Yang Perlu Diperhatikan dari Dapil

Penentuan daerah pilih pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang diharapkan mampu menjamin keterwakilan yang tidak lagi mengasingkan masyarakat. Permasalah yang terjadi pada pemilihan sebelumnya, seperti penggabungan Kota Bogor dengan Kabupaten Cianjur menjadi satu dapil melangkahi Kabupaten Bogor, dan penggabungan Kota Banjarmasin dengan Kota Banjar Baru menjadi satu dapil melangkahi Kabupaten Banjar tidak lagi terjadi. Pasalnya, masalah ini melanggar prinsip satu kesatuan yang utuh (contiguous).

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai perlu memperhatikan sejumlah prinsip penting sebelum menentukan daerah pilih. Antara lain, equal population, preserving communities of interest, dan preserving political subdivision. Hal ini perlu dilakukan agar dapat mendukung pemilu yang berintegritas.

Jaring.id berbincang dengan Heroik Pratama, peneliti dari Perludem dan Yuko Kasuya Profesor di Departemen Ilmu Politik Universitas Keio, Jepang tentang bagaimana pembentukan dapil bisa sangat krusial bagi masyarakat dan berdampak pada pemilihan umum.

***

Bagaimana sebenarnya proses penentuan daerah pilih?

Dalam studinya bertajuk “Redistricting and Representation,” Thomas L. Brunell mengungkapkan enam prinsip dalam bentuk batasan-batasan daerah pemilihan. Di antaranya, daerah pemilihan merupakan satu kesatuan yang utuh (contiguous), maka pembentukan daerah pemilihan harus memperhatikan kesatuan wilayah. Lalu ada kesetaraan populasi (equal population) yang berarti harga kursi di setiap dapil setara dengan dapil lainnya. Selanjutnya menjaga kesamaan kepentingan dari komunitas (preserving communities of interest), yaitu pembentukan daerah pemilihan memperhatikan kesamaan-kesamaan kondisi sosial masyarakat dalam satu daerah pemilihan. Serta menjaga keutuhan wilayah politik atau administrasi (preserving political subdivision), protecting incumbent, kekompakan daerah pemilihan (compactness of district)

Prinsip ini seharusnya bisa jadi kiblat dalam pembentukan dapil. Di Indonesia sendiri sebenarnya kerja-kerja KPU sudah diatur oleh Undang-Undang Nomor 18 tahun 2018. Dalam undang-undang sendiri ada tujuh prinsip.

Sejauh ini apakah KPU sudah memenuhi prinsip itu?

Pada pemilu 2014 dan 2019, permasalah dapil lompat masih menjadi problematika yang belum selesai. Jumlah kota/kabupaten yang masih mengalami dapil lompat juga masih terjadi. KPU terbukti melanggar prinsip yang tertera dalam UU. Prinsip integralitas wilayah terbukti dilanggar.

Mengapa dapil lompat bisa jadi berbahaya?

Isu dapil memang terdengar sederhana, tapi kondisi ini justru akan berbuntut panjang. Utamanya dalam penentuan kebijakan. Contohnya pada Kota Bogor dan Cianjur, jika dapil Cianjur ini lompat, maka bagaimana suara masyarakat yang ada di Cianjur terwakilkan oleh yang ada di Bogor? Ini tentu akan sangat berdampak pada setiap pengambilan keputusan dalam kebijakan. Potensi afirmasi kebutuhan penduduk di Cianjur juga bisa jadi tidak dihiraukan.

Bagaimana pembentukan dapil yang ideal?

Tentu transparansi dan keterlibatan publik harus kembali dipikirkan. Tapi hingga hari ini, pembentukan dapil selalu dikaitkan hanya urusan KPU. Jika mengacu pada International Standard on Electoral Boundary Delimitation, transparansi dan representasi tidak boleh diabaikan. Kan ada lima batasan-batasan, yaitu impartiality, equality, representativeness, non-discrimination dan transparency.

 

Yuko Katsuya dalam wawancara terpisah menjelaskan bagaimana proses penentuan dapil menjadi penting diawasi. Dalam beberapa hal, dapil bisa disusupi kepentingan. Jika tidak diawasi prosesnya, maka praktik-praktik gerrymandering bisa terjadi dan mengancam demokrasi.

 

Bagaimana Anda melihat isu gerrymandering di Asia Tenggara?

Gerrymandering mengacu pada menggambar batas-batas pemilihan untuk menguntungkan satu partai atau kelompok politik atas yang lain. Mal-proporsi berarti ketimpangan alokasi kursi lintas wilayah/provinsi/prefektur. Secara teknis, suatu negara dapat memiliki gambar batas gerrymandering tanpa harus memperhatikan tingkat ketidaksesuaian yang tinggi. DPR AS salah satu contoh kasusnya. Dalam kasus lain seperti Malaysia, persekongkolan dan kesalahan pembagian keduanya tinggi.

Dalam Ilmu politik, ukuran komparatif lintas-nasional dari persekongkolan sulit untuk ditemukan. Sementara mal-proporsi dapat dibandingkan antar negara. Dalam paper yang saya tulis dengan rekan saya, Yuta Kamahara, dengan judul “Legislative Malapportionment in Asia” pada tabel 13.3 dan 13.4, perbandingan tingkat malproporsi di berbagai negara Asia, Malaysia memiliki tingkat persekongkolan terburuk dan kesalahan pembagian. Hal ini terutama disebabkan oleh fakta bahwa koalisi berbasis UMNO telah memerintah negara ini sejak kemerdekaan, dengan jeda singkat dari 2018-2020. Tingkat mal-proporsi Indonesia relatif rendah.

Bagaimana praktik gerrymandering terjadi?

Gerrymandering adalah hasil dari pembuatan batas, yang bisa terjadi di beberapa titik sebelum hari pemilihan (jika tidak, badan penyelenggara pemilu (BPP) tidak dapat menyiapkan surat suara dan bahan lainnya). Jenis badan yang menentukan batas-batas tergantung pada negara.

Dalam beberapa kasus, keputusan akhir dibuat oleh kepala eksekutif atau parlemen (seperti dalam Malaysia), dan jenis proses pengambilan keputusan ini cenderung memungkinkan kepentingan partisan untuk merayap masuk.

Apakah ada aturan ideal untuk mengelola perwakilan sebelum membuat daerah pemilihan?

Ada dua standar utama yang ditetapkan oleh Komite Hak Asasi Manusia PBB (UNHCR), yang merupakan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertugas memantau kepatuhan negara-negara anggota terhadap Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Pertama adalah persamaan nilai setiap pemilih. UNHCR menyatakan bahwa “prinsip satu orang, satu suara, harus berlaku, dan dalam kerangka sistem pemilihan setiap Negara Bagian, suara seorang pemilih harus sama dengan suara orang lain”.

Standar kedua berkaitan dengan ketidakberpihakan penetapan batas. UNHCR menjunjung tinggi, “pengundian pemilu batas-batas dan cara pengalokasian suara tidak boleh mendistorsi distribusi pemilih atau mendiskriminasi kelompok manapun dan tidak boleh mengecualikan atau membatasi secara tidak wajar hak warga negara untuk memilih wakilnya secara bebas.”

Membaca Jurnalisme Pacuan Kuda

Setiap kali berlangsung kontestasi politik, baik Pemilihan Presiden (Pilpres) maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), fenomena yang sama selalu terjadi, yakni media mengerahkan liputan pacuan kuda

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.