Langkah Rita Widyasari menuju kursi nomor satu Kalimantan Timur tak semulus dua pemilihan kepala daerah yang mengantarnya menjadi Bupati Kutai Kartanegara dua periode (2010-2015 dan 2016-2021). Digadang-gadang sebagai bakal calon gubernur terkuat di Pilkada Kaltim 2018, Rita harus terhempas dari bursa pencalonan setelah ditetapkan tersangka oleh KPK.
Rita diduga menerima gratifikasi dari perizinan dan proyek-proyek pemerintahan Kukar sejak periode pertama hingga kedua pemerintahannya. Jumlah dakwaan jaksa tidak sedikit, nilainya mencapai Rp 469 miliar. Rita menolak dakwaan itu lewat kuasa hukumnya, namun tidak mengajukan nota keberatan (eksepsi) dalam sidang pembacaan dakwan seperti pemberitaan Tempo.co pada Rabu, 21 Februari 2018.
Berdasarkan data yang dikumpulkan Tim Data JARING, nilai gratifikasi Rita menjadi korupsi terbesar yang dilakukan kepala daerah dari 117 pejabat daerah yang ditersangkakan KPK dalam rentang 2011- Februari 2018. Dalam 8 Tahun, 117 Pejabat Daerah Tersangka Korupsi
Peringkat kedua ditempati mantan Bupati Bangkalan H. Fuad Amin (2015) yang total korupsinya mencapai Rp 441 miliar dari gratifikasi perizinan, setoran Satuan Kerja Perangkat Dinas, jual beli SK CPNS dan penggunaan APBD. Peringkat ketiga adalah mantan Walikota Kota Tomohon Jefferson SM Rumajar (2012 dan 2016) yang menggunakan kas daerah hingga Rp 65 miliar untuk kepentingan pribadi.
Apabila seluruh nilai korupsi yang dilakukan 117 pejabat daerah dijumlahkan, baik gratifikasi, suap, pencucian uang, penggunaan APBD hingga jual beli SK CPNS nilainya mencapai Rp 1,4 triliun. Sementara kerugian negara yang sudah dihitung sedikitnya Rp 7,5 triliun.
Sumber Utama Korupsi
Setengah dari nilai dakwaan jaksa terhadap Rita adalah gratifikasi yang bersumber dari 867 proyek di dinas pembangunan umum. Jika melihat 10 kepala daerah yang nilai korupsinya terbesar, empat kepala daerah memanfaatkan proyek pembangunan umum dan perizinan. Tiga kepala daerah korupsi di proyek-proyek dinas, kas daerah (APBD) dan mengutip setoran dari Satuan Kerja Perangkat Dinas. Satu kepala daerah menjualbelikan SK CPNS dan memotong tunjangan pegawai.
Gubernur Sulawesi Utara Nur Alam yang paling banyak menerima gratifikasi dari pengurusan perizinan yang mencapai Rp 42,7 miliar. Menurut peneliti Auriga, Grahat Nagara, pengurusan perizinan rentan menjadi celah suap hingga pemerasan karena tidak adanya standar waktu dan biaya pengurusan. Selain itu, proses perizinan yang tidak tergambar jelas dalam aturan menjadi celah suap dan gratifikasi.
“Berdasarkan penelitian bersama KPK, di bawah tahun 2014 pemohon izin bisa mengeluarkan 20 miliar. Di atas tahun 2014 bisa sampai Rp 40 miliar- Rp 50 miliar untuk satu tanda tangan menteri atau rekomendasi izin kepala derah,” kata Grahat saat ditemui di kantor Auriga, Selasa, 27 Maret 2018.
Korupsi paling banyak juga terjadi di penggunaan anggaran daerah, misalnya program pembangunan dan proyek di dinas-dinas. Grahat mengatakan salah satu modus paling sering dengan mendesain anggaran yang capaiannya tidak bisa diukur.
Gratifikasi dari proyek dinas-dinas paling banyak adalah yang dilakukan Rita, sedikitnya Rp 148 miliar terkumpul dari Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Komunikasi dan Informatika, Dinas Cipta dan Tata Ruang, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Perkebunan dan Kehutanan, dan lain-lain.
Kutipan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) paling banyak dikumpulkan mantan Bupati Bangkalan dua periode H Fuad Amin yang mencapai Rp 341 Miliar. Setelah Fuad divonis bersalah, keluar Perpres 131/2015 yang menyatakan Bangkalan menjadi salah satu daerah tertinggal.
Penyalahgunaan APBD dan kas daerah paling banyak dilakukan mantan Walikota Tomohon, Jefferson SM Rumajar yang nilainya mencapai Rp 64 Miliar. Jefferson harus membayar perbuatannya dengan hukuman 23 tahun penjara. (Debora Blandina Sinambela)