Buku catatan keuangan perusahaan Basuki Hariman sempat membuat gaduh internal Komisi Pemberantasan Korupsi. Nama berbagai institusi dan pejabat negara disebut di dalamnya. Dua Perwira Menengah Polri yang bertugas di komisi anti rasuah bergerak mengamankan situasi.
Dahi Ajun Komisaris Besar Polisi Roland Rolandy berkerut kala mencermati salinan digital dokumen yang disodorkan padanya. Sempat menggulir layar telepon pintar untuk memeriksa dokumen, buru-buru ia mengembalikannya pada IndonesiaLeaks.
“Ah, ini kan isu rahasia, ngapain lu tanya-tanya lagi?” katanya ketika ditemui di Polres Cirebon Kota, pertengahan Juni 2018.
Dia tak menyanggah kesahihan dokumen itu, tetapi enggan berpanjang kata menanggapinya. Sejurus kemudian Roland meminta agar kamera yang sempat merekam wawancara diamatikan. Seorang bawahannya juga diminta untuk memastikan rekaman terhapus dari kartu memori.
Dokumen yang disodorkan kepada Roland masuk ke platform IndonesiaLeaks pada penghujung 2017. Liputan ini adalah hasil kolaborasi Jaring bersama sejumlah media yang tergabung dalam IndonesiaLeaks.
IndonesiaLeaks adalah platform mandiri bagi informan publik untuk menghadirkan pemberitaan yang berkualitas dan menyuarakan kepentingan publik. Teknologi yang digunakan platform IndonesiaLeaks tak memungkinkan pelacakan identitas pengirim dokumen. Oleh sebab itu, verifikasi kepada empat sumber berbeda dilakukan untuk memastikan kesahihan dokumen yang digunakan dalam liputan ini.
*****
“Yang dimaksud dengan tulisan ‘u/’ adalah untuk, namun maksud H.MK saya tidak mengetahui,” terang Evi Julia Novarida, Admin CV Sumber Laut Perkasa saat diperiksa KPK, sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan bertanggal 7 Maret 2017.
Dalam persidangan terungkap kalau inisial H. MK merujuk pada Patrialis Akbar yang ketika itu menjabat sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi. Uang senilai SG$ 211.300 tersebut menurut rencana bakal diberikan pada Patrialis pada 24 Januari 2017.
Suap kepada Patrialis dilakukan pemilik CV Sumber Laut Perkasa, Basuki Hariman, untuk memuluskan uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Belum sempat terlaksana, keduanya keburu dicokok KPK pada 25 Januari 2017.
Meski gagal masuk kantung Patrialis, rencana suap tercatat dalam buku catatan keuangan bersampul hitam milik PT Panorama Indah Sejati. Selain buku tersebut, KPK juga turut mengamankan catatan keuangan dalam buku bersampul merah saat menggeledah kantor Basuki Hariman.
Catatan pengeluaran dalam kedua buku tersebut ditulisan tangan oleh beberapa karyawan perusahaan. Salah satunya Kumala Dewi Sumartono, Staf Keuangan CV Sumber Laut Perkasa.
Setiap peser uang yang keluar dari Sumber Laut Perkasa harus melalui meja Kumala agar bisa mengalir. Meski demikian, Ia bukan pengambil keputusan. Perintah pencairan uang diberikan oleh Basuki Hariman selaku beneficial owner atau General Manager CV Sumber Laut Perkasa Ng Fenny.
Dari kedua atasannya tersebut Kumala juga mendapatkan penjelasan soal peruntukan pencairan uang. Tanggal, jumlah, dan tujuan pengeluaran dicatat dengan detil.
*****
Buku keuangan perusahaan Basuki Hariman turut diajukan sebagai barang bukti dalam kasus suap Patrialis Akbar. Basuki Hariman, Ng Fenny, dan Patrialis Akbar memang telah divonis bersalah, tetapi beberapa nama institusi dan pejabat negara yang juga tercatat dalam buku keuangan tersebut tak terungkap dalam persidangan.
Salah satu penyebab hilangnya nama-nama tersebut adalah tidak disertakannya Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang disusun penyidik KPK Surya Tarmiani. Ia sempat memeriksa Kumala Dewi sebagai saksi bagi Ng Fenny pada tanggal 9 Maret 2017.
Dalam BAP tersebut Surya meminta Kumala menjelaskan 68 transaksi yang tercatat dalam buku catatan keuangan bersampul merah. Total pengeluaran Rp23,51 miliar dicatat mengalir ke 32 nama berbeda.
Kumala tak tahu detil beberapa nama yang disebut dalam buku tersebut. Lain halnya ketika ia diminta menjelaskan catatan bertuliskan “Tanggal 2016 19/1, Beli USD 71,840 x 13.920 u/ Kapolda”.
“Merupakan pemberian uang kepada Kapolda Tito Karnavian sebesar USD 71,840 yang diantarkan Basuki Hariman. Sopir yang dipakai Basuki Hariman adalah Muklas atau Lasdi,” terang Kumala sebagaimana tertulis dalam BAP.
Nama Tito Karnavian selalu disebut Kumala ketika menjelaskan delapan catatan yang diawali dengan tulisan “u/ Kapolda”, “u/ Kapolda/ TITO, “Bp TITO/ Polda,”, “u/ Bp Tito (Kapolda),”, dan “u/ Bp Tito”. Ia bahkan sempat mengoreksi catatan bertuliskan “Tanggal 2016 7/9, Pemb USD 76,144 x 13,133 u/HD, Kredit 999.999.152”. Menurutnya, telah terjadi kesalahan pencatatan di buku bank.
“Menurut saya yang betul adalah pemberian untuk Kapolda Tito Karnavian. Karena Basuki Hariman memberikan uang kepada Kapolda Tito Karnavian sebesar Rp1.000.000.000,- yang ditukarkan dalam mata uang USD tiap bulannya dari Januari sampai Juli 2016, kemudian pada Agustus 2016 belum ada pemberian untuk Tito Karnavian,” terangnya.
Tito memang sempat menduduki posisi Kapolda Metro Jaya pada periode 2 Juni 2015-16 Maret 2016. Dalam buku catatan keuangan Sumber Laut, tertulis bahwa tiga kali pengeluaran perusahaan pada periode tersebut ditujukan untuknya. Dua kali dengan nominal Rp1 miliar, sedangkan sisanya sejumlah Rp200 juta.
Selain itu, terdapat enam catatan pengeluaran lain yang ditujukan “u/ Kapolda” pada periode 21 Maret 2016 hingga 7 September 2016. Nilainya persis atau hampir Rp 1 miliar. Pada periode tersebut Tito telah dipindahtugaskan sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Berdasarkan sembilan keterangan Kumala, total pengeluaran yang ditujukan untuk Tito Karnavian mencapai Rp8,2 miliar. Nilai tersebut lebih dari sepertiga total transaksi yang ditanyakan penyidik KPK Surya Tarmiani kepada Kumala Dewi Sumartono.
“Saya tidak tahu maksud maupun kepentingan dalam pemberian uang kepada beberapa orang sebagaimana penjelasan saya pada nomor 39 (nomor pertanyaan–red). Karena saya hanya menjalankan perintah Basuki Hariman atau Ng Fenny untuk menyiapkan uang yang dibutuhkan,” terangnya seperti tertulis dalam BAP.
IndonesiaLeaks meminta konfirmasi kepada Kumala Dewi Sumartono mengenai keterangan yang sempat ia berikan kepada penyidik KPK. Namun, yang bersangkutan enggan diwawancarai.
“Beliau (Kumala) nggak mau diwawancara dan nggak mau ditanya-tanya soal itu (aliran uang),” ujar salah satu anggota keluarganya, akhir Juni lalu.
Senada, Basuki Hariman enggan meladeni wawancara. “Udah udah, saya nggak mau diwawancarai, Bapak bisa ngerti nggak?,” ujarnya dengan nada suara meninggi, Juni lalu.
*****
Kapolri Tito Karnavian enggan banyak komentar ketika dikonfirmasi IndonesiaLeaks soal namanya yang tercantum dalam buku catatan keuangan perusahaan Basuki Hariman. Ditemui di Istana Negara akhir Agustus lalu, ia melempar tanggung jawab kepada Humas Polri.
“Sudah dijawab sama Humas (Polri). Sudah cukup nggak?” ujarnya sambil menudingkan telunjuk kepada Indonesialeaks.
Karo Penmas Polri Brigjen Polisi M. Iqbal pun hanya menjawab pertanyaan yang diajukan dijawab secara tertulis. Dalam jawabannya, ia menyebut bahwa tudingan menerima suap yang ditujukan pada Kapolri bukan pertama kali terjadi.
“Orang bisa saja membuat catatan yang belum tentu benar. Dulu sewaktu jadi Kapolda Papua, Kapolri pernah mengalami hal yang sama dan sudah diklarifikasi,” terangnya dalam jawaban tertulis yang disampaikan Juli lalu.
Polri memang menyanggah adanya aliran dana dari perusahaan Basuki Hariman yang masuk ke kantung Tito Karnavian. Namun, munculnya nama Tito dalam penyidikan kasus suap Basuki Hariman, sempat membuat dua anggota Polri yang sedang diperbantukan di KPK berulah.
Aksi dilakukan AKBP Roland Ronaldy dan Kompol Harun dengan memeriksa Kumala Dewi Sumartono. Dalam pemeriksaan tersebut mereka meminta penjelasan mengenai beberapa barang bukti terkait penukaran mata uang Rupiah ke Dolar Amerika dan Dolar Singapura. Keterangan Kumala kemudian disusun dalam BAP bertanggal 5 April 2017.
Keduanya tak menyinggung keterangan Kumala soal nama-nama pejabat dan institusi negara saat diperiksa di bulan sebelumnya. Alih-alih, mereka justru menanyakan kepada Kumala Dewi apakah keterangan yang Ia berikan pada 20 Februari 2017 masih sama.
Kejanggalan lain tampak dari BAP yang disusun Roland dan Harun. Pertanyaan dalam berkas yang mereka susun dimulai dengan nomer 35, nomer yang sama dengan BAP yang disusun Surya Tarmiani. Dengan kata lain, keduanya meniadakan pemeriksaan yang dilakukan Surya Tarmiani terhadap Kumala Dewi Sumartono dan telah disusun dalam BAP tertanggal 9 Maret 2017.
Pemeriksaan yang dilakukan Roland dan Harun terhadap Kumala hanya berselang sehari setelah komputer jinjing milik penyidik KPK Surya Tarmiani dirampas oleh orang tak dikenal. Kejadian tersebut segera dilaporkan Surya ke Polsek Setabudi pada hari yang sama.
Karo Penmas Mabes Polri Muhammad Iqbal mengatakan perampasan komputer jinjing milik Surya ditangani oleh Polda Metro Jaya. Mereka telah membentuk tim penyidikan kasus, memeriksa CCTV, serta memeriksa pelapor dan saksi. Namun, 1,5 tahun setelah laporan tersebut dibuat tidak ada perkembangan berarti.
“Belum menemukan tersangkanya,” kata Iqbal dalam jawaban tertulisnya kepada Indonesialeaks.
*****
Siasat dua Roland dan Harun tak selesai dengan membuat BAP baru. Keduanya melancarkan jurus lain untuk menghilangkan nama atasannya dari pusaran suap Basuki Hariman.
Roland dan Harun membubuhkan tipp-ex pada beberapa kolom catatan keuangan pada malam 7 April 2017 di ruang Kolaborasi lantai 9 gedung KPK. Keduanya juga menyobek beberapa lembar catatan yang memuat nama Tito dan beberapa petugas Polri lainnya.
Indonesialeaks berusaha mewawancarai Harun untuk meminta keterangan soal tindakan tersebut. Surat permohonan wawancara dan pesan yang dikirim ke nomor kontaknya tak berbalas. Ia juga tak banyak merespons saat ditemui dekat kediamannya di kawasan Palmerah, Jakarta.
“Sudah, sudah, sudah ya,” ujarnya sambil berlalu menuju mobil, Agustus lalu.
Koleganya, Roland Ronaldy juga sempat ditemui IndonesiaLeaks pada pertengahan Juni 2018. Meski tak irit bicara seperti koleganya, tetapi ia enggan banyak menanggapi pertanyaan seputar aksinya merusak catatan keuangan perusahaan milik Basuki Hariman.
“Sudahlah, ini sudah dijawab sama Mabes Polri. Selesai. Sudah beberapa kali (dijawab). Saya kan di bawah beliau-beliau itu,” kilahnya.
Aksi perusakan barang bukti yang dilakukan dua pewira menengah Polri tersebut baru ditindaklanjuti setelah surat permintaan penyidikan Roland dan Harun masuk ke meja Pengawas Internal (PI) KPK untuk kali kedua. Dalam surat tersebut, hasil pindai catatan keuangan yang telah tersobek beberapa lembar di dalamnya turut disertakan.
Ketua KPK Agus Raharjo menyebut bahwa hasil pemeriksaan yang dilakukan PI memutuskan Roland dan Harun bersalah. Aksi mereka yang terekam oleh CCTV menjadi bukti.
“PI (Pengawas Internal) bergerak kan karena ada bukti (rekaman CCTV) itu. Saya tidak membaca hasil laporannya (pemeriksaan), tetapi oleh PI dinyatakan bersalah,” terangnya.
Ia menyebut tindakan Roland dan Harun sebagai pelanggaran berat sehingga Pimpinan KPK memutuskan untuk memberhentikan keduanya melalui Surat Keputusan Nomor 1252 tahun 2017 tentang Pemberhentian Sebagai Pegawai Negeri Sipil yang Dipekerjakan pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Keduanya memang dikembalikan ke Mabes Polri dengan catatan merah KPK, tetapi BAP yang mereka susun saat memeriksa Kumala Dewi masuk berkas pemeriksaan dan digunakan dalam persidangan Ng Fenny. Sementara itu, BAP yang disusun oleh Surya Tarmiani dan berisi keterangan Kumala Dewi mengenai aliran uang ke Tito Karnavian dan beberapa pejabat serta lembaga pemerintahan tak jelas rimbanya.
https://cdn.knightlab.com/libs/timeline3/latest/embed/index.html?source=1OgLWvdwS5LZ7Hb0oC2e7OlSqboFVWnjjYo5lTOn3nXA&font=OldStandard&lang=id&initial_zoom=2&height=650
*****
Surat pemberhentian Roland dan Harun dilampirkan dalam surat Nomor R/4136/KP07/01-54/10/2017 tentang Penghadapan kembali Pegawai Negeri Sipil yang Dipekerjakan pada KPK atas nama Sdr. Roland Ronaldy dan Sdr. Harun. Melalui surat tersebut Pimpinan KPK keduanya dikembalikan untuk bertugas di Kepolisian Republik Indonesia per 16 Oktober 2017.
Dalam surat yang sama disebutkan bahwa Roland dan Harun sedang menjalani proses pemeriksaan oleh Direktorat Pengawasan Internal karena diduga melanggar peraturan kepegawaian. Pemeriksaan tersebut belum selesai ketika surat diteken Ketua KPK Agus Rahardjo pada 13 Oktober 2017.
Pengembalian Roland ke Mabes Polri juga memangkas masa tugasnya di KPK. Sebagaimana tertuang dalam surat penghadapan kembali, masa bakti Roland sejatinya baru akan tuntas pada 6 Oktober 2019. Pasalnya, yang bersangkutan sempat mendapat tugas belajar di Macquarie University, Australia untuk mengambil jenjang Magister di jurusan Master of Policing, Ilnteligence, and Counter Terrorism.
Belakangan, Polri membantah bahwa kedua anggotanya dipulangkan akibat pelanggaran. Hal ini ditegaskan Muhammad Iqbal yang masih menjabat Karo Penmas Divisi Humas Polri pada akhir Juli lalu.
“Pemeriksaan internal Polri tidak menemukan adanya pelanggaran (perusakan barang bukti) dimaksud. Data dan alat bukti yang ada telah diklarifikasi,” kata Iqbal.
Ia mengaku bahwa hasil pemeriksaan juga telah dikomunikasikan dengan Pengawas Internal KPK. Kembalinya Roland dan Harun ke kepolisian, lanjutnya, dikarenakan masa dinasnya di KPK sudah hampir selesai.
“Seperti anggota lain yang dinas di luar struktur Polri yang kembali ke Polri ditempatkan sesuai porsi dan kemampuannya,” terang Iqbal.
*****
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM Oce Madril menilai perusakan barang bukti yang dilakukan penyidik tidak selesai dengan pemulangan ke lembaga asalnya. Ia menyebut, bahwa tindakan tersebut termasuk tindak pidana korupsi itu sendiri.
“Tentu ini bisa dikategorikan kejahatan pidana korupsi tersendiri. Paling tidak itu terpenuhi karena dia menghalang-halangi proses penyidikan sebuah perkara korupsi,” terangnya Agustus lalu.
Perusakan barang bukti yang dilakukan Roland dan Harun, lanjutnya, bisa dimaknai dalam dua bentuk. Pertama, mereka merusak dokumen rahasia negara.
“Kalau kita bisa maknai dokumen yang disita itu adalah rahasia negara karena digunakan untuk penyidikan, penegakan hukum,” terangnya.
Selain itu, tindakan mereka bisa dikategorikan sebagai pelanggaran Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 21. Aksi menyetip dan merobek buku catatan keuangan, terangnya, merupakan perintangan terhadap proses penyidikan.
“Cara menghalang-halangi salah satunya dengan cara merusak barang bukti atau menghilangkan beberapa infromasi sehingga perkara itu menjadi tidak sempurna. Menurut saya paling tidak dua pasal pemidanaan itu bisa dikenakan kepada pihak-pihak yang tadi melakukan penyembunyian informasi,” bebernya.
Oce menambahkan, meskipun telah terjadi perusakan barang bukti, kasus suap Basuki Hariman masih mungkin dikembangkan. Komisi Pemberantasan Korupsi bisa mencari alat bukti baru untuk diajukan ke persidangan. Kemauan politik, imbuhnya, dibutuhkan untuk melakukan hal tersebut.
Kemungkinan tersebut diamini Ketua KPK Agus Rahardjo. Pengembangan kasus disebutnya menjadi tugas penyidik KPK, meskipun hingga saat ini belum ada langkah untuk mengembangkan kasus suap yang dilakukan Basuki Hariman.
“Kalau penyidik merasa itu bisa dikembangkan, cukup bukti permulaannya, itu pasti nanti diekspose, lalu gelar perkara, itu diputuskan itu naik atau tidak. Hari ini kami belum mendapat permintaan untuk mereka melakukan gelar perkara,” terangnya. (Tim Jaring)