Sekali Jatuh Habis itu Bergerak Sendiri

Deru knalpot menyalak sesaat Hendrika Mayora Victoria memacu motor berkelir hitam melintasi Jalan Soekarno-Hatta, Sikka, Nusa Tenggara Timur. Dengan kecepatan di atas 60 kilometer per jam, ia berharap tak terlambat menemui Bupati Sikka, Fransiskus Roberto Diogo, Minggu pagi, 24 Juli 2022, sekira Pukul 8.30 WIT.

Sesampainya di sana, Mayora diterima di ruang duduk yang tak jauh dari pekarangan rumah berpagar putih.

Kepada Roberto, Mayora blakblakan menyampaikan keluhan kelompok transpuan terhadap pelayanan pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) dan jaminan sosial. Tak lupa ia bicara hak transpuan untuk memberikan suara pada Pemilihan Umum 2024 mendatang. Mayora juga menceritakan pelbagai masalah yang dialami transpuan, antara lain Ochan dan Lola Pitaloka.

Baca juga: Habis Pemilu, Transpuan Dibuang

Dalam diskusi sekitar 30 menit itu, Bupati Sikka menegaskan pemerintah daerah tidak mendiskriminasi transpuan. Dalam urusan akses pelayanan kesehatan, kata dia, transpuan memiliki hak yang sama dengan warga lain di Kabupaten Sikka. “Kami tidak melakukan diskriminasi. Kesehatan dan perlindungan terhadap masyarakat kesehatan lewat BPJS. Hak dasar di Sikka tidak ada perbedaan semua dapat,” ujarnya.

Guna memastikan pelayanan pemda tak terlewat, Roberto meminta Mayora untuk mendata transpuan yang tidak memiliki KTP, juga kartu jaminan sosial. “Mereka boleh membuat KTP. Menyangkut jenis kelamin formatnya hanya laki atau perempuan. Transpuan belum. Ini pekerjaan rumah bangsa. Padahal negara lain sudah,” ujarnya kepada Mayora.

Menurut data sementara komunitas Fajar Sikka—kelompok transpuan yang membantu advokasi transpuan di Kabupaten Sikka, terdapat sekitar 300 transpuan di Maumere. Dari jumlah itu baru sekitar 100 transpuan yang ber-KTP.

***

Ochan adalah satu dari 200 transpuan yang tidak ber-KTP. Tak kurang dari 10 kali ia mencoba membikin KTP di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Sikka. “Sudah jalan, sudah pakai kemeja,” kata dia. Namun karena trauma masa lalu yang kadung terpatri dalam ingatan, langkah Ochan selalu terhenti di depan gedung Dinas Dukcapil setempat. “Saya takut ditertawai. Kok perempuan tapi namanya laki. Saya takut,” ujar Ochan, Kamis, 21 Juli 2022.

Akibatnya, Ochan tak bisa mengakses layanan lain, seperti koperasi, perbankan, atau jasa keuangan lainnya. Gara-gara tak punya KTP juga, ia kehilangan hak pilihnya pada Pemilihan Umum 2019 dan terancam tak bisa mencoblos 2024 nanti.

Ochan tengah di salon tempatnya bekerja, Jumat, 22 Juli 2022. Foto: Somad

Ketakutan Ochan bukan tanpa alasan. Semasa kecil ia sering menjadi bahan olok-olok teman sebayanya hanya karena penampilannya berbeda. “Pergi ke sekolah pakai rok, teman sampai guru di sekolah marah. Saya ganti, tapi pakai lipstik,” kata Ochan.

Keputusan Ochan berpenampilan seperti itu bukan perkara gampang. Mayoritas penduduk di kampungnya belum menerima. Sebagian anggota keluarganya pun melarang. Bahkan sejak ia berumur belasan tahun. “Saya sampai dipukul oleh salah seorang anggota keluarga yang tidak suka saya menjadi transpuan,” ucapnya. Karena itu, ia memilih untuk meninggalkan Liau, Ende dan kini menetap di Maumere. “Saya kabur dari rumah karena tidak bebas.”

Meski begitu, ia tak lantas lepas dari stigma dan kekerasan di tempat baru hingga dewasa. Dua tahun lalu, Ochan pernah dihadang sejumlah orang saat mengendarai sepeda motor. Salah seorang dari mereka bahkan menendangnya hingga ia terbujur di tanah. Saat itu, luka-luka di sekujur tangan dan kaki tak terhindarkan. “Kalau sakit tidak pernah ke rumah sakit, hanya beli obat ke apotek,” ucapnya.

Dari kejadian itu, Ochan sadar bahwa ia rentan, namun tak punya jaminan perlindungan melawan stigma negatif dari masyarakat. “Kalau sakit nanti, bagaimana? Kalau tidak ada uang, bagaimana? Saya tidak punya BPJS,” ujarnya khawatir.

Kondisi Lola Pitaloka, transpuan asal Desa Loka, Sikka tak berbeda jauh dengan Ochan. Hingga saat ini, ia mengaku tidak bisa mengakses pelayanan jaminan sosial. Saat sakit, ia sampai harus berhutang untuk bisa berobat. “Pinjam uang, kadang ada yang kasih. Kadang enggak ada. Setengah mati mau berobat,” ujar Lola ditemui di rumahnya.

Baca juga: Mereka yang Pergi Karena Dibatasi

Sementara Jeny, transpuan yang kini tinggal di Yogyakarta, bertahun-tahun gagal mengurus KTP lantaran tak memenuhi persyaratan surat rekomendasi pindah domisili dari kampung asalnya di Subang, Jawa Barat. Ia terusir dari keluarga yang menolak Jeny bersalin gender. Hampir dua dekade silam, ia sempat menggelandang di sekitar Stasiun Lempuyangan. Menjajakan suara di simpang lima Candi Prambanan, jadi pilihannya untuk bertahan hidup. “Saya diasingkan, tidak diurus, dan tidak dilindungi,” tuturnya ketika ditemui di kantor Keluarga Besar Waria Yogyakarta (Iwayo) pada Selasa, 30 Agustus 2022.

Selama tak punya e-KTP, Jeny juga tak bisa mendaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. “Susah sekali kalau sakit,” ujarnya. Ketika akhirnya mengantongi nomor kependudukan pada Agustus 2021, ia buru-buru mengurus kepesertaan BPJS. “Agustus 2021 KTP jadi, lalu vaksin, menabung ke bank, dan urus akses (jaminan) sosial yang lain,” ujarnya.

Mama Lola Pitaloka tersenyum lebar menceritakan pengalaman hidupnya selama menjadi transpuan di Desa Bola, Sikka, NTT, Sabtu, 23 Juli 2022. Foto: Somad

Saat ini, Jeny tak lagi menggantungkan hidup dari hasil mengamen. Ia punya usaha kerajinan tas dan dompet. Untuk modal awal, ia merogoh tabungan dan mendapat pinjaman dari koperasi simpan pinjam yang digagas oleh Waria Crisis Center.

***

Tidak adanya akses kesehatan dan jaminan sosial membikin transpuan makin terjepit di masa pandemic Covid-19. Survei yang dilakukan Crisis Response Mechanism (CRM)—sebuah kegiatan kolektif yang diinisiasi sejumlah pegiat kesetaraan gender pada masa pandemi, menunjukkan sebanyak 57,5 persen lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseks (LGBTI) tidak beroleh bantuan Covid-19 dari pemerintah. Penyebabnya, selain keterbatasan akses informasi, ternyata masih ada praktik diskriminasi gender dan identitas seksual, serta ketiadaan dokumen kependudukan.

Di Yogyakarta pada Juli 2021, Waria Crisis Center mengumumkan setidaknya 11 transpuan meninggal di tempat kos karena keterbatasan mengakses bantuan obat, pelayanan kesehatan, dan makanan.

Koordinator Suara Kita, Hartoyo menyebut kondisi transpuan mengenaskan. Jangankan bantuan kesehatan, pengurusan jasad dari pemulasaraan hingga pemakaman bergantung pada patungan seadanya dari komunitas transpuan sendiri. ”Yang membuat terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan hingga bantuan sosial komunitas transpuan karena keterbatasan membuat KTP,” kata Hartoyo.

Sejak Juni 2021 hingga saat ini, kata Hartoyo, baru ada 647 transpuan yang dapat KTP. Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan, baru dimiliki oleh 61 transpuan. Sementara BPJS Kesehatan belum diketahui datanya. Itu sebab, menurutnya, Suara Kita bekerja sama dengan para focal point di pelbagai daerah, seperti Jabodetabek, Denpasar, Surabaya, Semarang, Bandung, dan Yogyakarta guna mengadvokasi pelayanan dari pemerintah lewat Gerakan Sahabat Transpuan Lansia untuk Jaminan Sosial.

Gerakan ini, menurut Hartoyo, merupakan kegiatan urun dana untuk membantu transpuan. Sumbangan yang dapat diberikan berupa uang minimal Rp 16.800 sebagai upaya untuk membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan. “Tidak ada ketentuan mengenai jumlah peserta yang dibantu, sehingga setiap donatur bisa menentukan sendiri jumlah bantuan. Semua disesuaikan dengan kemampuan setiap donatur sendiri,” ujar Hartoyo.

Hingga 31 Agustus 2022 telah terkumpul donasi sebanyak Rp 10 juta. Menurutnya, uang tersebut digunakan untuk membantu proses pembayaran BPJS Ketenagakerjaan dan proses pendampingan selama membantu membuatkan KTP untuk transpuan.

Baca juga: Transpuan WNI, maka Punya Hak Memilih

Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakrulloh, mengatakan telah berusaha membantu kelompok transpuan dalam pengurusan KTP. Hal itu ditandai dengan keluarnya Surat Edaran Nomor 470/9363/Dukcapil perihal Pendataan dan Penerbitan Dokumen Adminduk bagi Penduduk Transpuan. Sejak surat itu diterbitkan, menurut Zudan sebanyak 600 KTP untuk transpuan telah dikeluarkan. “Kami tidak akan menolak kawan-kawan transpuan yang datang ke Dukcapil dengan persyaratan lengkap atau kami bisa jemput bola. Pasti kami layani,” kata Zudan.

Masalahnya, kata Zudan, sebagian transpuan menganggap syarat pembuatan e-KTP rumit. Sebagian dari mereka, menurutnya, tidak bisa mengurus KTP karena tidak bisa menyertakan kartu keluarga karena berpindah-pindah domisili. “Kartu keluarga sebagai dasar membuat KTP elektronik,” ujarnya.

Sementara itu, juru bicara BPJS Kesehatan, M. Iqbal Anas Ma’ruf menyebut lembaganya tidak melihat status masyarakat, termasuk transpuan saat mendaftar jaminan kesehatan. Ia menegaskan bahwa BPJS tak memandang gender dalam pembuatan kepesertaan. ”Selama ada identitas kependudukan dari pemerintah, pasti kami proses. Kalau tanpa identitas, tentu tidak bisa. Tetap harus diurus dulu,” ujarnya.

Salah seorang transpuan, Rere sedang melayani tamunya memperbaiki rambut di tempat salon miliknya, Kamis, 21 Juli 2022. Foto: Somad

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pun menyebut identitas kependudukan sebagai basis pemerintah memberikan bantuan kepada warga miskin. Kepala TNP2K, Elan Satriawan mengatakan kelompok transpuan dalam kategori miskin harus memiliki KTP untuk mengakses bantuan pemerintah. Pasalnya, bantuan tersebut diberikan berdasarkan nomor induk kependudukan (NIK). “Untuk memastikan ketunggalan data,” jelas Elan.

 

Dari dan untuk Transpuan

Kerap tersisih dari program pemerintah, komunitas transpuan bergerak sendiri secara mandiri. Upaya kolektif ini muncul lantaran tak sedikit transpuan di pelbagai daerah yang terhimpit pagebluk Covid-19. Di Maumere, lewat Fajar Sikka, Bunda Mayora membagikan bantuan beras, minyak, telur, gula, dan tanaman sayuran kepada sejumlah transpuan yang terdampak secara ekonomi. “Gerakan ini adalah support system untuk transpuan. Kami lahir untuk bersolidaritas. Kami tumbuh dalam lingkaran cinta untuk melakukan hal baik,” ujarnya.

Sementara di Yogyakarta, Arumce Mariska berjualan kain shibori. Shibori merupakan teknik pewarnaan tradisional Jepang yang mirip dengan tie dye atau jumput celup. Bedanya, shibori menggunakan simpul dan peras untuk menghasilkan pola yang diinginkan.

Bisnis ini dijalani Arumce sejak empat tahun lalu, bersama adiknya di Kelurahan Ngampilan, Kota Yogyakarta. Saat itu, barang dagangnya terbilang untung. Namun karena wabah Covid-19, bengkel produksinya sempat kalang kabut. Dagangannya sepi pesanan karena pembatasan aktivitas masyarakat. Ia hanya mengandalkan pembelian lewat pasar daring. Jaringan dan perkawanan menjadi ladang yang perlu digarap Arumce saat pandemi.

Kini, setelah pembatasan aktivitas dilonggarkan, Arumce bisa lebih leluasa menjajakkan dagangannya dengan menambah daftar koleksi berupa kain serat alam yang diwarnai dengan teknik ecoprint. Usaha tersebut kian bangkit setelah Arumce bergabung dengan Credit Union Waria Kingkit, koperasi kredit bentukan Keluarga Besar Waria Yogyakarta. “Sangat membantu, sebagai tambahan modal,” kata dia.

Pendapatan rata-rata Arumce per bulan bisa mencapai Rp 2 juta. Saban bulan, transpuan usia 46 ini menyetor tabungan Rp 50 ribu dan simpanan saham sebesar Rp 150 ribu ke Credit Union Waria Kingkit. Selain itu, ia juga menyisihkan Rp 10 ribu per bulan untuk membiayai kebutuhan pemberdayaan komunitas. Dari situ, para anggota bisa mendapat pelatihan kerajinan membatik, menjahit, memasak, dan merias.

Koordinator Waria Crisis Center, Rully Mallay menjelaskan, credit union merupakan jalan keluar bagi transpuan untuk lepas dari jerat rentenir. Sebab kebanyakan dari mereka tidak bisa mengakses permodalan bank karena tidak memiliki KTP.

Mami Rully Malay di Sekretariat Waria Crisis Center, Bantul, DI Yogyakarta. Foto: Shinta Maharani

Koperasi simpan pinjam yang terbentuk dari tradisi arisan di tiga komunitas transpuan Yogyakarta, yakni Pondok Pesantren Waria, Kebaya, dan Ikatan Waria Yogyakarta ini sudah tersebar di Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul. Yayasan, kata Rully, bisa memberikan dana stimulan sebesar Rp 4 juta kepada setiap perwakilan kreditur. “Kami fokus pada ketahanan ekonomi komunitas karena kebijakan pemerintah belum ramah terhadap transpuan,” kata Koordinator Waria Crisis Center Rully Mallay saat ditemui di kantor Yayasan Kebaya, Selasa, 30 Agustus 2022.

Selain mengembangkan koperasi kredit, para transpuan juga berswadaya mengolah kebun untuk memenuhi kebutuhan pangan. Mereka menanam sayur dan buah di pekarangan Waria Crisis Center yang terletak di Jalan Kaloran, Bangutapan, Bantul. Rumah ini sebetulnya tempat yang dikontrak untuk menampung transpuan terinfeksi Covid-19 dan lanjut usia. Senin siang, 29 Agustus lalu, tampak tiga waria lansia yang sedang duduk-duduk di beranda. Mereka pula yang turut membantu merawat kebun, menyapu dedaunan, dan menyiangi tanaman.

Kegiatan berkebun ini, menurut Rully, bahkan sudah dilakukan sebelum koperasi simpan pinjam berdiri. Rully tak segan menyiram dan menabur pupuk, juga bertanya kepada ahli pertanian di kampus-kampus bila menghadapi masalah pada tanamannya.

Sampai Agustus lalu, kebun tersebut sudah dipenuhi ketela rambat, labu, papaya, cabai, tomat, kunyit, dan jambu. Dengan bercocok tanam, kata Mami Rully, kelompok transpuan bisa menghemat uang. “Mereka dapat pangan sehat karena ditanam secara organik,” ujar Rully.

Dengan begitu, Mami Rully berharap tak lagi mendengar transpuan jatuh tak berdaya, habis itu mati karena tak dapat menjangkau pengobatan dan makan.


Kolaborasi peliputan ini terselenggara berkat dukungan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan The Asia-Pacific Regional Support for Elections and Political Transitions (RESPECT). Program tersebut juga melibatkan Philippines Center for Investigative Journalism (PCIJ) dan Lafaek News (Timor Leste).


Tim Kolaborasi

Penanggung Jawab: Muhammad Kholikul Alim (Jaring.id); Agoeng Wijaya (Koran Tempo)

Penulis: Abdus Somad, Reka Kajaksana (Jaring.id); Shinta Maharani, Imam Hamdi, Riri Rahayuningsih (Koran Tempo)

Penyunting: Damar Fery Ardiyan, Muhammad Kholikul Alim (Jaring.id); Agoeng Wijaya, Rusman Paraqbueq (Koran Tempo)

Foto: Abdus Somad (Jaring.id); Shinta Maharani (Koran Tempo)

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.