Mesin excavator menderu-deru membelah dan menggali bukit dan gunung untuk mengambil bebatuan. Bebatuan itu kemudian dituang ke mesin crusher (mesin pemecah batu). Begitu keluar dari crusher, batu-batu itu berubah menjadi pasir, batu kerikil dan debu. Truk-truk berbadan besar telah terparkir, siap mengangkut pasir dan batu-batu kerikil ke tongkang-tongkang, untuk selanjutnya dibawa ke Kalimantan Timur.
Sementara itu, laut yang indah telah ditimbun untuk membuat pelabuhan-pelabuhan kecil atau jeti tempat bersandarnya kapal tongkang dan berlabuhnya tugboat. Tercatat lebih dari 10 jeti di wilayah Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. Jeti-jeti telah dibangun sejak hampir 15 tahun.
Hanya sekitar 100 meter dari lokasi tambang, seorang perempuan paruh baya, tengah asyik menyapu halaman Puskesmas tempatnya bekerja. Namanya Hamidah, kepala Puskesmas di Kelurahan Watusampu, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu.
Hamidah mengakui, setiap jam dia harus menyapu lantai puskesmas, karena tebalnya debu yang menempel. Debu-debu itu berasal dari aktivitas tambang Galian C di sekitar perbukitan Kelurahan Watusampu.
“Jika tidak disapu setiap jam, dapat dipastikan harus dibersihkan dengan menggunakan air,” kata Ny. Hamidah. Akibat debu yang beterbangan itu, katanya, akhirnya warga setempat banyak yang terserang penyakit ISPA (infeksi saluran pernapasan akut).
Setiap hari, kata dia, selalu saja ada 4 hingga 5 pasien yang mengeluhkan gangguan pernafasan, karena sering menghirup debu akibat tambang itu.
“Bahkan kalau dirata-ratakan, lebih dari 50 persen pasien kami mengeluhkan ISPA,” ujarnya.
Hamidah khawatir, jika kondisi seperti itu tidak segera diantisipasi dan terus berlarut-larut, penderita ISPA bisa terserang tuberculosis (TBC) yang dampaknya lebih berbahaya.
Relawan untuk Orang dan Alam (ROA) Palu, bahkan pernah menggelar kampanye Satu Masker untuk Watusampu. Mereka membagi-bagikan masker, untuk melindungi warga dan anak-anak dari bahaya debu tambang.
Ketika izin usaha pertambangan (IUP) masih menjadi kewenangan bupati dan walikota, banyak sekali IUP yang dikeluarkan. Beberapa perusahaan yang sempat tercatat antara lain PT Aces Selaras, PT Dwi Selebes Samudra, PT Madya Prakarsa, PT Farhan Batu Palu, PT Batu Split, PT Hasal Logam Utama dan PT Bosowa.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sulawesi Tengah, Bambang Sunaryo mengatakan, saat ini tercatat ada ada 34 IUP di Kota Palu dan 55 IUP di Donggala. Dari seluruh IUP itu, ternyata lebih banyak yang belum Clear and Clean (CnC). Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah, tercatat hanya 24 IUP Galian C di Kabupaten Donggala.
“Jika kemudian ada 55 IUP di Donggala, patut dicurigai Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah telah mengeluarkan izin baru lagi,” kata Direktur Jatam Sulteng, Syahruddin Douw.
Jumlah itu, kata Syahruddin Douw, berdasarkan pajak penerimaan dari tambang galian C yang sebesar Rp 14,063 miliar per tahunnya sejak 2014-2015.
Tapi Bambang Sunaryo membantah itu. Dia mengatakan, sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, yang ditindaklanjuti lagi dengan Surat Edaran 04.E/30/DJB/2015 dari Kementerian ESDM tertanggal 30 April 2015, bahwa bupati/wali kota tidak lagi mempunyai kewenangan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan batubara, pihaknya belum pernah mengeluarkan satupun IUP baru.
“Yang kami lakukan sekarang adalah mengevaluasi seluruh IUP yang telah ada sebelumnya,” kata Bambang Sunaryo.
Dari evaluasi sementara, kata dia, ditemukan banyak pelanggaran yang dilakukan pengusaha pemilik IUP dan pemerintah kabupaten/kota. Antara lain, adanya perusahaan yang baru memiliki izin eksplorasi, tetapi telah melakukan eksploitasi. Alasan para pengusaha, karena bebatuan itu sudah kelihatan di permukaan sehingga tidak perlu eksplorasi lagi.
Pihak ESDM juga menyatakan akan tegas menertibkan IUP-IUP yang dianggap bermasalah. Karena pada awal Februari 2014 lalu, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) melakukan supervisi mengenai penertiban tambang. Dalam supervisi itu diamanahkan agar tidak mentolerir IUP yang bermasalah.
“Jika ada perusahaan enggan memenuhi persyaratan, izin akan dicabut,” ujarnya.
Tetapi, kata dia, semuanya membutuhkan kajian yang mendalam. Misalnya dari aspek administrasi dengan melihat asal-muasal terbitnya IUP, dan aspek teknis berupa pelaporan. Juga ekplorasi apakah dilakukan atau tidak, aspek lingkungan apakah memiliki kelengkapan kajian lingkungan atau tidak dan aspek finansial, apakah tertib membayar pajak daerah atau tidak.
“Jika satu saja dari aspek itu tidak dipenuhi maka demi penegakan hukum, IUP itu harus dicabut,” kata Bambang Sunaryo.
Persoalan kemudian, menurutnya, hingga kini kajian itu masih terus dilakukan sampai September 2016 nanti, sehingga belum diketahui berapa banyak perusahaan yang bermasalah dalam soal IUP itu. Tetapi dalam gambaran kasarnya adalah, ada beberapa perusahaan yang bermasalah dalam soal administrasi, antara lain tidak memenuhi urutan persyaratan.
Misalnya, urai Bambang, untuk mendapatkan IUP, perusahaan harus mengajukan permohonan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Setelah mendapatkan izin tersebut, kemudian meningkat ke permohonan IUP eksplorasi. Setelah laporan IUP eksplorasi itu bisa diterima, barulah mendapatkan IUP eksploitasi.
Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Tengah, Abdul Rahim mengakui banyak masalah dalam IUP tambang Galian C di Palu dan Donggala. Persoalan itulah yang menyebabkan Gubernur Longki Djanggola membentuk tim untuk mengevaluasi IUP itu.
Dari hasil kajian sementara, kata dia, banyak indikator pelanggaran yang ditemukan, antara lain adanya kerusakan lingkungan di sekitar tambang galian C di Palu dan Donggala, dan banyak pula diterima keluhan warga akan penyakit infeksi saluran pernapasan atau ISPA.
“Warga mengeluh adanya ISPA, itu membuktikan adanya masalah di pertambangan itu,” katanya.
Menurut pihak JATAM Sulawesi Tengah, di Kelurahan Watusampu, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu, dalam beberapa waktu terakhir ini, tercatat sekitar 20 warga setempat muntah darah, dan ratusan orang diserang ISPA akibat debu yang disebabkan oleh aktivitas tambang.
Dalam kurun waktu satu tahun saja, ada sekitar 23 kecelakaan lalu lintas di lokasi tambang galian C, serta terjadi erosi dan tanah longsor sehingga jalanan licin. Situasi ini dipicu kerusakan bentangan alam yang tidak terkendali karena eksploitasi tambang galian C.
“Tidak ada kata lain, semua IUP yang bermasalah harus ditertibkan,” kata Syahruddin.
Gubernur Longki Djanggola menegaskan, pelimpahan kewenangan izin pertambangan itu, justru membuat pemerintah provinsi terus kerja keras, karena harus mengkaji kembali semua IUP yang pernah ada.
“Kami menjadi ‘tukang cuci piring’ yang harus membersihkan semuanya,” kata Gubernur Longki.
Tukang cuci piring yang dimaksud Gubernur Longky, karena pihaknya harus membersihkan banyak IUP yang bermasalah, baik dari sisi proses lahirnya izin, syarat administrasi, dan kajian lingkungannya.
Menurut Gubernur, IUP Galian C (pasir dan batu) di Kota Palu dan Donggala, banyak persyaratan diabaikan oleh para pengusaha pemilik izin. Salah satu di antaranya adalah soal Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Gubernur mengatakan, banyak IUP yang abal-abal. Para bupati dan walikota di Sulawesi Tengah, mengeluarkan izin dengan mencantumkan tanggal mundur. Itu dilakukan, agar ketika kewenangan resmi dilimpahkan, IUP itu masih berlaku sehingga tidak dapat dapat dibatalkan.
“Di situlah ada kong kalikong antara pengusaha dan bupati atau walikota demi menambah pundi-pundi keuangan mereka,” kata Gubernur.
Gubernur menyatakan, IUP yang bermasalah, baru dapat dicabut setelah IUP itu jatuh tempo, dan para pengusaha itu mengurus perpanjangannya melalui Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah.
“Nah, di saat itulah kita akan tegas. Tidak memenuhi persyaratan, pasti dicabut. Saya tegas kalau soal itu,” katanya.
Tulisan ini telah dimuat di Jakarta Post tanggal 6 Desember 2016, dan diedit kembali untuk dimuat di Jaring.id