Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang menerapkan ambang batas pencalonan presiden 20 persen atau tertinggi di antara negara lain. Menurut Direktur Asia Democracy Network (ADN), Ichal Supriadi, mekanisme pencalonan tersebut bertujuan untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan di tangan pemerintahan dan parlemen. “Tidak ada di Asia ambang batas presiden harus 20 persen. Ini akal-akalan saja untuk kontrol. Dalam adab demokrasi tidak seharusnya ambang batas 20 persen diberikan,” kata Ichal kepada Jaring.id, Sabtu 4 Februari 2022. Berikut petikan wawancaranya:
Apa kritik Anda terhadap penerapan ambang batas pemilihan presiden sebesar 20 persen?
Seharusnya tidak setinggi itu. Dengan anatomi politik di Indonesia, tidak memungkinkan partai baru mendapatkan ruang cukup dengan ambang batas. Presiden itu dengan ambang batas segitu tidak membuka ruang lagi untuk alternatif. Selalu terjebak pada calon yang itu saja. Kalau diperkecil lagi mungkin parpol yang bisa menentukan. Ini terlalu tinggi, apalagi patokannya pemilu sebelumnya. Jadi ruang untuk siapa saja harus dibuka. Mekanisme partai baru atau pemain baru. Kalau ditutup sama saja itu namanya kartel politik. Itu tidak boleh perwakilan rakyat dibatasi atau dimonopoli oleh partai politik di parlemen. Parlemen harus cair dan demokratis.
Seperti apa mekanisme politik pemilihan presiden di luar Indonesia?
Hanya Indonesia yang menerapkan 20 persen. Indonesia paling tinggi. Tidak ada yang menerapkan sampai segitunya. Tujuannya untuk kontrol sudah jelas. Kedua partai ini takut untuk kompetisi. Kalau berani mengapa harus dibatasi 20 persen.? Tidak ada di Asia ambang batas presiden harus 20 persen. Ini akal-akalan saja untuk kontrol. Dalam adab demokrasi tidak seharusnya ambang batas 20 persen diberikan
Apa dampak penerapan ambang batas 20 persen?
Tidak ada partai baru yang mampu bersaing, apalagi menjadi partai oposisi. Akan muncul partai pemenang mayoritas akan membentuk koalisi yang dapat melemahkan partai oposisi. Bisa dikatakan 20 persen membunuh oposisi atau melemahkan demokrasi. Ini harus dihentikan atau diubah karena ini akan membuat demokrasi akan mati. Demokrasi berkembang itu karena ada oposisi dan kesamaan politik.
Kalau di negara-negara Asia apakah menerapkan ambang batas pencalonan presiden?
Ambang batas itu tidak populer di Asia. Ambang batas itu hanya di tiga negara saja, Indonesia, Philipina, dan Nepal. Aplikasinya beda-beda. Indonesia untuk parlemen, DPR atau presiden. Sayangnya dua-dua mengambil sampel berbeda. Parlemen itu aktual berapa suara yang di dapat, tapi kalau presiden berlaku sebelumnya. Di Philipina dan Nepal ambang batas berlaku untuk pemilu lokalnya saja.
Di kawasan Asia memang tidak populer. Di negara maju seperti Australia menerapkan ambang batas. Tapi bukan tanpa risiko. Pada pemilu sebelumnya di wilayah Australia tidak tercapai batas ambang batas, sehingga terjadi kekosongan dinamika politik.
Untuk apa menerapkan ambang batas?
Ambang batas itu diterapkan untuk membawa stabilitas pada sistem politik. Akan tetapi tidak semua kandidat baru bisa langsung bertanding dalam pemilu. Makanya ada ambang batas. Kalau terlalu besar ambang batasnya bisa menguatkan atau monopoli ruang politik kandidat baru yang ingin masuk kontestasi. Memang ambang batas tidak haram tapi angkanya mesti diukur dengan menjaga keseimbangan dan stabilitas. Memberikan kesempatan pemain politik baru untuk berkompetisi.
Anda mengatakan di negara Asia tidak banyak, mengapa?
Untuk wilayah Malaysia karena pakai sistem mix profesional jadi pemilihan presidennya sudah dianggap cukup di parlemen. Perdana menteri dipilih oleh parlemen, sehingga pertarungannya berada di parlemen. Bisa dipastikan dinamika perkembangan partai baru tidak ada. Hanya partai politik itu saja koalisinya. Sementara di Myanmar, perdana menteri tetap dipilih oleh parlemen. Salah satu sebab ambang atas tidak ada di sana, karena militer cukup nyaman. Mereka tidak ngotot.
Apa yang membedakan Indonesia dan negara tetangga?
Salah satunya karena perbedaan sistem pemilunya. Antara Nepal, Indonesia dan Filipina berbeda. Filipina dan Nepal tidak ada satu partai yang kuat sekali. Nepal dalam satu tahun terakhir memilih 3-4 Perdana menteri. Di Filipina dipastikan tidak ada partai politik sambung menyambung jadi presiden. Mereka setiap periode selalu berganti. Sementara di Indonesia empat periode terakhir, yakni 2 Demokrat dan dua terakhir koalisi PDIP. Jadi dominasi partai politik di Indonesia cukup kuat. (Abdus Somad)