PALEMBANG – Perubahan ekologis di kawasan TN Sembilang terjadi cukup cepat. Dalam setahun, akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla), telah terjadi perubahan (degradasi) hingga 11 % kawasan tersebut.
Kondisi ini, menurut Yus Rusila (Programme Manager Wetlands Internasional Indonesia), juga mengancam kehadiran burung-burung di kawasan tersebut. Beberapa jenis burung baik lokal atau migran tidak ditemukan lagi setelah kebakaran hutan.
Dia menjelaskan, kawasan TN Sembilang merupakan situs ramsar atau lahan basah yang peran pentingnya diakui dunia. Alasan utamanya adalah keberadaan pesisir daerah dataran rendah dan rawa yang masih banyak menyimpan organisme makanan bagi burung migran.
“Adanya kebakaran di TN Sembilang jelas mempengaruhi ekologi, dan keberadaan satwa, di antaranya burung. Akan tetapi, seberapa jauh pengaruhnya memang harus ada penelitian bertahap,” ujarnya saat dihubungi Koran Sindo Palembang.
Pihak Wetlands juga sudah melakukan peninjauan dan penelitian awal (sensus) pada Januari 2016. Proses peninjauan kondisi burung setelah karhutla di Sumsel dilakukan sepanjang semenanjung Banyuasin, termasuk di antaranya pesisir TN Sembilang. Proses pengamatan dilakukan khusus untuk kehadiran burung air, baik migran maupun residen (menetap).
“Lokasi kebakaran hutan memang cukup jauh dari lokasi hadirnya burung migran. Akan tetapi, kerusakan ekologis ini mempengaruhi kehadiran burung air migran, dan terutama yang menetap,” ujarnya, mengingat, saat terbakar, tutupan ekologis kawasan berubah. Burung dengan proses hidup dan menetap di ranting kehilangan tegakan pohon tempat hidup dan berkembang biak.
Yus mengatakan kawasan TN Sembilang juga menjadi bagian dari East Asian Australasian Flyway Partnership (EAAFP). Kesepakatan ini merupakan bentuk inisiatif dari negara-negara di jalur terbang (flyway) Asia hingga Pasifik untuk bersama-sama melindungi burung migran. Inisiatif yang diresmikan di Bogor, Jawa Barat ini juga mengikat negara-negara di Asia Timur, Asia Tenggara dan Pasifik.
“Penting mempertahankan fungsi ekologis kawasan hutan ini, bagi kelestarian tempat makan dan hidup burung-burung terutama burung migran,” katanya.
Hasil peninjauan yang dilakukan Januari lalu memberikan ilustrasi adanya beberapa jenis burung terutama penetap yang hilang. Namun, ada juga beberapa burung migran yang tidak tertangkap keberadaannya saat melakukan peninjauan. Yus kembali menegaskan bahwa lokasi kebakaran hutan berada cukup jauh dari pesisir kawasan pantai timur yang menjadi persinggahan burung migran.
“Sehingga kebakaran lebih berpengaruh langsung pada burung yang menetap. Akan tetapi, jika di kawasan TN Sembilang tidak segera dilakukan perbaikan, dampaknya akan berpengaruh pada keadaan ekologis keseluruhan, termasuk pada lokasi burung migran,”ujarnya.
Kunjungan burung migran di kawasan TN Sembilang yang mencapai satu juta ekor sepanjang kehadirannya di September-April, tentu mencerminkan masih banyaknya cadangan makanan di kawasan tersebut. Hasil peninjauannya, beberapa titik yang terbakar akan membentuk kawasan berair. Kondisi berair ini bukan juga merupakan kawasan hidup burung dengan jenis paruh tertentu sehingga disimpulkan terdapat beberapa spesies burung yang berpindah.
“Burung yang datang ini memiliki karakteristik bentuk paruh beragam. Rata-rata mereka makan cacing, biota laut, keong kecil, molusca, dan organisme lainnya, seperti kepiting. Adanya perubahan ekologis, secara langsung juga mempengaruhi kehadiran burung. Memang, belum ditemukan adanya rangka burung yang tewas saat terbakar, tapi perubahan ekologis, mengubah lokasi mereka bertelur dan berkembang biak,” kata Yus.
Beberapa spesies burung lokal yang terkenal di TN Sembilang yakni biowok (wilwo), bangau totok, biowok putih, cangkak abu, dan elang laut. Burung-burung ini yang lebih menjadikan TN Sembilang sebagai rumah tinggal (rumah hidup) sedangkan spesies burung migran, diantaranya burung gajahan, dan trinil pantai.
“Ada spesies burung memang tidak terlihat saat sensus. Namun, perlu kajian lagi mengapa spesies tersebut tidak terlihat. Bisa jadi pengamatan yang dilakukan belum menyeluruh,” ungkapnya.
Secara teoritis, ia mengatakan kebakaran hutan tidak terlalu mengganggu kehadiran burung migran. Akan tetapi, kerusakan ekologis seperti kebakaran akan berpengaruh jangka panjang dan bisa saling berhubungan dengan kawasan pesisir atau bibir pantai timur Banyuasin. Karena itu, perlunya proses pengembalian ekologis kawasan TN Sembilang sesegera mungkin.
“Ini ancaman jangka panjang, terutama bagi habitat para burung. Apalagi, sekarang TN Sembilang dan Berbak sudah digabung, sehingga butuh pengawasan yang lebih efektif. Karena di TN Berbak, juga ada titik yang juga menjadi persinggahan burung air, yakni Pantai Cemara, yang juga harus dikembalikan fungsi dan perannya,” kata Yus.
Sementara itu ancaman terhadap kehadiran migran diakui Kasi TN Sembilang, Afan. Ia mengatakan, saat terjadinya kebakaran hutan di TN Sembilang, timnya pernah menemukan burung migran yang malah terbang rendah di kawasan bandara SMB II Palembang. Hal ini lebih diperkirakan akibat gangguan asap.
“Ada korelasinya, tidak hanya kerusakan ekologis. Namun asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan, mengakibatkan burung migran menjauhi tempat itu,” kata Yus.
Indikasinya, saat terjadinya asap kemampuan navigasi burung menjadi menurun. Bisa jadi, katanya, burung menjauhi kondisi yang penuh dengan kabut asap. Karena itu, kebakaran hutan dan lahan akan berpengaruh pada kedatangan burung migran di TN Sembilang.
“Pengaruhnya langsung, beberapa spesies burung malah terbang ke wilayah dengan kondisi asap rendah. Ini yang kita khawatirkan jika karhutla mengancam burung (spesies yang ada) di TN Sembilang. Burung saja menjauhinya,” ujarnya.
Tulisan ini telah dimuat di Koran Sindo, Senin, 29 Agustus 2016 dan disunting kembali untuk dimuat di Jaring.id