Tak Ada Pelangi di Markas Prajurit

Percakapan di grup WhatsApp sebuah komunitas berbasis gender yang diikuti oleh Gunawan Wibosono—pendiri Yayasan Rakyat Bhineka—pada 22 Oktober lalu tak benar tuntas. Sejumlah orang masih menyimpan tanya. Tidak sedikit pula yang merasa cemas dan gelisah memikirkan rekaman pernyataan Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung, Mayjen TNI (Purn) Burhan Dahlan yang tersiar 10 hari sebelumnya.

“Komunitas kami panik. Kami takut,” ungkap Gunawan saat dihubungi Jaring.id melalui telepon, Kamis, 22 Oktober 2020.

Dalam acara “Pembinaan Teknis dan Administrasi Yudisial” di Yogyakarta, Burhan membahas peningkatan perkara terkait lesbian, gay, biseksual, transgender dan intersex (LGBTI) di lingkungan prajurit. Sedikitnya ada 20 perkara orientasi seksual ini melibatkan prajurit dua hingga letnan kolonel yang tersebar di Makassar, Bali, Medan, dan DKI Jakarta.

“Ini yang terjadi di lingkungan TNI dan masuk perkara di lingkungan militer,” begitu Burhan menilai.

Meski orientasi seksual bukan hal yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tetapi 16 dari puluhan anggota TNI dan Polri yang dijerat perkara orientasi seksual divonis bersalah. Mereka dijatuhi hukuman penjara hingga pemecatan.

Telegram Panglima TNI Nomor 398 Tahun 2009 dan Telegram Kepala Staf TNI Angkatan Darat Nomor 1648 Tahun 2019 tentang Kedisiplinan Prajurit dan Pegawai Negeri di Lingkungan TNI dijadikan rujukan untuk mengadili perkara orientasi seksual. Salinan dokumen Pengadilan Militer III-12, Surabaya nomor 113-K/PM.III-12/AL/IV/2018 yang didapat Jaring.id menunjukkan bahwa ALB, salah satu anggota TNI, dipecat dari kedinasan militer dan dipenjara selama satu tahun. Dalam putusan tersebut, hakim yang dipimpin oleh Letkol Chk NRP Mulyono menilai ALB bersalah karena terlibat dalam komunitas LGBT. Selain itu, ia juga dituding sering meninggalkan kesatuan tanpa izin pimpinan sejak 10 Oktober 2016 – 27 Desember 2017.

“Pidana tambahan dipecat dari dinas Militer,” bunyi salinan putusan pengadilan tersebut.

Sementara itu, putusan bebas yang didapat beberapa prajurit, disebut Burhan, membuat Markas Besar TNI gerah. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayjen Ahcmad Riad enggan mengomentari hal tersebut.

“Saya sedang rapat. Mohon maaf ya, nanti ya,” ujarnya saat dihubungi Jaring.id, Selasa, 27 Oktober 2020.

***

Juru Bicara Mahkamah Agung (MA), Andi Samsan Nganro mengamini ketidakpuasan terhadap vonis bebas yang didapat beberapa prajurit dalam Pengadilan Militer.

“Bahwa putusan pembebasan atas pelanggaran hukum tersebut dipandang mengecewakan pimpinan TNI dan berpengaruh terhadap kehidupan disiplin prajurit,” ujar Andi dalam keterangan tertulis yang diterima oleh Jaring.id, Rabu 21 Oktober 2020.

Kepala Bidang Penerangan Umum Puspen TNI, Kolonel Sus Aidil menjelaskan institusinya tetap menerapkan sanksi tegas terhadap prajurit TNI yang terbukti melanggar hukum keprajuritan.

“TNI menerapkan sanksi tegas termasuk di antaranya kasus LGBT,” ujar Kolonel Sus Aidil melalui pesan Whatsapp, Selasa, 27 Oktober 2020.

TNI menilai, jelas Aidil, LGBT merupakan salah satu perbuatan yang tidak patut dilakukan prajurit lantaran bertentangan dengan disiplin militer. Ia merujuk Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Pasal 62 mengatur bahwa prajurit dapat diberhentikan dengan tidak hormat dari dinas keprajuritan.

“Pidana tambahan pemecatan melalui proses persidangan di pengadilan militer,” kata Sus Aidil.

Keputusan yang kurang lebih sama juga diterapkan pimpinan Kepolisian Indonesia. Pada akhir 2018, Brigadir Polisi berinisial TT dipecat dari kesatuan Polda Daerah Jawa Tengah karena melanggar kode etik Polri. TT bahkan disergap satuan Polres Kudus saat hendak merayakan valentine bersama pasangannya pada 14 November 2017.

Selama di Polres, menurut pengacara LBH Masyarakat Genia Teresia, TT menjalani berbagai pemeriksaan dengan bermacam tuduhan. Salah satunya narkotika. Ia menjalani tes urine, tetapi hasilnya negatif. Setelah itu, ia menjalani pemeriksaan di Komisi Kode Etik.

Chat-nya dibaca atasannya. Dia berasumsi dipecat karena orientasi seksual,” ujar pendamping Brigadir TT, Genia Teresia saat dihubungi Jaring.id melalui telepon, Kamis, 22 Oktober 2020.

TT dianggap melanggar Pasal 7 Ayat 1 huruf b dan Pasal 11 huruf c Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri. Belied tersebut menjelaskan setiap anggota Polri harus menjaga dan meningkatkan citra, soliditas, kredibilitas, reputasi, dan kehormatan Polri. Selanjutnya menaati dan menghormati norma kesusilaan, norma agama, nilai-nilai kearifan lokal, dan norma hukum. Kendati tidak lugas menyebut orientasi seksual sebagai pelanggaran, komisi merekomendasikan pemecatan secara tidak hormat kepada TT.

Tidak terima dengan pemecetan tersebut, Brigadir TT mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Semarang, tetapi kandas. Begitu pula dengan upaya banding. Kata Genia, saat ini prosesnya sudah memasuki tahap kasasi di Mahkamah Agung. Hanya saja sidang belum juga diproses.

“Ada kecenderungan ditutupi. Ada upaya membungkam selama mendampingi terdakwa,” kata Genia.

***

 Berbeda dengan TT, Brigadir Jenderal Polisi EP dikenai sanksi demosi meski dinyatakan bersalah pada sidang Komisi Etik Profesi Kepolisian (Polri) pada 31 Januari 2020. Ia diturunkan dari jabatan, sehingga tidak akan mencapai pangkat lebih tinggi hingga pensiun. Seperti TT, EP dianggap melanggar Pasal 11 Kode Etik Polri. Komisi juga mengharuskan EP meminta maaf kepada rekan dan atasannya, serta menjalani pembinaan mental, kejiwaan dan kegamaan.

“Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Awi Setiyono di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Rabu 21 Oktober 2020.

Gunawan Wibisono sulit percaya dengan penggunaan diksi peyoratif seperti “tercela” dan sejumlah aturan pimpinan TNI/Polri yang digunakan untuk mengadili orientasi seksual. Ia khawatir putusan tersebut menjadi preseden yang merembet ke institusi lain, baik kementerian/lembaga maupun swasta.

“Ini preseden buruk untuk demokrasi di Indonesia,” kata Gunawan.

Seharusnya, kata dia, lembaga negara sekelas TNI menjamin hak, alih-alih turut melanggengkan diskriminasi terhadap orientasi seksual seseorang.

“Kalau mereka tidak bisa melindungi kami, kami ketakutan,” tambahnya.

Pasal 2 huruf d Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004 sebetulnya telah mengatur prinsip professional TNI. Tentara diwajibkan mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, dan hak asasi manusia.

Hal senada diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2019 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 4 butir h menyatakan bahwa Korps Bhayangkara perlu memberikan perlindungan HAM, tidak membedakan ras, etnik, ideologi, budaya/agama/keyakinan, falsafah, status sosial, dan jenis kelamin/orientasi seksual, melainkan komitmen untuk saling menghormati guna menciptakan dunia yang beradab.

“Poin ini telah secara gamblang menyebutkan prinsip hak asasi manusia, sebuah prinsip yang akan terlanggar apabila TNI menjatuhkan sanksi semata-mata karena orientasi seksual atau identitas gender seseorang,” ujar Genia Teresia dari LBH Masyarakat kepada Jaring.id.

Oleh sebab itu, sejumlah organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Arus Pelangi, Ardhanary Institute, ELSAM, LBH Masyarakat,  dan SGRC Indonesia menyatakan TNI/Polri telah melanggar hak kelompok LGBT untuk hidup bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Genia menyatakan bahwa kedua lembaga telah mengingkari asas non-diskriminasi dan gagal menjalankan kewajibannya untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia sebagaimana Pasal 71 UU No.39/1999.

“TNI dan Polri harus menghentikan penjatuhan sanksi kepada personilnya yang merupakan bagian dari komunitas LGBT dan berhenti untuk melakukan monitoring dan pengawasan terhadap privasi anggotanya, termasuk status kesehatan, orientasi seksual, identitas gender,” tegasnya.

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.