WhatsApp group (WAG) serikat pekerja perusahaan espresso mendadak ramai setelah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X menetapkan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) senilai 4,30 persen atau Rp 75.915 pada Sabtu, 20 November 2021. Upah minimum Yogyakarta ditetapkan sebesar Rp 2.153.970, Kabupaten Gunung Kidul Rp 1.900.000, Sleman Rp 2.001.000, Bantul Rp 1.916.848 dan Kulonprogo hanya 1.904.275.
Karolus Feri lanang (31), salah satu pekerja yang tergabung dalam WAG mengungkapkan kekecewaannya atas penetapan upah tersebut. “Kami kaget kok naiknya seperti itu. Padahal semua kebutuhan naik,” ujar Karolus kepada Jaring.id melalui sambungan telepon, Selasa 23 November 2021.
Kenaikan upah kurang dari 5 persen dirasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. “Seharusnya kenaikan upah patokannya kebutuhan hidup layak. Kenaikannya tidak cukup,” ujarnya. Hasil survei kebutuhan riil yang dilakukan Feri bersama serikat pekerja espresso menunjukkan bahwa kebutuhan hidup layak di Yogyakarta harusnya sebesar Rp 3,2 juta. “Masih defisit sekitar 1 juta lebih kalau dibandingkan UMP saat ini. Keistimewaan Yogyakarta cuma simbol. Tidak menjamin kesejahteraan pekerja,” tegasnya.
Sementara Komariah—bukan nama sebenarnya, salah seorang pekerja PT Amos Indah Indonesia yang berada di DKI Jakarta hanya bisa mengelus dada ketika mendapati kabar kenaikan UMP tak lebih dari Rp 37.749 atau menjadi sebesar Rp 4.453.935. “Awal mendengar kenaikan upah menangis. Cuma bagaimana ya, saya cuma menangisi mengapa gaji cuma segini naiknya,” ujar Komariah kepada Jaring.id, Selasa 23 November 2021.
Sebagai buruh garmen, Komariah mendapat upah sebesar Rp 4,4 juta tiap bulan. Uang itu ia gunakan untuk membayar kontrakkan, listrik dan air yang kalau dijumlahkan sebesar Rp 2 juta. Sementara sisanya disisihkan untuk makan dan membiayai keperluan sekolah kedua anaknya yang sudah duduk di bangku SMA dan SMP. “Belum lagi untuk biaya susu anak bayi yang masih usia dua tahun dan membayar yang momong anak saya. Boro-boro bisa menabung mau makan saja harus berhutang,” keluhnya dengan suara terbata-bata.
Oleh sebab itu, sejak beberapa bulan ini Komariah terpaksa harus menggunakan waktu istirahatnya untuk berjualan di sekitar pabrik. Selepas kerja Pukul 14.00 WIB, ia berjualan camilan hingga Pukul 19.00 WIB. Padahal sebelumnya dia sudah bekerja sedari Pukul 06.45 untuk menuntaskan 1600 potong pakaian dalam satu hari. “Untuk mencukupi ekonomi kita dan kekurangan kita. Ini berdampak langsung ke saya,” ujarnya.
Wakil Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Jumisih pun mengaku kecewa dengan kenaikan upah 2022. “Buruh sangat bergantung pada upah untuk meningkatkan taraf hidup dan keluarganya. Karena kenaikan upah tidak signifikan, maka ini berdampak pada buruh,” ujarnya, Selasa 23 November 2021. Ia khawatir keputusan pemerintah ini akan memicu kekerasan terhadap pekerja perempuan. “Ada potensi kekerasan dalam rumah tangga. Kalau tidak sanggup mengatur uang, suami bisa marah-marah,” tambahnya.
Komisioner Komisi Nasional Perempuan, Tiasri Wiandani menyatakan tingginya kasus KDRT di masa pandemi Covid-19 bermula dari kondisi ekonomi yang semakin sulit. Komnas mencatat sedikitnya 6.480 kasus KDRT sepanjang 2021. Dari angka tersebut, Kekerasan Terhadap Istri (KTI) menempati peringkat pertama sebanyak 3.221 kasus, disusul kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus dan kasus kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 964 kasus. Adapun bentuk kekerasan berupa fisik sebanyak 2.025 kasus, kekerasan seksual sebanyak 1.983 kasus, psikis 1.792 dan ekonomi 680 kasus.
“Tekanan itu membuat potensi KDRT terjadi. Potensi kekerasan di dalam rumah tangga bisa saja terjadi karena kenaikan upah tidak diimbangi dengan kebijakan daya beli pemenuhan kebutuhan,” ujar Tias, Selasa, 23 November 2021.
Beban ekonomi yang tinggi ini, menurutnya, membikin pekerja tidak punya pilihan selain bekerja di luar jam kerja. “Ini akan berdampak pada waktu bekerja akan semakin panjang. Ini ada potensi ada kekerasan. Karena tekanan psikologi ekonomi dan situasi pekerjaan panjang,” ucapnya.
Rendahnya kenaikan upah yang diterima Karolus dan Komariah merupakan imbas dari Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Tindak lanjut dari regulasi itu, Kementerian Ketenagakerjaan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor B-M/383/HI.01.00/XI/2021. Salah satu isinya mewajibkan seluruh gubernur untuk menetapkan UMP Provinsi paling lambat pada 21 November 2021, sekaligus menetapkan UMP Kabupaten/Kota paling lambat 30 November 2021. Belied tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja.
Menteri Tenaga Kerja, Ida Fauziyah mengklaim besaran upah yang sudah diputuskan pemerintah mengikuti metode Kaitz Indeks—metode internasional yang digunakan untuk mengukur tinggi-rendahnya suatu upah minimum di suatu wilayah. “Dengan membandingkan besaran upah minimum yang berlaku dengan median upahnya (kaitz indeks),” kata Ida dalam siaran pers yang di Jakarta, Rabu 17 November 2021 lalu.
Saat ini, menurut Ida, besaran upah minimum di seluruh Indonesia sudah melebihi median upah. Bahkan ia mengklaim Indonesia menjadi satu-satunya negara dengan Kaitz Index lebih dari 1. Sedangkan idealnya berada pada kisaran 0,4 sampai dengan 0,6. “Kondisi upah minimum yang terlalu tinggi tersebut menyebabkan sebagian besar pengusaha tidak mampu menjangkaunya dan akan berdampak negatif terhadap implementasinya di lapangan,” ucapnya.
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan sebelumnya menetapkan kenaikan UMP DKI Jakarta sebesar 0,85 persen atau sebesar Rp 37.749 pada Minggu 21 November 2021. Dalam penetapan itu, Anies Baswedan menyampaikan agar perusahaan menindaklanjutinya dengan mewajibkan perusahaan untuk menyusun skala dan struktur upah perusahaan dengan memerhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas sebagai pedoman pemberian upah bagi pekerja dengan masa kerja satu tahun atau lebih. “Pemprov DKI Jakarta akan mengawasi dan memberikan sanksi administratif bagi pengusaha yang tidak melakukan kewajiban tersebut,” kata Anies dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 21 November 2021.
Anies berjanji akan membikin kebijakan pendukung kesejahteraan buruh melalui program bantuan hidup murah di Jakarta. Ia juga mengklaim akan membantu menurunkan biaya hidup. “Untuk menaikkan UMP ada ketentuannya yang harus ditaati, tapi untuk yang menurunkan biaya hidup kami bisa bantu di situ,” kata Anies usai menemui massa aksi demonstrasi kenaikan UMP 2022 di depan Balai Kota DKI Jakarta, Kamis 18 November 2021.
Menurut Anies, para pekerja dapat beroleh bantuan lewat Kartu Jakarta Pintar (KJP) untuk anak-anak. Selain itu, Anies juga menyinggung program biaya pangan murah. “Diharapkan bisa mengurangi biaya (hidup) walaupun pendapatan (tidak naik signifikan) diatur lewat PP (peraturan pemerintah) yang ada,” kata Anies.
Sementara itu, Gubernur DIY, Sri Sultan HB X mengaku tidak bisa berbuat banyak untuk menaikan UMP di DIY. Sebab hal itu sudah tertuang dalam PP 36 Tahun 2021 dan SE Menaker Nomor B-M/383/HI.01.00/XI/2021. Regulasi itu diklaim telah menghitung pertumbuhan ekonomi, rata-rata konsumsi per kapita, banyaknya anggota rumah tangga dan banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja. “Pengusaha dilarang membayar upah di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota serta tidak melakukan penangguhan pembayaran Upah Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2022,” ungkap Sultan.
Meski begitu, dalam keputusan kenaikan upah Raja Ngayogyakarta Hadiningrat ini tidak memasukkan klausul terkait sanksi bagi perusahaan yang melanggar. “Kami tidak perlu masukkan (sanksi) apa saja yang ada, yang penting dengan begitu, saya ingin mengingatkan ke pengusaha untuk mau melihat peraturan yang ada,” ujarnya.
Ketua Serikat Pekerja KASBI, Nining Elitos menyebut bahwa kebutuhan upah di Indonesia belum memadai untuk hidup layak. Kebutuhan hidup layak pekerja idealnya berada di atas Rp 5-7 juta per bulan. “Saya sangat miris ketika Kemenaker bilang upah buruh sudah tinggi, padahal kebutuhan buruh selalu berhutang untuk hidup. Lalu biaya transportasi lebih tinggi,” ujar Nining Elitos, Selasa, 23 November 2021.
Karenanya ia mendesak Presiden Joko Widodo untuk membuat standar pengupahan nasional yang dapat menjadi acuan upah layak bagi pekerja. Selain itu, presiden juga perlu mencabut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja, PP Nomor 36 Tahun 2021 dan SE Menaker Nomor B-M/383/HI.01.00/XI/2021 sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebelumnya, MK memutuskan proses legislasi pembentukan Omnibus Law terkait Cipta Kerja inkonstitusional atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan oleh Ketua MK, Anwar Usman dalam sidang uji formil secara daring, Kamis 25 November 2021 tersebut disetujui 5 dari 9 hakim . “Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat,” jelas Anwar.
Namun dalam keputusannya, MK masih memberikan tenggat waktu hingga 2 tahun kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan rakyat (DPR) untuk memperbaiki UU Cipta Kerja. Pemerintah juga diminta untuk menangguhkan segala peraturan pelaksana, baik dalam bentuk peraturan pemerintah maupun peratuan menteri yang mengacu pada UU Cipta Kerja. “Apabila dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk Undang-Undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, maka Undang-Undang atau pasal-pasal atau materi muatan Undang-Undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali,” ucap Anwar
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur menilai putusan MK terhadap UU Cipta Kerja menggantung dan tidak tegas. “Putusan ini adalah putusan kompromi, meskipun menyatakan bertentangan dengan UUD, tetapi MK memberikan putusan yang menggantung atau tidak berani lurus dan tegas dengan logika hukum dan UU MK,” kata Muhammad Isnur, Kamis, 25 November 2021.
“Seharusnya MK membuat putusan dengan menyatakan batal saja, sehingga tidak membuat bingung dan menoleransi pelanggaran. Ini juga membuat kondisi yang tidak mudah dipenuhi dan malah menimbulkan ketidakpastian hukum,” lanjutnya.
Oleh sebab itu, YLBHI mendesak pemerintah segera menghentikan pelaksanaan UU Cipta Kerja dan seluruh peraturan turunan, serta menghentikan proyek strategis nasional yang mengacu pada UU tersebut, termasuk penetapan upah 2022 yang sangat rendah. ” Demi mencegah timbulnya korban dari masyarakat dan lingkungan hidup,” kata Isnur.
Hingga tenggat tulisan ini Jaring.id belum dapat menghubungi Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani untuk meminta tanggapan ihwal penetapan upah dan keputusan MK. Panggilan telepon maupun pesan singkat yang dilayangkan tidak berbalas. Namun sebelumnya kepada Tempo.co, ia sempat menyampaikan bahwa formulasi penetapan upah minimum provinsi pada 2022 sudah cukup adil karena telah menggunakan data dari Badan Pusat Statistik (BPS). “Kenaikan UMP ini sudah cukup adil karena sudah memasukkan parameter dalam penentuan upah. Misalnya tingkat konsumsi rata-rata masyarakat, lalu sisi tingkat pengangguran terbuka, pertumbuhan ekonomi, juga inflasi,” ujar Hariyadi, Rabu, 17 November 2021.
Hariyadi juga menyampaikan bahwa upah minimum merupakan jaring pengaman sosial bagi pekerja yang belum memiliki pengalaman, atau pegawai yang baru mulai bekerja. Karena itu, menurutnya UMP sejatinya bukan upah rata-rata. “Nanti ada skala upah di perusahaan. Capek, tiap tahun begini melulu. Kalau tidak diatur kita tidak bisa memanfaatkan bonus demografi. Kita harus lebih objektif dan melihat fakta. Ini kan proses panjang yang harus dicermati,” kata Hariyadi.
Sementara itu, pengamat hubungan industrial dari Universitas Parahyangan, Bandung, Indrasari Tjandraningsih menyatakan skema pengupahan di Indonesia bermasalah sejak pemerintah menghapus upah sektoral melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021. Dengan penghapusan itu, maka para kepala daerah tidak lagi berperan dalam penentuan upah tersebut. “UMP sektoral penting untuk memperlihatkan kualitas tenaga kerja di Indonesia juga ingin tahu pemerintah itu fokus undang investasi apa saja. Bahkan bisa menilai apakah perusahaan akan memberikan upah lebih baik, kesejahteraan baik, keterampilan lebih tinggi,” ungkapnya, Selasa, 23 November 2021.
Agar polemik penetapan upah ini tidak berkepanjangan, Indrasari menyarankan agar pemerintah, pengusaha dan serikat pekerja segera membua pintu dialog. “Ketiga pihak berkepentingan didengarkan suara yang didengarkan. Jadi kepentingan pekerja tidak dimasukkan dalam proses penetapan UMP. Ini menunjukan ketidakberpihakan kepada pekerja. Pemerintah telah meninggalkan suara pekerja,” ujarnya.