Ratusan rumah di rukun warga (RW) 04, Wirobrajan, Yogyakarta sudah lebih dari 10 tahun terbebas dari asap rokok. Salah satunya ialah rumah yang ditinggali Tri Handoko (42). Dinding rumah berarsitektur Jawa miliknya penuh dengan stiker peringatan larangan merokok. Sementara di ujung pintu tampak tumpukan buku saku tentang bahaya mengisap produk tembakau di rumah. “Bau asap rokok tak boleh ada di sini,” kata Tri yang merupakan inisiator kampung antirokok kepada Jaring.id saat ditemui di rumahnya, Kamis, 6 April 2021.
Dari dalam rumah, Tri menunjukkan pelbagai catatan perjalanan tentang keberhasilan warga RW 04 membebaskan diri dari jerat rokok. Saat tangannya sibuk membolak-balik kertas yang tulisanya hampir pudar, telunjuknya berhenti pada foto kegiatan warga sebelum mengikuti lomba kampung bebas asap rokok yang digelar oleh Dinas Kesehatan Yogyakarta pada 2008.
Tri tersenyum mengingat catatan yang mulai kusam itu. Ia tak menyangka RW yang dipimpinnya diganjar juara 1 oleh pemerintah daerah. “Lihat,” Tri menunjukkan secarik foto penyerahan hadiah oleh Dinkes Yogyakarta kepada Jaring.id.
Predikat juara itu yang kemudian memantik Tri untuk berbuat lebih jauh. Ia merasa punya tanggungjawab membebaskan lingkungan rumahnya dari asap rokok secara permanen. Pada 2009 lalu Tri memulai dengan memetakan perilaku merokok warga yang tinggal di RW 04 lewat survei. Hasilnya, hampir 80 persen warga RW 04 menjadi perokok aktif. “Alasan warga, merokok di dalam rumah sendiri dan beli rokok sendiri kok dilarang,” ungkapnya.
Resah dengan kondisi tersebut, Tri bersama dengan kelompok pengendali tembakau Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM), Quit Tobacco Indonesia mempersuasi warga untuk membebaskan rumah dari asap rokok. RW 04 merupakan 1 dari 4 RW yang dijadikan percontohan kegiatan rumah bebas asap rokok (RBAR). “Salah satu programnya mengajak diskusi warga. Kita lakukan pendekatan,” kata Tri.
Mula-mula diskusi yang digelar saban pekan itu menuai pro dan kontra. Kata Tri, sebagian besar warga tidak percaya dengan daya rusak rokok terhadap fungsi tubuh. Namun lambat laun jerih payah itu berbuah hasil. “Setelah ada diskusi panjang para perokok tergugah pikirannya, terutama bila menyangkut anak-anak,” ungkap Tri.
Satu tahun setelah program berjalan, jumlah perokok di RW 04 berangsur turun. Dari sekitar 240 perokok aktif, menurut Tri, saat ini sudah berkurang hampir separuhnya. Warga pun berkomitmen untuk menjalankan sejumlah aturan, yakni tidak menyediakan asbak bagi tamu yang berkunjung, tidak merokok dalam rumah maupun di dekat ibu hamil dan anak-anak. Sementara bagi warga yang masih merokok, disediakan tempat merokok (smoking area) berukuran 4×3 meter. “Ini hanya membatasi merokok dengan bertanggungjawab,” kata Tri.
Saat ini, menurutnya, tidak sedikit warga yang terlibat aktif mengendalikan asap rokok. Mereka bahkan kerap bergotong royong membikin sesegan atau wadah pasir berbahan gerabah yang berfungsi untuk mematikan rokok. Menurut Tri, sedikitnya ada 15 RT yang memasang sesegan di halaman depan rumah. “Ini diadakan dari hasil swadaya warga,” ujar Tri sembari menunjukan lokasi sesegan.
Kesadaran warga terhadap kesehatan ini sekaligus menempatkan RW 04 sebagai wilayah pertama di Yogyakarta yang menerapkan kawasan bebas asap rokok di lingkungan rumah—jauh sebelum Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok disahkan. “Kegiatan ini berdampak baik di warga,” ungkap Tri.
Guna memastikan komitmen yang sudah berlangsung lebih dari 10 tahun ini, warga RW 04 pun sepakat untuk tidak menggelar kegiatan menggunakan dana yang bersumber dari industri rokok. Warga lebih memilih untuk mendanai kegiatan kesenian, olahraga maupun perayaan kemerdekaan Indonesia dengan kocek sendiri maupun lewat dana bantuan pemerintah kota. “Kita tidak pernah minta pendanaan sama industri rokok,” ungkap Tri.
Dari 35 RW di Kecamatan Wirobrajan, 5 RW di antaranya telah menerapkan RBAR. Inisiatif ini tentu melebihi Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok yang hanya mengatur larangan merokok di tempat umum, sekolah, hingga kawasan terbuka hijau. “Kita saling berbagi, bertukar pikiran dan pendekatannya cukup lama. Kami bantu koordinasi tingkat kota dan provinsi,” ujarnya.
Meski begitu, menurut Tri, Perda Kawasan Tanpa Rokok membawa manfaat yang begitu besar terutama memberikan perlindungan terhadap perokok pasif. Tercatat sudah ada 230 dari 615 kecamatan di Yogyakarta yang mendeklarasikan Gerakan Bebas Asap Rokok (GBAR). “Mengajak warga saja sudah menjadi tantangan. Ini keberhasilan,” kata Tri.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Eni Dwiniarsih pada diskusi daring yang diadakan oleh Pusat Perilaku dan Promosi Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, UGM pada Juni 2020 lalu menyebut bahwa sejak 2009 hingga 2019 sudah ada 230 RW dari 615 RW yang menerapkan kawasan rumah bebas asap rokok.
Guna memperluas gerakan RBAR, Tri Handoko berharap pemerintah kota maupun pihak kelurahan membentuk tim khusus penanganan rumah bebas rokok di tingkat RW. “Selama ini kan hanya ditampung kelurahan siaga. Pembagian anggaran kelurahan sangat terbatas,” kata Tri. Dengan tim khusus ini, Tri optimistis Perda KTR di Yogyakarta akan jauh lebih efektif dan masif. “Dampaknya akan signifikan terhadap pengendalian rokok,” pungkas Tri.