DBH Cukai Tembakau Tak Terserap Optimal

Hampir tiga bulan, Surono (42) menunggu kucuran dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT) dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Petani tembakau asal Magelang ini sebelumnya mendapatkan dana bagi hasil cukai berupa pupuk dan bibit kopi saban September. Tapi sebulan sebelum masa tanam Januari nanti, kelompok tani yang berisi 20 petani termasuk Surono belum mendapatkan bantuan tersebut. Tahun lalu, kata dia, para petani mendapatkan pupuk seberat 5 ton, beserta 5000 bibit kopi. “Sekarang ini agak lambat. Dana bagi hasil cukai hasil tembakau belum bisa terdistribusikan,” ungkap Surono kepada Jaring.id melalui sambungan telepon, Kamis, 2 Desember 2021.

Merujuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor 230/PMK.07/2020, Magelang mendapatkan DBH CHT 2021 sebesar Rp 14 miliar dari Rp 3,47 triliun. Alokasi dana akan diberikan ke 26 provinsi dan 433 kabupaten/kota. Provinsi Jawa Timur mendapatkan dana bagi hasil cukai paling banyak sebesar Rp 1,94 triliun atau 55,6 persen. Sekitar Rp 200,4 miliar di antaranya diberikan ke Kabupaten Pasuruan. Sementara wilayah Jawa Tengah beroleh Rp 743 miliar untuk 36 kabupaten dan kota. Sedangkan Nusa Tenggara Barat mendapatkan anggaran sebesar Rp 318 miliar dengan pembagian Provinsi NTB sebesar Rp 95 miliar dan Rp 51 miliar untuk Kabupaten Lombok Tengah.

Pada tahun ini, setengah dari alokasi DBH CHT wajib diberikan untuk bidang kesejahteraan masyarakat. Ini berbeda dengan tahun sebelumnya yang diberikan untuk bidang kesehatan. Dari jumlah itu, sekitar 35% digunakan untuk bantuan langsung tunai kepada buruh tani tembakau dan buruh pabrik rokok, pembayaran iuran jaminan perlindungan produksi tembakau bagi petani tembakau, serta subsidi harga tembakau. Sedangkan sisanya dibagi untuk program peningkatan kualitas tembakau, penanganan panen dan pasca panen, serta membangun sarana dan prasarana usaha tani.

“DBH CHT digunakan untuk mendanai program dengan prioritas pada bidang kesehatan untuk mendukung program jaminan kesehatan nasional terutama peningkatan kuantitas dan kualitas layanan kesehatan dan pemulihan perekonomian di daerah,” tulis PMK 206/2020.

Padahal sejak awal tahun, Surono mengaku sudah mengajukan proposal permintaan bantuan pupuk, benih tembakau dan kopi, beserta traktor untuk mengolah tanah seluas 20 hektar. Namun hingga kini proposal bantuan yang berasal dari DBH CHT itu belum juga ia peroleh. Tanpa bantuan tersebut petani mengaku kesulitan untuk mengolah lahan. “Bibit belinya mahal. Kalau ada subsidi lumayan bisa mengurangi beban petani. Kalau di toko pertanian agak mahal,” ucapnya.

Surono berharap bantuan pupuk, bibit dan kopi segera cair akhir tahun ini. Sebab para petani hendak memanfaatkan bantuan tersebut untuk membuat sistem pertanian tumpang sari atau mencampur tanaman tembakau dengan kopi, maupun sayuran. Pasalnya, kata dia, harga komoditas tembakau saat ini tak menentu. “Menanam tembakau kurang menghasilkan. Dalam 3 tahun ini relatif murah. Saya berharap DBH CHT dapat diakses dan memberikan keringanan ke petani. Syukur bisa menjadi subsidi dan proses alih tanam lancar bisa menghasilkan tanaman lebih baik,” ungkap Surono.

Rekomendasi redaksi: Sisa Bahaya Sampah Rokok

Sementara itu, petani tembakau asal Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Jopi Hendrayani mengaku tidak lagi menerima manfaat, baik dalam bentuk bantuan langsung tunai maupun pupuk, bibit, hingga alat pertanian sejak 2015. Padahal sebagai petani tembakau swadaya yang tak bermitra dengan pihak perusahaan, Jopi sangat membutuhkan bantuan tersebut. “Sampai hari ini kami belum tahu jawaban pasti. Harapan kami dana bagi hasil cukai digunakan untuk kesejahteraan petani,” kata Jopi kepada Jaring.id melalui sambungan telepon, Jumat, 2 Desember 2021.

Kepala Bidang Pertanian, Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara, Ahmad Rifai mengungkapkan bahwa program dana BLT untuk petani belum bisa diakses seluruh petani di NTB. “Bantuan yang kita berikan ke petani dari dana bagi hasil cukai tembakau di provinsi tidak bisa kami akomodir semua. Karena alokasi kita sedikit. Kalau lihat anggaran tidak bisa diberikan ke petani,” ungkapnya. Sementara lahan pertanian tembakau di NTB terbilang luas. Kata dia, masing-masing kelompok petani dapat memiliki lahan seluas 20-30 hektare.

“Banyak sekali yang mesti dibantu, pertama dari budidaya, mereka butuh bantuan pupuk tapi karena terkendala anggaran terbatas kami tidak bisa mampu. Sementara dana kita untuk pupuk sedikit, alat perajang terbatas. Sementara petani banyak butuhkan,” ia menjelaskan.

Sebagai gantinya, Ahmad menambahkan, pemda telah menyiapkan beberapa program untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Antara lain melalui pemberian pupuk, bibit tembakau virginia dan program alih tanam. “Kami juga ada pembangunan embung dan ada bantuan hasil rajang tembakau. Implementasinya sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan,” ia mengklaim. Adapun lokasi pembangunan embung tersebut terletak di wilayah kering, seperti Praya Timur, Tengah dan Waru. “Mereka lebih banyak menanam pada saat hujan turun,” tambahnya.

Ia berharap rencana pembangunan embung tersebut dapat memberikan lebih banyak pilihan komoditas kepada petani tembakau. “Kami dinas selalu mengupayakan alih tanam. Selatan agak kering. Jadi embung nanti bisa digunakan untuk menanam komoditi lain selain tembakau. Harapannya secara tidak langsung memberikan alih tanam. Begitu tersedia air akan menanam komoditi lain,” ujarnya.

Berbeda dengan Surono dan Jopi, petani Temanggung, Jawa Tengah, Yamidi mengaku sudah mendapatkan bantuan pupuk yang berasal dari dana bagi hasil cukai tembakau. Pemerintah Jawa Tengah memberikan pupuk untuk tembakau seberat 500 kilogram. Namun, menurutnya, bantuan pupuk tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan petani. Sebab dalam satu hektare lahan, para petani setidaknya memerlukan 45 kilogram pupuk. “Kami punya lahan 20 hektar. Untuk kebutuhan pupuk satu lahan itu ratusan kilogram. Jadi tidak cukup,” kata Yamidi, Jumat, 3 Desember 2021.

Apalagi, menurut petani tembakau asal Desa Tlahap ini, tidak semua kelompok tani menerima manfaat dana bagi hasil cukai tersebut. Dari 10 kelompok tani, hanya 2-3 kelompok yang mendapatkan bantuan per tahun. Pasalnya, pemda akan menyeleksi proposal permintaan bantuan yang diajukan kelompok tani. “Itu pun bantuannya sekedar pupuk. Pembagian ke petani dan kelompok tani belum mencukupi,” ujar Yamidi.

Padahal, menurut Yamidi, masalah utama petani di Desa Tlahap ialah tersedianya air. Selama ini petani yang menggarap lahan tembakau di ketinggian 1200-1700 meter di atas permukaan air laut (MDPL) ini mengandalkan air tadah hujan. “Tapi petani tidak bisa mengairi pada musim kemarau. Di tempat kami berada di lereng pegunungan. Tidak ada sumber mata air,” ungkapnya.

Rekomendasi redaksi: DKI Perlu Bagi Zona Peredaran Rokok

Oleh karena itu, ia mengaku sempat mengusulkan kepada pemda untuk membangun tandon air yang terletak tidak jauh dari lahan pertanian warga. “Kami hanya butuh tandon air. Pada saat musim kemarau dan mau tanam lain bisa menyiram tanpa tambah biaya. Itu yang dibutuhkan saat ini,” ujarnya. Namun usulan tersebut tak pernah terealisasi. Pemerintah provinsi, kata Yamidi, justru membikin embung yang letaknya jauh di bawah lahan pertanian. Padahal lahan pertanian di Desa Tlahap tersebar di lereng-lereng gunung. “Bukan itu yang dibutuhkan masyarakat. Kami hanya butuh tandon air,” tambahnya.

Hasil penelitian Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia yang dilakukan Juni-November 2021 mengungkapkan dana bagi hasil cukai tembakau tahun ini berpeluang untuk membantu petani yang hendak beralih tanam. Tapi, menurut peneliti PKJS UI, Suci Puspita Ratih, hasil studi yang dilakukan PKJS di Jawa Tengah, Jawa Timur dan NTB mengungkapkan sejumlah masalah yang mengakibatkan dana tersebut tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal. Antara lain mengenai sosialisasi dan transparansi pemanfaatan dana tersebut kepada petani swadaya. Padahal diperlukan kerja sama yang erat antara pemerintah daerah dan para penerima manfaat, yakni petani.

“Penelitian ini ingin agar petani tembakau tidak selamanya bergantung pada industri, salah satunya dengan alih tanam. Dalam PMK DBH CHT dapat digunakan untuk membantu buruh tani dan pabrik rokok yang ingin alih usaha,” kata Suci kepada Jaring.id, Kamis, 8 Desember 2021.

Namun hingga penelitian ini rampung, menurut Suci, tiga daerah yang menjadi objek penelitian belum melaksanakan program bantuan alih tanam dan diversifikasi. Para petani juga diketahui belum memahami alur pengajuan bantuan dan belum pernah mendapat bantuan dari pemerintah daerah setempat. Para petani swadaya juga mengaku tidak bisa membuat proposal pengajuan dana. “Melalui peran aktif Distanbun, pemda dapat memaksimalkan upaya komunikasi dua arah dengan petani dan melakukan penaksiran kebutuhan di lapangan terutama dalam menampung aspirasi petani,” ujarnya dalam rilis yang diterima Jaring.id.

Oleh sebab itu, PJKS UI menyarankan agar pemda segera menyosialisasikan manfaat DBH CHT, melibatkan petani dalam penyusunan program dan membangun infrastruktur pengairan. “Seharusnya dana bagi hasil cukai digunakan untuk membangun irigasi, agar opsi tanaman yang ditanam lebih banyak,” kata Suci.

Di samping itu, katanya, dana bagi hasil cukai juga bisa digunakan untuk pengadaan informasi pasar, serta memberikan bantuan agar petani dapat mengakses pasar tanaman alternatif di digital marketplace. “Meningkatkan keterampilan petani untuk tampil di dunia digital. Menurut kami, ini ranah konkret sebagai wujud aturan bahwa DBHCHT bisa digunakan untuk kesejahteraan. Ini mulai dari menjual dan ada pembeli,” ucapnya.

Jaring.id telah menghubungi dan melayangkan surat permohonan wawancara Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah. Namun hingga tulisan ini terbit, pemda belum memberikan tanggapan. Sedangkan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, Astera Primanto Bhakti belum bersedia memberikan konfirmasi terkait realisasi dana bagi hasil cukai rokok tahun ini. “Terkait dengan permohonan wawancara mohon maaf sebelumnya, permohonan dimaksud belum dapat dilakukan, dikarenakan ketersediaan waktu yang tidak ada, dikarenakan kesibukan kegiatan dan tugas di akhir tahun,” ujar Hubungan Masyarakat Kemenkeu, Alit, Selasa, 14 Desember 2021.

Dalam rilis PKJS yang diterima Jaring.id pada Jumat, 19 November 2021, Kepala Subdit Dana Bagi Hasil, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, Mariana Dyah Savitri mengonfirmasi pembiayaan alih tanam melalui dana bagi hasil cukai tembakau. Kebijakan tersebut sudah dimulai sejak 2018 di mana pemerintah memberikan bantuan bibit atau benih perkebunan lain. “Kami melalui PMK memberikan payung hukum untuk penggunaannya,” jelasnya.

Meski begitu, penggunaan DBH CHT untuk alih tanam masih relatif kecil. Berdasarkan laporan realisasi 2021, penggunaan DBH CHT untuk alih tanam hanya 2,66 %. Untuk semester pertama tahun ini, realisasi DBH CHT baru di angka 1,15%. “Tentu banyak faktor juga di daerah. Mungkin karena kebutuhannya rendah atau sebetulnya ada kebutuhan tapi belum terdeteksi,” ungkapnya.

Rekomendasi redaksi: Tak Terdeteksi Jual Adiksi di Pasar Daring

Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesehatan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Agus Suprapto menyatakan bahwa dana bagi hasil cukai seharusnya dapat diakses seluruh petani. “Saya mendorong dana bagi hasil cukai bisa diakses petani,” kata Agus kepada Jaring.id melalui telepon, Kamis, 9 Desember 2021.

Pada tahun ini, sebagian besar DBHCHT dialokasikan untuk kesejahteraan petani (50%), sedangkan sisanya digunakan untuk kesehatan dan penegakan hukum. Dalam bidang kesejahteraan masyarakat, jelasnya, terdapat tiga program yang harus dilakukan pemerintah daerah dan provinsi, yakni peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan lingkungan sosial, serta peningkatan keterampilan kerja, salah satunya melalui alih tanam. “Dana bagi hasil cukai hasil tembakau ini penting bagi petani. Harus ada keberanian untuk beralih ini perlu dibantu untuk menanam produktivitas lain agar kehidupan mereka lebih baik,” ujar Agus.

Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Said Abdullah menilai pembagian dana bagi hasil cukai tahun ini tak efektif mendorong kesejahteraan petani. Menurutnya, kesejahteraan petani seharusnya menjadi beban industri. Sedangkan DBH CHT diarahkan seluruhnya untuk kesehatan petani. “Seharusnya hasil cukai untuk kesehatan saja. Semua pabrikan melakukan pembinaan ke petani langsung. Kita seharusnya fokus pada kesehatannya saja,” kata Said saat ditemui di ruangan Banggar DPR, Selasa, 14 Desember 2021.

Oleh sebab itu, anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan ini mendorong agar pemerintah lebih mementingkan kesejahteraan petani. Salah satunya melalui kebijakan importasi dan pembangunan irigasi. “Evaluasi sudah dilakukan. Banggar sudah merekomendasikan agar tidak ada impor lebih dari 20 persen, membangun saluran (irigasi) ke lahan petani. Itu harus dikreasi oleh pemerintah daerah,” ujarnya.

Dewan juga mendorong agar pemerintah memberikan jaminan kesehatan dan pendidikan kepada keluarga petani tembakau. Usulan ini, kata dia, telah disetujui oleh Kementerian Keuangan dan akan direalisasikan pada 2022 nanti. “Selain pakai dana cukai juga akan diambil lagi lewat mekanisme BPJS,” kata Said. (Abdus Somad)

Derita Ganda Perempuan dengan Kusta   

Bercak putih kemerahan sebesar uang koin Rp500 di kedua pipi menjadi awal perubahan dari kehidupan Sri. Sebelas tahun lalu usianya baru 21 tahun. Mula-mula, bercak

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.