,” ujarnya.  

Kepada Jaring.id dan Tempo, Sanusi membagikan pengalaman pahitnya menjadi awak kapall berukuran 870 GT. “Kami makan dan minum tak layak,” ujarnya. Sebelum kapal itu ditangkap pada 19 Mei 2024, ia mengaku sempat memakan ayam busuk sembari menenggak air sisa dari tetesan mesin pendingin ruangan (air conditioner). Yang paling menyakitkan buat ABK asal Jawa Barat ini adalah larangan memakan ikan di atas kapal. “Kapten kapal selalu melarang,” ujarnya geram.  

Perlakukan buruk kapten kapal terhadap ABK seperti Sanusi tak berhenti di situ. Alih-alih memberi perawatan medis ketika salah seorang awak tertimpa ikan beku, sang kapten malah menyodori kopi untuk menghentikan pendarahan di kepala. “Lalu disuruh bekerja lagi,” kata Sanusi.

Hal lain adalah masalah gaji dan pemberian tunjangan hari raya (THR) sebesar Rp2 juta. Pemberian THR, menurut Sanusi, dijanjikan oleh agen yang merekrutnya sebagai awak kapal. ”Kami enggak pernah terima uang THR. Kami pun hanya terima Rp500 ribu bekal perjalanan, itu pun cuma-cuma,” ujarnya. Oleh sebab itu, Sanusi dan beberapa awak lain memilih mogok bekerja pada Senin, 8 April 2024.

Sang kapten tak tinggal diam. Ia segera menghubungi Gunawan Winarso, pengelola kapal Run Zeng 03 dan 05. Dari komunikasi itu Gunawan sempat menjanjikan pengiriman uang melalui nomor rekening masing-masing. Tetapi para awak kapal sudah kadung marah dan tidak mudah percaya. Satu-satunya hal yang mau Sanusi lakukan saat itu adalah pulang. Biar bagaimanapun, yang penting pulang. Pokoknya, kata dia, pulang ke rumah, minum sesuatu dan makan sesuatu. “Jadi teman-teman nggak ada kerja lagi. Positif mau pulang,” ujar Sanusi sembari berharap ada kapal penjemput.

Tiga hari kemudian kapal yang ditunggu tak kunjung datang. Alih-alih menepati janji untuk memberi jemputan, para awak yang tak punya daya tawar selain tenaga diminta untuk kembali bekerja sampai kapal jemputan tiba. Mula-mula Sanusi menuruti permintaan tersebut. Ia tersadar telah dikadali setelah kapten Run Zeng menambah kecepatan kapal menuju tengah laut.

“Kami menunggu karena daratan sudah dekat. Posisi kapal dengan daratan sekitar 8 kilometer. Di situ kami nunggu sampai ke pinggir, kapal Run Zeng malah belok kiri mau menengah laut lagi. Jadi teman almarhum ini bilang ayo kalau abang berani loncat dulu, saya ikut,” ungkapnya.

Sesaat kemudian, air laut melancut, “bloop.”

Orang pertama yang nongol di atas permukaan air adalah Sanusi. Setelah itu 5 awak kapal Run Zeng 03 lain bergegas melompat satu persatu. Salah seorang dari mereka sempat mengenakan pelampung, sedangkan 3 orang berpegangan dengan seorang lain. Hanya dalam beberapa menit, kata Sanusi, kapal Run Zeng lenyap seakan tertelan gelombang tinggi. Gelombang itu pula yang membuat salah seorang dari awak kapal bernama Juanaaby terpisah.

Setelah beberapa jam terombang-ambing, Sanusi dan beberapa kawan diselamatkan oleh awak kapal purse seine. Dari atas kapal kayu penangkap ikan pelagis itu Sanusi berusaha mencari Juanaaby, tetapi pencarian itu tak berbuah hasil.

Kapal Run Zeng 03 ditahan di pelabuhan pangkalan PSDKP Tual, Rabu 5 Juni 2024. (Foto: Abdus Somad)

Awak kapal yang selamat kemudian dilarikan ke Puskesmas di Desa Warabal. “Kondisi saya kritis, lalu diinfus. Malamnya itu ada kabar dari pihak TNI kami diminta keterangan sama perangkat desa juga,” kata dia.

Tiga hari kemudian Sanusi mendapatkan kabar kalau Juanaaby sudah tak bernyawa. Jenazahnya ditemukan mengapung tanpa kepala. “Kami tidak tahu itu dimakan ikan atau apa. Biasanya kan kalau dimakan ikan ada sobek-sobekannya. Kami curiga,” ungkap Sanusi.

Sejumlah nelayan di Tual, Dobo, dan wilayah Kepulauan Aru yang kami temui menaruh kecurigaan yang sama. Mereka mengaku tidak pernah mendapati jenazah tanpa kepala sekalipun di perairan tersebut sering terjadi kematian. “Kalau tenggelam atau mati, ikan hanya makan bagian tubuh atau beberapa bagian di kepala saja. Tidak satu kepala hilang,” kata Yadhi, seorang nelayan di Tual.

Oleh warga setempat jenazah Juanaaby buru-buru dimakamkan. Kuburan dengan urugan pasir laut tersebut dibuat datar tanpa papan nisan. Petanda satu-satunya hanyalah balutan semak dan kembang warna warni di atasnya.

 

***

 

Dua bulan sebelum Sanusi dan 5 awak kapal melompat dari Run Zeng 03, Erwan Rudiyanto—bukan nama sebenarnya, pernah mengalami eksploitasi kerja yang sama. “Getir sekali bekerja di kapal itu,” katanya sambil terisak saat diwawancara pada Kamis, 16 Mei 2024.

Erwan bercerita, waktu kerja di atas kapal itu nyaris 24 jam tanpa makanan dan minum yang layak. Di sana ia bekerja sebagai operator alat tangkap sembari memilah pilih ikan yang tergaruk jaring trawl. Ikan layur, kakap merah, kerapu, sampai hiu dan pari adalah beberapa jenis ikan yang kerap ditemukan Erwan selama dua bulan bekerja di kapal Run Zeng.

Setelah bekerja selama dua bulan seluruh awak kapal Indonesia yang berjumlah 27 orang diberhentikan. Erwan sendiri diminta menandatangani sepucuk surat pengunduran diri oleh nahkoda Run Zeng. Mereka kemudian diturunkan di dekat Pelabuhan Dobo, Kepulauan Aru, dan Maluku dengan pesangon yang hanya sejumlah Rp1,5 juta per orang. “Kami dibuang di Dobo,” kata dia.

Pemberhentian pekerja secara sewenang-wenang seperti yang dialami Erwan merupakan praktik lancung yang kerap menimpa awak kapal. Kondisi serupa siklus ini berlanjut karena kapal sebesar Run Zeng mudah mendapatkan tenaga kerja, baik yang berasal dari pelbagai wilayah di Indonesia maupun pekerja asal China. 

Beberapa narasumber yang pernah bekerja di kapal itu mengungkapkan adanya sebuah kapal–dikenal dengan sebutan kapal sayur, yang mensuplai pekerja di tengah laut. “Kapal sayur yang datang, bawa ABK Cina sebanyak 20 orang. Serta perbekalannya ABK Cina. Kami yang bantu memindahkan,” ungkapnya.

Praktik sungsang yang dilakukan Run Zeng 03 tak butuh waktu lama untuk sampai ke telinga pengurus Paguyuban Mitra Nelayan Sejahtera—perkumpulan nelayan yang berbasis di Pati, Jawa Tengah. Komunitas itu beroperasi di Wilayah Pengelolaan Perikanan 718 yang meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor Bagian Timur. Mereka bersurat kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono pada 14 April 2024. “Kami resah karena adanya illegal fishing oleh penangkapan ikan kapal asing,” kata Sekretaris PMNS, Siswo Purnomo.

Dalam surat itu disampaikan pula mengenai permintaan Run Zeng untuk mendaratkan ikan, serta memindahkan hasil tangkap ke kontainer di Pelabuhan Dobo, Kepulauan Aru, Maluku. Pengurus Paguyuban Mitra Nelayan Sejahtera menolak permintaan itu karena kapten Run Zeng tak bisa menunjukkan dokumen kapal yang sah. “Kami meminta agar dilakukan penangkapan dan penindakan tegas kapal asing ilegal,” kata Purnomo.

Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP, Pung Nugroho Saksono lalu memburu kapal Run Zeng 03 dan 05. Dalam perburuan ini pemerintah juga berkoordinasi dengan interpol negeri jiran, Australia dan Papua Nugini. Pada 6-8 Mei 2024, Australia mendeteksi keberadaan kedua kapal itu di wilayah perairan Australia yang berdekatan dengan Indonesia.

Sekitar dua pekan berlalu, tepatnya pada 19 Mei 2024, kapal Run Zeng 03 ditangkap dengan 12 awak kapal asal Indonesia di dalamnya. Sedangkan Run Zeng 05 berawak 19 orang Indonesia sempat kabur sebelum tertangkap di Papua Nugini. Dalam operasi itu PSDKP turut menangkap kapal asal Probolinggo, KM Yulian yang tengah melakukan transaksi jual-beli makanan dan bahan bakar minyak.

 

***

 

Kapal Run Zeng merupakan kapal yang dibuat di Rusia. Dopk Progress yang beralamat di Care of Donggang Runzeng Ocean Fishing Co Ltd , 65-1, Donggang Beilu, Donggang, Liaoning, China diketahui sebagai pemilik. Adapun operator kapal dikendalikan oleh Donggang Runzeng Ocean Fishing yang beralamat di 65-1, Donggang Beilu, Donggang, Liaoning, China.

Pemilik kapal tercatat atas nama Yang Chunge dan Sun Hiu. Pasangan suami-istri ini terkenal sebagai salah satu pelaku bisnis perikanan di China. Laporan yang ditulis media di China menyebutkan pada 4 November 2017 perusahaan tercatat pernah meresmikan 10 kapal Run Zeng. Peresmian itu turut dihadiri Ketua Liaoning Runzeng Industrial Group, ang Chuang, Wakil Ketua Liaoning Runzeng Industrial Group, Sun Hui, dan General Manager Russian Classification Society (RCS) China, Peter.

“Kedua belah pihak telah membentuk persahabatan yang mendalam dalam kerja sama tersebut, dan dia sangat berterima kasih kepada semua pekerja BOSHI yang berpartisipasi dalam pembangunan 10 kapal pukat atas kontribusinya dalam pembangunan bidang kapal penangkap ikan Run Zeng Group,” tulis laporan tersebut.

Menteri Perikanan dan Kelautan, Sakti Wahyu Nugroho bersama Dirjen PSDKP, Pung Nugroho Saksono melakukan inspeksi kapal Run Zeng 03 dalam kunjungan peluncuran simulasi PIT, Minggu, 2 Juni 2024. (Foto: Abdus Somad)

Di China perusahaan ini bukan tanpa masalah. Sedikitnya ada 290 kasus yang melibatkan Run Zeng sejak 2012. Sebanyak 98 kasus di antaranya terkait dengan persoalan perselisihan ketenagakerjaan dengan anak buah kapal, diikuti 32 kasus perjanjian perdagangan, dan 31 kasus perselisihan dengan kontrak pembuat kapal. Perusahaan juga menghadapi 7 tuntutan hukum. Salah satunya diajukan oleh seorang awak kapal Run Zeng 05 yang mengklaim bahwa perusahaan berutang gaji dan kompensasi sebesar RMB 132.375 setara dengan Rp 291.665.467. Namun, pengadilan hanya memerintahkan perusahaan membayar RMB 117.933 setara dengan Rp 259.845.013

Berdasarkan data pelacakan otomatis keberadaan kapal atau automatic identification system (AIS), kapal Run Zeng 03 dan 05 terdeteksi bergerak dari Taizhou sebelum masuk ke perairan Indonesia. Hingga Februari 2024 lalu kedua kapal sempat berada di sejumlah wilayah Indonesia sebelum sistem AIS kapal dimatikan.

Dari data itu kami menemukan bahwa Run Zeng sempat berada di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, pada 3 Mei 2023. Laporan berbahasa Rusia yang mencatat aktivitas kapal dan pelabuhan milik Rusia sepanjang 2023 menuliskan bahwa Run Zeng ditahan di Tanjung Priok karena sejumlah indikasi pelanggaran. Di antaranya tak bisa menunjukkan beberapa sertifikat kapal dan pencatatan navigasi. Namun lima bulan kemudian, kapal terpantau menurunkan sauh di Pelabuhan Bayah, Banten, dan melanjutkan perjalanan ke Laut Banda, Kepulauan Maluku.

Dua pengusaha perikanan yang mengetahui penyelidikan Run Zeng menceritakan bahwa kapal milik China tersebut sempat ditangkap oleh petugas KKP di Ambon. Namun kembali dilepaskan setelah berita acara pemeriksaan dibuat. Dirjen PSDKP, Pung Nugroho Saksono menyatakan bahwa kehadiran Run Zen di Tanjung Priok dan Laut Banda tak lain untuk mengurus izin. “Mereka sudah jalan meski prosesnya belum selesai,” kata Pung saat ditemui di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Kamis, 26 September 2024.

Meski begitu, nama mantan Kepala Pangkalan PSDKP Jakarta itu ditengarai mengizinkan Run Zeng terus beroperasi meski dokumen kapal tak lengkap. Pengelola Run Zeng di Indonesia, Gunawan Winarso membeberkan hal itu dalam persidangan kasus alih muat ilegal yang dilakukan KM MUS dan Run Zeng di Pengadilan Negeri Tual.

Dalam salinan putusan Pengadilan Negeri Tual Nomor 2/Pid.Sus-PRK/2024/PN tertulis, “Pak Ipung yang menyuruh memperbolehkan alih muat kemudian dia yang menangkap.” Pung mengatakan tindakan yang ia lakukan merupakan bagian dari strategi penyelidikan untuk menangkap Gunawan dan kapal Run Zeng. “Tidak apa-apa disebut-sebut di persidangan karena tindakan saya di lapangan merupakan teknik membaur dengan pelaku,” ujarnya.

 

***

 

Sejak tahun lalu kami mengumpulkan jejak rekam kapal eks asing yang mondar-mandir di perairan Indonesia menggunakan mesin pelacakan, Marine Traffic, Global Fishing Watch, dan Automatic Identification System. Data yang muncul kemudian kami lengkapi dengan kesaksian nelayan. 

Salah satu kapal eks asing yang kami pantau ialah kapal Fu Yuan Yu F77. Pada Mei 2024 lalu kami sempat berusaha menelusuri jejak keberadaan kapal itu di Laut Arafura. Penelusuran dimulai dengan menyisir titik terdekat kapal F77 sempat terpantau di wilayah Laut Aru, tetapi hasilnya nihil. Lalu proses pencarian menggunakan kapal cepat itu berlanjut ke sejumlah titik di Laut Arafura sembari mengunjungi pulau-pulau kecil terluar. Usaha pencarian berhenti setelah kapal yang kami tumpangi terjebak cuaca buruk. 

Setelah berhitung dan mempertimbangkan faktor keamanan, kami akhirnya memutuskan untuk menghentikan pencarian dengan bermalam di Desa Apara. Desa ini berada tak jauh dari pulau yang sempat disinggahi kapal F77, yakni Pulau Enu. 

Bagi nelayan di sekitar Laut Arafura kapal yang kami cari bak bahtera siluman. Sekalipun terdeteksi keberadaanya, kapal berbobot mati 1.589 ton itu sulit ditemui karena lincah berpindah lokasi. 

Beni, seorang nelayan yang berpuluh tahun mencari kepiting bakau di Pulau Enu mengaku pernah melihat kapal tersebut mendekati pulau untuk menghindari badai pada Mei 2024. “Ukurannya besar,” katanya saat ditemui di Desa Apara, Kepulauan Aru, pada pekan pertama Juni lalu. Wujud kapal yang dilihatnya persis seperti potret Fu Yuan Yu yang disodorkan kepadanya.

Nelayan lain dari Desa Batu Goyang, Yadhi juga mengaku pernah melihat F77 di sekitar pelabuhan PT Samudera Indo Sejahtera (SIS) pada akhir Agustus dan awal September tahun lalu. Pengakuan itu persis sama dengan hasil deteksi AIS yang kami kumpulkan. 

Keberadaan kapal tersebut di Tual sebetulnya bukan cerita baru. Kapal eks asing ini dulunya memang dimiliki PT Binar Surya Buana yang berafiliasi dengan perusahaan Maritim Timur Jaya sebuah perusahaan yang dikelola oleh Artha Graha Group milik Tomy Winata. Hasil pelacakan kapal di tengah laut Arafura antara Merauke, Papua dan Kepulauan Aru, Maluku pun kerap menemukan adanya pola yang terus berulang. Kapal Fu Yuan Yu F77 kerap terlacak wara-wiri di sekitar kapal IGP 19, 18, dan IGP 29 milik PT Indonesia Gemilang Pualam yang merupakan usaha dari PT Samudera Indo Sejahtera (SIS), yang dahulu bernama PT Maritim Timur Jaya.

Dalam rentang waktu 2023-2024, kapal tersebut berlabuh dua kali dalam setahun di pelabuhan milik PT SIS di Ngadi, Dullah, Tual sekalipun tak memiliki Surat Izin Usaha Perikanan Tangkap (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI).  Padahal sejumlah peraturan mewajibkan kapal seperti itu memiliki izin, antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan bidang Kelautan dan Perikanan, Peraturan Menteri Nomor 10 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kelautan dan Perikanan.

Tak hanya alih muat ilegal, kapal milik Tomy juga diduga melakukan markdown ukuran kapal. Hal itu terjadi di kapal IGP 29 dengan bobot mati yang teregister di KKP sebesar 360 GT. Dari rekam jejak kapal menggunakan IMO dan Electronic Quality Shipping Information System (Equaisi), diketahui bahwa kapal itu ternyata berkapasitas 398 GT. Kejanggalan lainnya, pemerintah di Kementerian Perhubungan juga mencatat bahwa kapal IGP 29 merupakan kapal eks Binar 116. Dalam dokumen kapal eks asing, kapal itu tidak pernah dimiliki oleh PT Binar Surya Buana melainkan kapal Fu Yuan Yu 617 yang merupakan kapal asing asal China.

Guna mengkonfirmasi temuan itu kami telah meminta Tomy untuk wawancara melalui seorang pegawai urusan media di Artha Graha Group pada Selasa, 24 September 2024. Dari dia pula kami mengetahui bahwa Tomy tak lagi berfokus pada bisnis di sektor perikanan. Ia menyebutkan bahwa pengelolaan bisnis itu kini ditangani oleh manajemen PT Samudera Indo Sejahtera.

Direktur Operasional PT Samudera, Arif Wijaya, dalam jawaban tertulis menjelaskan bahwa perusahaannya tak memiliki kapal dengan nama Fu Yuan Yu F77. Ia mengklaim semua kapal yang beroperasi di bawah bendera PT Samudera memiliki izin dan mematuhi peraturan yang berlaku di Indonesia. “Kami tidak memiliki hubungan kepemilikan atau operasional dengan kapal tersebut,” kata Arif.

Dalam jawaban itu pula Arif mengiyakan telah melakukan perubahan bobot kapal. Hal itu, kata dia, dilakukan untuk menyesuaikan alat tangkap yang digunakan. Dalam laman perizinan KKP, KM IGP 29 menggunakan alat tangkap jaring insang hanyut. Meski sebelumnya kapal bekas Fu Yuan Yu 617 ditengarai menggunakan alat tangkap trawl.

“Penurunan bobot kapal terjadi akibat perubahan pada alat tangkap atau modifikasi struktur kapal yang dilakukan sesuai dengan regulasi di Indonesia. Kami memastikan bahwa sebelum kapal dapat beroperasi kembali, seluruh prosedur dan persyaratan hukum telah terpenuhi untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku,” jelasnya.

Dirjen PSDKP, Pung Nugroho Saksono mengklaim keberadaan kapal Fu Yuan Yu F77 yang kami deteksi adalah kapal ikan kayu asal Indonesia. Kapal itu, kata dia, menggunakan AIS yang pernah digunakan Fu Yuan Yu F77. “Itu tidak ada. Itu kami pernah cek. Itu kapal Indonesia yang gunakan AIS beli di cina yang dipasang. Kami sempat kejar kapal Indonesia,” kata Ipung.  

Mantan Kepala PSDKP Bitung ini juga mengklaim bahwa tak pernah ada praktik alih muat yang dilakukan oleh kapal Fu Yuan Yu F77 dengan kapal milik IGP. “Tidak ada kalau ada pasti kami gerak,” lanjutnya.

Indonesia Ocean Justice Initiative–lembaga yang fokus pada isu kelautan dan maritim, turut melacak keberadaan kapal Fu Yuan Yu F77. Dalam laporan yang dilansir pada 11 Juni 2024 lalu, IOJI mengidentifikasi keberadaan kapal ber-AIS  Fu Yuan Yu F77 di Laut Arafura menggunakan Sentinel-1. “Data automatic identification system masih tertera sebagai Fu Yuan Yu F 77,” tulis IOJI dalam dokumen analisisnya.

Pengamatan yang dilakukan pada 3 April 2024 itu menemukan objek sepanjang 80-90 meter. Objek tersebut diduga kapal gelap (dark vessel) karena dimensinya hampir mirip dengan F77 yang memiliki panjang 78 meter. Oleh sebab itu, dalam dokumen yang sama, IOJI menyarankan agar pemerintah melakukan verifikasi terhadap kapal yang memakai AIS Fu Yuan Yu F77. Hal ini perlu dilakukan agar status keabsahan kapal tersebut dan kegiatannya di perairan Indonesia semakin jelas.

“Apabila kapal tersebut terbukti tidak memiliki izin untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di Indonesia, maka kapal tersebut harus dikenakan sanksi sesuai dengan UU Perikanan yang berlaku. Namun, apabila kapal tersebut ternyata merupakan kapal perikanan Indonesia yang menggunakan AIS dengan nama kapal Fu Yuan Yu F77, maka kapal tersebut tetap dikenakan sanksi berdasarkan ketentuan UU Pelayaran,” begitu yang disampaikan IOJI dalam dokumen yang kami terima. 


Artikel ini merupakan bagian dari serial investigasi kejahatan perikanan di Indonesia Timur yang merupakan kolaborasi Jaring.id dan Tempo dengan mendapatkan dukungan dari Pulitzer Center. Kamu bisa menyimak tulisan lain serial ini:

Dirjen PSDKP KKP: Kami Bisa Membaur dengan Pelaku

Berdasarkan indeks risiko IUU Fishing yang dirilis Global Initiative Against Transnational Organized Crime (Gitoc) pada Desember 2023, Indonesia tercatat sebagai negara terburuk keenam dari 152 negara dalam menangani praktik illegal, Uunreported, and unregulated fishing (IUUF).

Kongsi Bisnis Anak Menteri

Menantu Menteri Sekertaris Negara Pratikno berkongsi dengan anak Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trenggono dalam bisnis perikanan. Jaringan bisnisnya tersebar di beberapa perusahaan dan diklaim hanya bisnis Cupang.

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.