Pesan dan Disinformasi Politik: Bagian IV Panduan GIJN untuk Investigasi Pemilu

Catatan Editor: Panduan reportase ini telah diperbarui dan direvisi untuk putaran pemilu 2024. Panduan ini pertama dipublikasikan pada 2022 dan versi awal bagian ini bisa dibaca di sini.


Titik awal yang berguna untuk memerangi disinformasi pemilu dalam lanskap global saat ini adalah dengan mengadopsi posisi yang transparan dan tidak meminta maaf: bahwa jurnalisme memang, dan seharusnya, berpihak pada isu demokrasi, dan menjadi salah satu penjaganya. Menurut para ahli, posisi dasar ini setidaknya membantu melawan klaim partai politik yang bias dan menajamkan keputusan soal siapa aktor jahat dan jenis disinformasi apa yang harus diinvestigasi.

Laporan tentang disinformasi pemilu dari Reuters Institute for the Study of Journalism di University of Oxford mengidentifikasi suatu strategi bersama media-media independen di negara-negara yang demokrasinya terancam seperti Filipina (Rappler), India (The Quint), dan Afrika Selatan (Daily Maverick): “suatu pandangan umum misi demokratis yang terhubung dengan akuntabilitas jurnalisme.”

Ruang-ruang berita ini memilih untuk tidak terlalu memperhatikan “perilaku ganjil” dan pernyataan-pernyataan memecah-belah dari para kandidat populis. Mereka fokus menginvestigasi topik-topik yang berdampak langsung kepada masyarakat dan sesegera mungkin mengidentifikasi kampanye-kampanye bohong yang berpotensi mengakibatkan kerusakan besar.

Strategi struktural lain bagi media massa adalah mengakui aktivitas mereka menginvestigasi aktor jahat di balik kampanye-kampanye disinformasi—baik untuk menarik narasumber dan whistleblower, maupun mendorong para reporter untuk menggali kebohongan. 

Pada 2024 misalnya, Bureau of Investigative Journalism di Inggris Raya telah meluncurkan proyek Influence Operations yang bukan hanya bertujuan mengungkap upaya-upaya manipulasi pemilih, tetapi juga mengekspos aktor di belakangnya. Media tersebut menggunakan sebuah model yang mencakup penggunaan perangkat berbasis kecerdasan buatan dan bisa direplikasi di negara lain.

Salah satu contoh investigasi disinformasi pemilu yang berfokus kepada aktor jahat adalah proyek kerjasama lintas negara Digital Mercenarie. Proyek liputan tersebut melibatkan media dari 16 negara termasuk Argentina, Venezuela, Nikaragua, dan Meksiko untuk mengekspos jaringan konsultan komersial yang bertujuan menipu para pemilih di seluruh Amerika Latin. Dikoordinasi oleh Latin American Center for Investigative Journalism—atau CLIP, akronim dalam bahasa Spanyolnya—serial ini menunjukkan pengaruh “tentara bayaran” yang menggunakan xenofobia dan kebencian untuk menyesatkan pemilih. Adapun teknik ikuti-uangnya berhasil mengungkap bagaimana strategi-strategi tersebut seringkali diekspor ke negara lain. 

Proyek ini menunjukkan bahwa orang-orang yang menyebut diri sebagai profesional dark PR “senang menganggap diri mereka sebagai ahli strategi, meskipun sebetulnya mereka lebih mirip pengkhotbah strategi manipulasi.” Kelompok ini terkadang lebih berpengaruh terhadap pilihan dalam pemilu dibandingkan dengan para politisi.

Platform-platform media sosial telah berkembang menjadi domain-domain pesan politik yang kuat dalam pemilu dengan dampak yang luas. Mulai dari yang positif seperti mendukung keterlibatan pemilih muda dan orang-orang yang hak pilihnya dicabut; yang remeh seperti menyebarluaskan meme-meme kandidat; yang menyesatkan seperti penggunaan iklan berbayar untuk melakukan kampanye disinformasi terkoordinasi; hingga platform-platform partisan yang menyebarkan  ujaran kebencian. Di sisi lain, beberapa platform media sosial besar telah memangkas tim pengawas ujaran kebencian yang sejak awal sudah tidak mencukupi.

Disinformasi didanai dan dikoordinasi karena terbukti memiliki kekuatan untuk menggoyang pemilu nasional serta memperkuat hukum baru yang antidemokratis dan bisa memastikan kemenangan pemilu yang curang di masa depan. Sebuah studi klasik terhadap pemilu Amerika Serikat 206 oleh Ohio State University menemukan bahwa sekitar 4% pendukung Hillary telah terpengaruh untuk tidak memilihnya akibat isi “berita” palsu. Ini termasuk tajuk-tajuk utama seperti “Clinton menyetujui penjualan senjata kepada jihadis Islam, ‘termasuk ISIS’”—sebuah cerita yang dipercaya oleh 20% mantan pemilih Barack Obama.

 

Ancaman disinformasi untuk dipantau

Level baru campur tangan asing

Ilustrasi: Marcelle Louw untuk GIJN
Ilustrasi: Marcelle Louw untuk GIJN

Beberapa pemilu telah mengalami serangan asing dari jauh dalam beberapa tahun terakhir. Berbagai kelompok keamanan digital dan lembaga think tank pro-demokrasi telah memperingatkan bahwa autokrasi yang telah lama berdiri—termasuk Rusia, Iran, dan China—cenderung akan menggunakan jadwal pemilu besar pada 2024 dan 2025, serta politik mereka yang pada umumnya kacau, sebagai kesempatan bersejarah “untuk mendiskreditkan demokrasi sebagai model pemerintahan global.”

Para ahli menyatakan kepada The New York Times bahwa banyak kampanye akan menggaungkan sebuah proyek pengaruh Rusia teranyar yang disebut Doppelgännger. Mereka “mengkloning” 17 jenama media terpercaya dengan nama-nama domain, desain, dan profil media sosial yang sama. Setelah itu, dengan memanfaatkan perangkat AI artikel palsu disusun dan diunggah. (Para peneliti di Disinfo Lab Uni Eropa menggunakan perangkat seperti Meta Ad Library, Crowdtangle, dan perangkat-perangkat infrastruktur domain open source untuk melacak jaringan Rusia.) 

Model lain direpresentasikan oleh operasi “Spamouflage” China, yang memanfaatkan iklan-iklan komersial sebagai kamuflase bagi pesan-pesan politik yang sudah ditargetkan. Pesan tersebut mampu merespons upaya moderasi perusahaan teknologi dengan cara beralih begitu saja ke platform-platform dan forum-forum sosial kecil.

Sementara itu, bentuk paling umum serangan siber asing maupun domestik adalah serangan DdoS (distributed denial of service) terhadap situs-situs web kampanye dan komisi pemilihan independen. Jenis ini sering kali terjadi pada periode tertentu, seperti pendaftaran pemilih dan hari pemungutan suara.

Tip: Bagi petunjuk yang belum terverifikasi tetapi terkadang kuat terhadap operasi pengaruh asing, ceklah berita terbaru dari kelompok-kelompok sukarelawan watchdog pengawas troll seperti antibot4navalny.

 

Deepfakes dan tiruan percakapan AI

Tidak seperti yang dikhawatirkan oleh para ahli manipulasi media, video-video dan gambar-gambar “deepfake” canggih gagal memengaruhi pemilu beberapa tahun terakhir. Namun, bentuk disinformasi yang lebih rendah, dikenal sebagai “cheapfakes”, sering kali dicari untuk menipu para pemilih di beberapa negara.  Ini termasuk mengedit keterangan-keterangan di klip video kandidat yang asli untuk menambahkan pernyataan palsu atau konyol. Tujuannya agar para pemilih yang melihat klip-klip tersebut di telepon tanpa audio akan memercayai kepalsuan itu.

Meskipun begitu, sekarang para ahli benar-benar mengkhawatirkan deepfake, terutama tiruan suara buatan AI, bakal mengancam pemilu di banyak negara pada 2024. Hal itu mungkin terjadi karena ketersediaan perangkat kecerdasan artifisial baru yang mudah digunakan.

Ketakutan mereka akan dampak ini diperkuat oleh studi University College London baru-baru ini, yang menemukan bahwa manusia tidak dapat mendeteksi deepfake ucapan—saat suara seseorang dikloning oleh perangkat pembelajaran mesin untuk menyatakan pesan palsu.

Beberapa hari sebelum pemilu Slovakia pada Oktober 2023, tersebar deepfake berbasis suara pemimpin partai Progresif Slovakia yang pro-Barat. Isinya soal diskusi untuk mencurangi pemilu. Menurut sebuah reportase Infosecurity Magazine baru-baru ini: “Dari pemilihan presiden di Amerika Serikat hingga jajak pendapat Eropa dan India, dunia harus bersiap menghadapi setahun ancaman siber yang belum pernah terjadi terhadap sistem pemilihannya.” Laporan ini juga mengutip seorang ahli keamanan siber yang memperingatkan tentang sebuah taktik baru pada 2024: bahwa para ahli disinformasi akan menggunakan teknik-teknik ini untuk menargetkan para pemengaruh kunci yang sudah berhasil mengumpulkan massa besar, “dan mencegat serta menginterupsi pengikut mereka, kemudian menciptakan narasi-narasi palsu yang akan meningkatkan ketegangan dan menyebabkan basis-basis politik semakin terpecah-belah.”

 

Mitos tentang penggunaan ganda identitas

Salah satu topik disinformasi yang menyebar luas dan sukses adalah klaim bahwa puluhan ribu, atau bahkan jutaan, pemilih meresikokan diri dituntut secara hukum dengan mencoblos beberapa kali atau berhasil menyamar menjadi orang lain ketika jajak pendapat. Berdasarkan penelitian oleh Brennan Center for Justice peluang hal tersebut terjadi di Amerika Serikat hanya 0,0003% hingga 0,0025%. Secara statistik, seorang pemilih bahkan lebih berpeluang tersambar petir.

Keyakinan bahwa penggunaan ganda identitas bakal mengubah hasil pemilu, masih sangat sulit dipercaya. Namun—dari Brazil hingga Amerika Serikat dan Myanmar, kaum populis dan sekutu-sekutu mereka secara efektif melakukan kampanye disinformasi dengan menggunakan mitos ini. Mereka mengintimidasi minoritas dan komunitas imigran, serta menciptakan aturan-aturan pembatasan pemungutan suara baru yang merampok hak ribuan warga negara dan bisa mengubah hasil pemilu.

Kiat: Gunakan grafik berbasis data dan metafora untuk melawan mitos ini. Sebagai contoh: menerapkan pembatasan pemilih untuk mengatasi penipuan pemilih sama saja dengan melarang penggunaan sabuk pengaman karena sejumlah pengemudi terperangkap dalam sabuk pengaman yang macet setelah kecelakaan.

 

“Membanjiri zona” dengan kebingungan

Meski jurnalis mengetahui ancaman teori konspirasi, banyak dari mereka yang menderita karena serbuan sesuatu yang disebut beberapa peneliti sebagai “teori konspirasi tanpa teori.” Ini mengacu kepada taktik penyebaran pesan secara besar-besaran atau “membanjiri zona dengan omong kosong” yang pernah dijabarkan oleh mantan penasihat Trump sekaligus provokator sayap kanan, Steve Bannon. Tujuannya untuk mengikis kepercayaan publik terhadap media dan lembaga-lembaga demokrasi dengan membuat orang-orang kewalahan mendengar rentetan klaim dan konspirasi, tanpa repot-repot memberikan bukti palsu, bahkan yang konyol sekalipun karena hal ini “memaksakan realitasnya sendiri melalui pengulangan-pengulangan.” 

Lihat investigasi oleh Rolling Stone yang menunjukkan bagaimana Trump menjadi sumber utama dan penggaung klaim-klaim liar yang mudah dipatahkan tentang infrastruktur data pemilu yang penting di Amerika Serikat.)

Branko Čečen, Direktur Pusat Jurnalisme Investigatif Serbia (CINS) memperingatkan adanya sejumlah besar pemilih di wilayah Balkan yang sangat terpengaruh oleh teori-teori konspirasi daring yang sama sekali tak berdasar. Ia menilai hal tersebut telah menciptakan sikap apatis warga negara lain, yang “baru saja berubah” terhadap politik.

Kiat: Teruslah mengulang kebenaran berbasis bukti tentang sebuah isu dengan jelas, atau kembangkan melalui investigasi-investigasi yang telah dipublikasikan, serta gunakan infografik-infografik data jika memungkinkan.

Sementara itu, korporasi media partisan tradisional dan yang dikelola negara terus menjadi penggaung dominan misinformasi bagi para autokrat dan kandidat populis. Di Afrika dan India, hal ini telah menciptakan narasi-narasi palsu yang tersebar melalui jaringan yang rumit dan ketat.

Meningkatnya konsolidasi dan monopoli saluran TV milik pribadi oleh para sekutu pemimpin otoriter telah menenggelamkan suara-suara oposisi di negara-negara seperti Serbia dan Polandia. Seperti yang diungkapkan oleh Media & Journalism Research Center, ada jauh lebih banyak penelitian yang terfokus pada disinformasi media sosial daripada dampak kepemilikan media partisan terhadap pemilu. Hasilnya, pusat itu meluncurkan sebuah proyek pengumpulan data yang disebut sebagai Decoding the Power Play: Media and Election pada 2024. Data tersebut menampilkan beberapa informasi latar belakang yang berguna dan bertujuan untuk mengungkap hubungan antara korporasi media dan entitas-entitas politik di 40 negara yang menyelenggarakan pemilu pada 2024.

Berkat pertukaran dan pelacakan data, iklan kampanye daring sekarang bisa sangat tepat ditargetkan ke subgrup demografis secara mikro. Menurut lembaga nonprofit pemeriksa fakta global First Draft News, “kumpulan aturan dan pendekatan laissez-faire—pembiaran—terhadap iklan politik menyebabkan kurangnya akuntabilitas dalam kampanye-kampanye politik, serta penyebaran dusta, misinformasi, dan disinformasi.”

Meskipun organisasi-organisasi pemeriksa fakta umumnya melakukan pekerjaan mengagumkan dalam mengekspos kepalsuan daring dan mengidentifikasi foto-foto yang dimanipulasi, sering kali peran pelacakan individu di balik disinformasi atau trik-trik kotor pemilu diserahkan kepada para jurnalis investigatif. Mereka menjadi sumber utama untuk mengungkap pertanyaan-pertanyaan kritis tentang penyebaran pesan pemilu, seperti: Siapa yang mengendalikan penyebaran pesan politik daring? Dari mana pendanaan para kandidat berasal.

Sarah Blaskey, seorang reporter investigatif untuk Miami Herald, menawarkan gagasan cemerlang ini: Demokrasi jauh lebih rapuh daripada yang Anda pikirkan, jadi liputlah pemilu bagaikan Anda seorang koresponden asing.

Dalam hal ini, kami membagikan beberapa teknik untuk melacak percakapan politik, iklan-iklan kampanye, dan narasi-narasi disinformasi daring, juga tips untuk menemukan sumber kampanye berdasarkan wawancara dengan beberapa ahli manipulasi media terkenal di dunia. Kami juga membagi sebuah daftar “siasat kotor” yang harus diwaspadai jurnalis dan menjelaskan cara mengungkap oknum atau aturan yang dipertanyakan di balik mereka.

 

Perhatikan tren penyebaran pesan

First Draft News telah menyimpulkan tiga ciri utama disinformasi pemilu:

  1. Disinformasi ditujukan untuk mendiskreditkan kandidat dan partai.
  2. Operasi informasi ditujukan untuk mengusik proses pemungutan suara dan mencegah partisipasi, seperti memberi informasi yang salah tentang waktu dan tempat pemungutan suara kepada para pemilih.
  3. Berita palsu dirancang untuk melemahkan keyakinan publik terhadap hasilnya.

Claire Wardle, salah satu pendiri First Draft News memperingatkan bahwa “mempersenjatai konten”—dengan konten jujur yang sengaja direkayasa—adalah bentuk disinformasi paling persuasif dalam pemilu. Silakan cek kursus daring baru AFP mengenai “Cara Mengatasi Disinformasi Selama Pemilu.” Kursus ini diberikan dalam Bahasa Prancis, Inggris, Spanyol, dan Portugis.

Meningkatnya bot AI baru-baru ini dan aplikasi kecerdasan artifisial lain yang mudah diakses menunjukkan ancaman serius bagi para pemegang hak pilih, karena seorang aktivis dapat membanjiri internet dengan lusinan konten yang diciptakan AI, yang bisa dianggap terpercaya seperti cerita-cerita ruang berita dengan sumber kuat atau video-video asli yang relevan dengan pemilu.

Kampanye-kampanye politik juga banyak memanfaatkan teknologi baru guna menghindari aturan yang melindungi para pemilih dari serangan dan intimidasi via telepon, dan bisa menggunakan kampanye teks massal anonim untuk mendesak para pendukung menyerbu acara-acara yang ditargetkan atau tempat pemungutan suara. 

Sebagai contoh, US Federal Communications Commission sempat melarang penggunaan “autodial” untuk mengirimkan pesan-pesan teks politik kepada warga negara. Alih-alih menghubungi warga secara manual melalui sambungan telepon, beberapa kampanye menggunakan platform pengiriman pesan semiotomatis untuk membombardir masyarakat dengan pesan-pesan yang tidak diinginkan. 

Di India dilakukan oleh Presiden Narendra Modi dari Partai Bharatiya Janata. Dia membangun pasukan sukarelawan secara masif yang bertugas mengirimkan pesan politik kepada publik secara berulang. Sebuah analisis oleh Africa Center for Strategic Studies pun menemukan adanya sebaran luas disinformasi kampanye-kampanye pemilu di banyak negara. “Disinformasi terkoordinasi yang telah kami ungkap hanyalah puncak gunung es,” begitu penjelasan Tessa Knight, peneliti berbasis Afrika Selatan dengan The Atlantic Council’s Digital Forensic Research Lab (DFRLab). 

“Hal ini berkembang ketika pemerintah dan tokoh politik memanipulasi algoritma media sosial melalui produksi konten palsu, duplikasi yang  terkoordinasi,” ia menambahkan. 

 

Teknik untuk melacak pesan politik

Para ahli komunikasi politik telah mencoba mengorganisasi dan mengotomatisasi pengawasan terhadap penyebaran pesan kampanye melalui media sosial. “Ketika mengikuti orang-orang yang mengarahkan pembicaraan, hal yang penting adalah membiarkan algoritma bekerja—jadi, ketika Anda mengikuti satu akun, Instagram secara otomatis akan merekomendasikan sekumpulan orang yang terkait,” ujar ahli manipulasi media digital Jane Lytvynenko.

Temukan di mana percakapan-percakapan politik terjadi. Setiap negara, wilayah, dan kelompok ideologis memiliki media sosial dan platform pengiriman pesan favorit masing-masing—WhatsApp mendominasi bagian selatan Afrika dan banyak bagian Amerika Latin; di China yang mendominasi adalah WeChat; di antara kelompok-kelompok sayap kanan, biasanya Telegram atau VK; dan di Filipina, nyaris seluruhnya Facebook. Jadi, penting untuk mengidentifikasi platform-platform dan aplikasi pesan kunci dalam lanskap pemilu Anda sejak awal. “Hal pertama yang benar-benar penting adalah memahami di mana percakapan-percakapan terjadi, juga trennya,” Lytvynenko menjelaskan.

Cari tahu di mana percakapan politik sedang berlangsung secara daring di negara Anda. Gambar: Shutterstock
Kazan Russia 07.08.2016: iphone 5s with telegram messenger logo on screen, window on background. Illustrative editorial

“Sebagai contoh, kita melihat peningkatan pesat Telegram di negara-negara seperti Brazil, tetapi semakin sedikit penggunaannya di Amerika Serikat. Namun, ketahuilah bahwa grup-grup Facebook terus menjadi faktor besar misinformasi dan disinformasi.”

Temukan apa yang ingin diketahui oleh para pemilih. Gunakan filter-filter dalam perangkat Google Trends untuk mengetahui apa yang dicari oleh komunitas-komunitas pemilih, seperti juga peningkatan minat sebuah topik pemilu yang terjadi tiba-tiba.

Ajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat tentang disinformasi, dalam beberapa bagian. Dalam bagian disinformasi untuk panduan Menginvestigasi Ancaman Digital GIJN, Lytvynenko berkata: “Pertanyaan awal yang harus diajukan setiap reporter adalah apakah mereka mencari satu insiden atau upaya manipulasi berskala besar. Ada beberapa indikator dan pertanyaan yang bisa membantu di sini: kapan akun-akun dibuat, kapan konten dibagikan, siapa yang menggaungkan konten di platform-platform berbeda, dan kesamaan apa saja yang ada di dalam konten tersebut? Pemilihan waktu juga bisa berguna—apakah beberapa konten sudah dibagikan dalam beberapa menit atau bahkan detik dari akun-akun yang memiliki karakteristik yang mirip?”

Minimalkan kerusakan saat menjelaskan berita palsu. Menurut Lytvynenko: “Simpan informasi akurat di tajuk utama. Di tubuh teks, adopsi pendekatan “roti lapis kebenaran, ” yakni: akurat-tidak akurat-akurat. Ini akan membantu para pembaca mengingat informasi yang benar, bukannya palsu. Saat memberikan tautan, kirimkan versi informasi palsu yang telah diarsipkan kepada para pembaca untuk menghindari traffic kepada para sumber disinformasi.” 

Cobalah trik copy-paste untuk memeriksa situs-situs partisan yang bersekutu. Ini adalah sebuah teknik untuk menandai kampanye-kampanye pengaruh yang terkoordinasi, yang hanya membutuhkan beberapa detik untuk dilakukan. Copy sejumlah teks dari laman “About” atau “Home” di situs-situs web hiper-partisan, paste teks tersebut ke Google, dan dalam beberapa saat, dengan cepat Anda bisa melihat apakah teks itu direplikasi di situs-situs lain. Selain itu, perhatikan logo dan layout yang sama, karena ini bisa mengindikasikan keterlibatan desainer web yang sama. (Jika menemukan kesamaan ini, Anda kemudian bisa menyelidiki pemilik situs asli yang tersembunyi, dengan menggunakan perangkat seperti Whoxy.com atau mengikuti metode “UA/Pub” yang dijabarkan dalam bagian Perangkat Penggalian Pemilu Baru dalam panduan ini).

Temukan para peneliti lokal yang sudah mempelajari iklan-iklan politik. “Apakah ada akademisi di negara Anda yang mempelajari iklan politik? Biasanya ada orang-orang seperti itu di hampir semua negara,” ujar ahli manipulasi media ProPublica, Craig Silverman. “Anda harus berbicara dengan mereka, dan lihat studi dan data yang mereka kumpulkan, yang bisa berbeda dengan yang diungkapkan platform-platform.”

 

Perangkat-perangkat baru untuk menggali disinformasi

SimilarWeb untuk melacak traffic di platform-platform seperti WhatsApp. Platform-platform “tertutup” seperti WhatsApp telah menjadi sangat penting untuk pertukaran pesan politik di wilayah selatan Afrika dan Amerika Latin sehingga ruang-ruang berita mungkin bisa mempertimbangkan salah satu perangkat komersial berbayar yang bisa mengukur dan melacak traffic di antara grup-grup chat di sana secara akurat. Beberapa jurnalis investigatif merekomendasikan SimilarWeb—sebuah perangkat lengkap yang biasanya digunakan untuk intelijen pemasaran—sebagai suatu cara yang andal untuk melihat situs-situs web disinformasi mana yang paling banyak dibagikan di grup-grup WhatsApp pribadi dan politik. Sebuah perangkat analisis WhatsApp yang lebih mudah digunakan adalah Palver, meskipun hanya bisa digunakan di Amerika Selatan.

Junkipedia untuk melacak jaringan-jaringan disinformasi. Seperti yang dijelaskan dalam bagian Perangkat Baru Penggalian Pemilu dalam panduan ini, Junkipedia menawarkan database dan sedikitnya 12 platform media sosial yang dapat mempermudah reporter membangun daftar akun, bahkan auto-transkripsi dan pencarian siniar terkait.

Perangkat verifikasi konten. Meskipun organisasi-organisasi pemeriksa fakta bekerja dengan sangat baik untuk membongkar berita palsu pemilu, reporter investigasi perlu memiliki perangkat verifikasi agar dapat menemukan pola di balik unggahan konten bermasalah. Verification Handbook dari Craig Silverman sangat berguna karena memuat lusinan perangkat open source. Perangkat yang secara khusus mengkurasi klaim-klaim pemilu yang diarahkan ke kelompok-kelompok minoritas—seperti portal Factchequeado, pengecek konten berbahasa Spanyol yang ditujukan kepada para pemilih Latino di Amerika Utara juga sangat berguna bagi jurnalis. 

Sementara itu, platform yang sangat berpengaruh dan populer adalah WeVerivy. “Anda bisa menggunakannya untuk melakukan pencarian balik foto atau video, dan membandingkan foto-foto untuk mengetahui di mana manipulasinya,” Lytvynenko berkata.

Metodologi perangkat untuk menggali Telegram. Jane Lytvynenko menyarankan tiga strategi ini untuk menggali data dari utas-utas pemilu di Telegram—suatu kekuatan pesan yang luar biasa penting dalam banyak kampanye pemilu, dan merupakan titik fokus bagi banyak kelompok sayap kanan:  

  1. Gunakan operator berikut di Google—site; t.me (kata kunci)—untuk menemukan beberapa saluran Telegram yang mungkin berguna bagi Anda, menggunakan kata-kata kunci untuk wildcard.
  2. Kemudian buka perangkat tgstat, lalu masuklah ke saluran-saluran menarik. “Tgstat sangat berguna karena bisa memberi Anda pandangan tentang ekosistem, kemudian ikuti saluran-saluran tersebut,” ujar Lytvynenko. Para reporter juga bisa menggunakan perangkat Telegago untuk pencarian ini.
  3. Unduh aplikasi desktop Telegram langsung dari situs tersebut. Dengan melakukan itu, menurut Lytvynenko, Anda akan mendapatkan opsi untuk mengekspor histori percakapan. “Itu membantu jika harus melakukan analisis massal macam apa pun. Keindahan aplikasi desktop Telegram adalah sekali mendaftar ke cukup banyak saluran, Anda bisa menggunakannya sebagai mesin pencarian. Dia juga menyarankan agar para jurnalis mencoba metadata2go.com untuk langsung menggali metadata di balik video-video dan foto-foto di Telegram.

Selain itu, sebuah perangkat baru untuk jurnalis yang bernama Telephaty dengan cepat menjadi terkenal sebagai “pisau Swiss army untuk perangkat Telegram,” karena tidak hanya menunjukkan bagaimana saluran-saluran itu terhubung, tapi juga bisa mengarsipkan seluruh percakapan, mengidentifikasi pengirim pesan terbanyak, dan mengumpulkan daftar anggota. Meski begitu, perangkat ini membutuhkan seseorang yang ahli dalam open source untuk menginstal dan mengoperasikannya. Keduanya gratis dan berbayar secara bertahap.

 

Snap Map dari Snapchat yang menunjukkan lokasi geografis kiriman dari Kabul, Afghanistan. Gambar: Tangkapan layar
Snap Map dari Snapchat yang menunjukkan lokasi geografis kiriman dari Kabul, Afghanistan. Gambar: Tangkapan layar

Snap Map untuk berita terkini. Fitur Snap Map dari SnapChat menunjukkan peta panas aktivitas pertukaran pesan dan membuat Anda bisa memperbesar sebuah titik di peta, dan menonton potongan-potongan video yang diambil di sana secara langsung. “Ini adalah perangkat yang berguna, dan membuat Anda bisa mengumpulkan lebih banyak konteks dalam situasi berita terkini,” ujar Craig Silverman.

Temukan para pemilik domain tersembunyi dengan Whoxy. Bagi orang-orang tanpa keahlian pencarian WHOIS yang berdasarkan perintah, Whoxy.com bisa digunakan reporter untuk mencari para pemilik situs-situs atau domain-domain bermasalah yang berhubungan dengan pemilu melalui email, nama orang, atau nama perusahaan. Reporter disinformasi Meksiko, Emilio Fernández juga merekomendasikan situs gratis DNSdumpster dan dasbor berbayar Iris Investigate sebagai perangkat berguna untuk menggali dunia data domain yang tersembunyi. Lihat daftar komprehensif petunjuk ini ketika hendak mengungkap siapa di balik situs-situs terkait kampanye politik. 

Arsipkan secara otomatis investigasi-investigasi pemilu menggunakan Hunchly. Emilio Fernádez menekankan pentingnya menyimpan catatan investigasi kampanye daring, dan berkata bahwa versi desktop Hunchly tidak hanya menangkap dan menyimpan setiap laman web yang Anda kunjungi, tetapi secara otomatis menyusun situs-situs ini untuk proyek-proyek investigatif yang berbeda. “Ketika ekstensinya diaktivasi, semua situs yang dikunjungi akan tersusun dalam folder tertentu,” jelasnya.

Followerwonk untuk membandingkan akun-akun partisan. Perangkat Followerwonk membuat para reporter mampu melacak dan membandingkan pengikut di beberapa akun Twitter/X.

Perangkat analisis Mozilla untuk melacak gangguan internet. Mozilla telah membuka akses kepada banyak sekali data tentang pemadaman internet di seluruh dunia, beberapa di antaranya terbukti terhubung dengan pemilu. Mendaftarlah agar dapat mengakses secara gratis susunan data melalui formulir ini

 

Perangkat-Perangkat untuk menggali sumber-sumber iklan politik daring

Kampanye-kampanye iklan politik daring semakin banyak menggunakan taktik penargetan mikro, dengan iklan yang berbeda, atau versi yang sedikit diubah dari sebelumnya, menargetkan subgrup-subgrup demografis yang spesifik. Sebagai contoh, suatu analisis pemilu besar Inggris Raya 2019 oleh First Draft News menemukan bahwa sebuah iklan Partai Konservatif yang menyatakan “Wujudkan Brexit!” secara eksklusif mencapai para pengguna lelaki di bawah 34 tahun. 

Namun sebuah iklan yang diduplikasi sangat mirip, hanya dengan subjudul baru yang terfokus pada pelayanan kesehatan dan keamanan, juga dilihat oleh perempuan. Laporan ini menjelaskan bahwa algoritma media sosial yang menggaungkan pesan-pesan kepada kelompok-kelompok yang awalnya paling banyak merespons akhirnya menciptakan suatu strategi penjangkauan yang terpercaya. Dan iklan-iklan daring bisa menjadi murah sekali untuk kampanye. First Draft News menemukan sebuah iklan SnapChat yang menarik lebih dari setengah juta impresi hanya membutuhkan biaya sekitar 765 dollar.

Lakukan pencarian iklan politik di Meta Ad Library Facebook. Meskipun skeptisisme meluas tentang strategi data di Meta/Facebook, beberapa ahli, termasuk Julia Brothers, manajer program pemilu di US National Democratic Institute, berkata bahwa Meta Ad Library dan Library telah menjadi perangkat global yang penting untuk menggali iklan-iklan politik dan kelompok-kelompok di belakangnya.

“Seharusnya reporter yang memindai perpustakaan iklan menjadi praktik standar dalam pemilu sekarang agar kita dapat  mengetahui iklan politik apa saja yang ada di luar sana,” Silverman dari ProPublica menyetujui. “Anda bisa menargetkan laman-laman spesifik; Anda bisa melakukan pencarian dengan kata kunci. Saya curiga Facebook tidak terlalu memperhatikan negara-negara kecil, tetapi jika orang-orang ingin memasang iklan politik di Facebook, seharusnya mereka mengajukannya jauh sebelum itu, dan disetujui oleh Facebook, kemudian iklan-iklan tersebut harus diarsipkan selama bertahun-tahun.” Silverman berkata bahwa para reporter bisa menggali lebih dalam dengan mencari pihak-pihak berkepentingan yang mereka temukan di Ad Library di database OpenCorporates.

Periksa perangkat transparansi iklan politik Google. Pusat Transparansi Iklan Politik Google mengklaim telah menawarkan database iklan pemilu terkini yang mudah digunakan. Para reporter di Amerika Serikat juga bisa mengeksplorasi Ad Observatory NYU—dikembangkan oleh Cybersecurity untuk Unit Demokrasi New York University, untuk mendapatkan wawasan lebih mendalam tentang organisasi-organisasi di balik iklan Facebook.

 

Cara melacak para aktor di balik disinformasi Pemilu

“Menyebarkan informasi palsu, terutama di media sosial, semakin menguntungkan secara politis maupun finansial,” ungkap Lytvynenko. “Salah satu cara untuk memikirkan hal ini adalah dengan bertanya: ‘Siapa yang diuntungkan?’ Jika Anda mengkhawatirkan campur tangan yang disponsori negara, tanyakan negara mana yang dikenal sebagai pelaku disinformasi—Rusia, China, Iran—yang mendapatkan keuntungan secara diplomatik dengan ikut campur dalam narasi pemilu lokal.” Dia menambahkan: “Secara domestik, kita melihat para politisi memanfaatkan misinformasi untuk mewujudkan agenda-agendanya sendiri; untuk memberi kesan bahwa mereka mendapat lebih banyak dukungan daripada sebenarnya; atau untuk memaksakan suatu kebijakan tertentu.”

Karena rentang perhatian yang semakin pendek juga disebabkan oleh media sosial, Lytvynenko berkata bahwa bentuk-bentuk visual disinformasi semakin kuat—dan merekomendasikan panduan Washington Post komprehensif ini untuk memahami ancaman.

Para ahli disinformasi merekomendasikan panduan dari The Washington Post untuk memeriksa video yang dimanipulasi. Gambar: Tangkapan layar, The Washington Post
Para ahli disinformasi merekomendasikan panduan dari The Washington Post untuk memeriksa video yang dimanipulasi. Gambar: Tangkapan layar, The Washington Post

Siapa pelaku disinformasi dalam pemilu? Operator politik kemungkinan besar berada di balik kampanye domestik yang terkoordinasi; partisan-hiper media berita; penggalangan troll asing yang didukung negara; para antidemokrasi atau ekstremis politik; kelompok-kelompok minat istimewa; jaringan propaganda media sosial yang berdedikasi; dan kadang-kadang para remaja yang telah menemukan cara memonetisasi berita palsu politik dengan sepersekian sen tiap kali mengunjungi situs.

Mereka juga bisa jadi para partisipan yang tidak menyadarinya. Seperti yang diungkapkan oleh First Draft News, suatu pernyataan jujur oleh warga negara yang bermaksud baik tentang sebuah isu spesifik bisa disalahgunakan oleh agen-agen disinformasi untuk penggunaan pertukaran pesan pemilu. Laporan mereka memberikan contoh ini: “Satu [orang] salah melaporkan bahwa penyebab musim kebakaran semak Australia sebagai suatu gelombang pembakaran dengan sengaja, yang kemudian dibesar-besarkan oleh para penganut teori konspirasi dengan agenda penyangkalan iklim.”

Pada 2016, investigasi yang dilakukan Silverman mengungkap bahwa lebih dari 100 situs web disinformasi pro-Trump dikelola oleh para ahli propaganda muda di sebuah kota di Macedonia. Mereka diantaranya mendapatkan 5.000 dolar per bulan dari iklan berbasis traffic. Sebagian besar tidak memedulikan perbedaan ideologis antara kandidat, yakni Donald Trump dan penantangnya, Hillary Clinton dari Demokrat. Mereka hanya merasa bahwa keuntungan media sosial dari para pendukung Trump lebih besar—tetapi unggahan-unggahan mereka yang palsu dan menyesatkan diyakini telah memberikan pengaruh buruk bagi pemilu 2016 di Amerika Serikat. Baru-baru ini, reporter Prancis Alexandre Capron menemukan bahwa sebuah kampanye disinformasi yang merusak di Republik Demokratik Kongo tidak digerakkan oleh uang maupun pengaruh politik, tetapi hanya karena bualan di media sosial.

“Tahap pertama misinformasi yang biasa kita lihat adalah serangan mutlak konten di media sosial—biasanya konten visual; kadang-kadang di luar konteks, kadang-kadang disisipkan dengan cara yang menyesatkan,” ujar Lytvynenko.

Gunakan perangkat verifikasi cepat sebagai pembuka cerita baru. Meskipun organisasi pemeriksa fakta berperan penting dalam membongkar kepalsuan, foto-foto dan klaim-klaim mencurigakan sering kali muncul dalam investigasi yang lebih besar—yang juga membutuhkan verifikasi dan bisa memicu pembuka-pembuka cerita baru yang berharga. 

Di dalam panduan verifikasi foto populer GIJN, mentor jurnalisme Raymond Joseph dengan rinci menjelaskan cara menggunakan beberapa perangkat ramah pengguna, termasuk aplikasi Photo Sherlock gratis dan aplikasi Fake Image Detector untuk memeriksa foto-foto yang dimanipulasi di media sosial, sekaligus tips untuk mencari petunjuk. Para reporter yang tengah menghadapi tenggat dapat melakukan pemeriksaan foto menggunakan ponsel dalam beberapa detik hanya dengan memasukkan URL foto atau alamat web ke Google Images.

Untuk mengungkap lebih banyak, lihat penjelasan membantu ini dari lembaga nonprofit Data & Society, dan perangkat kekacauan informasi dari First Draft News.

Lacak penyebar disinformasi besar-besaran. Bagaimana Anda bisa membedakan antara disinformasi pemilu media sosial yang terkoordinasi dan penyebaran pesan-pesan populer, tetapi tidak akurat yang tidak memiliki niat buruk? CooRnet, sebuah program yang dikembangkan oleh University of Urbino Italia menggunakan algoritma untuk mengidentifikasi pola-pola pembagian mencurigakan. Sebagai perangkat dengan bahasa pemrograman R, CooRnet bahkan lebih kuat jika digabungkan dengan platform visualisasi open-source Gephi.

Identifikasi akun-akun media sosial terotomatisasi. Selain untuk mendapatkan wawasan lain yang berguna, aplikasi analisis akun menggunakan beragam teknik untuk mengekspos akun-akun “bot.” Sebagai contoh, fitur “Daily Rhythm” menunjukkan akun-akun mencurigakan yang mengunggah tweet antara pukul 1 sampai 5 dini hari waktu lokal, ketika manusia biasanya tidur. Sementara itu, perangkat Botometer sering kali memberikan skor terhadap kemungkinan bahwa akun yang Anda investigasi atau pengikutnya adalah bot.

Perhatikan upaya-upaya mengeksploitasi kebohongan. Mengapa beberapa politisi repot-repot mendorong kebohongan yang sudah dibantah, dan tampaknya tidak membantu kampanye mereka? “Begitu Anda mengaitkan disinformasi dengan politisi atau kelompok aktivis tertentu, penting untuk melihat apakah mereka berusaha mendorong kebijakan apa pun yang akan sejalan,” kata Lytvynenko. “Di AS, kami melihat pembatasan besar pada hak suara yang disebabkan oleh kampanye ‘Stop the Steal‘ yang salah [yang mendorong kebohongan bahwa Donald Trump dicurangi untuk meraih kemenangan pada tahun 2020]. Langkah tersebut akan membantu Anda memahami tujuan dari informasi yang salah.”

 

Menginvestigasi siasat kotor dalam Pemilu

Siasat-siasat kotor dalam pemilu sering kali hanya diburu oleh para jurnalis investigatif karena beberapa alasan. Lembaga-lembaga penegak hukum jarang membahas siasat-siasat tidak etis, kelompok-kelompok pengawas pemungutan suara cenderung terlalu lama bereaksi, audiens media biasanya merupakan target atau korban, dan para aktor di balik kampanye dengan niat buruk sering kali bisa membawa Anda ke skandal-skandal pemilu yang lebih besar.

Ada perbedaan besar dengan siasat-siasat politik yang etis—seperti menenggelamkan para watchdog media dalam tumpukan data besar secara sengaja. Salah satu contoh klasik: rilis ratusan halaman catatan medis seorang kandidat saat mendekati tenggat kampanye.

Sebaliknya, kita membicarakan siasat-siasat yang dirancang sebagai upaya misinformasi atau mencurangi pemilih, dan ini juga termasuk aturan-aturan yang diberlakukan sepatutnya, yang bisa diekspos para jurnalis sebagai antidemokratis, tidak etis, atau rasis. Sebagai contoh, pada 2014, sebuah aturan baru di negara bagian Alabama, Amerika Serikat, memberikan mandat bahwa dokumen identitas apa pun yang dilengkapi foto diterima sebagai bukti untuk memilih, termasuk surat izin mengemudi (SIM). Namun setahun kemudian, para pejabat partisan secara sistematis menutup kantor-kantor pemerintahan yang mengeluarkan izin-izin tersebut di berbagai lingkungan sebagai dukungan terhadap partai oposisi. 

Untuk menyangkal klaim adanya pemotongan anggaran di balik gerakan tersebut, Brennan Center–sebuah organisasi hukum dan kebijakan nonpartisan, mempublikasikan sebuah peta yang menunjukkan bahwa 31 kantor penerbitan SIM berada di kantong-kantong suara yang cenderung akan memilih oposisi. 

Manfaatkan urun daya untuk mengungkap kebenaran. Asal-usul robocall pemilu yang menyesatkan—panggilan otomatis yang dapat mengirimkan sejumlah besar pesan yang telah direkam sebelumnya, terkenal sulit dilacak. Namun, para ahli percaya bahwa crowdsourcing adalah salah satu cara terbaik untuk mendeteksi trik-trik kotor kampanye seperti ini. Pada 2018, Comprova Project berhasil mengungkap kebohongan yang merusak pemilihan umum di Brasil ketika kolaborasi 24 organisasi media mempublikasikan nomor WhatsApp yang sama, dan menerima banyak sekali tips dari audiens gabungan mereka.

“Urun daya sangat penting, terutama ketika kita harus lebih awal mengidentifikasi misinformasi dalam narasi—terutama untuk WhatsApp,” ujar Lytvynenko. “Buka sebuah saluran, dan bekerja sama.”

Pertimbangkan sebuah investigasi terhadap “siasat-siasat buruk” saat ada tanda-tanda peringatan berikut ini.

  • Sebuah partai politik yang berhenti mencoba meyakinkan para pemilih baru untuk memberikan dukungan. Biasanya, satu-satunya jalan kemenangan bagi partai yang berhenti menambah pendukung mereka—setelah memaksimalkan jumlah pendukung, atau membentuk koalisi—adalah untuk mengecilkan hasil poling terhadap oposisi, menggunakan strategi antidemokrasi seperti penekanan pemilih yang ditargetkan, kebohongan pemilu, intimidasi, atau penyalahgunaan hukum pemilu.
  • Kelayakan pemilih massal mendapatkan tantangan dari sejumlah kecil warga negara. Para “penegak aturan terhadap penipuan pemilih” yang mengklaim memedulikan kelayakan ribuan pemilih lainnya karena alasan pribadi sering kali merupakan pion yang dibiayai dan dikoordinasi untuk melakukan kampanye intimidasi oleh kelompok-kelompok ideologis atau pebisnis partisan.
  • Kemacetan pada hari-hari pemilu dan hari-hari pendaftaran pemilih yang disengaja dan ditargetkan.
  • Propaganda jajak pendapat, ketika survei opini publik menggunakan framing yang tidak jujur atau penyampaian pesan termanipulasi untuk menunjukkan turunnya dukungan bagi para kandidat atau kebijakan oposisi.
  • Robocall disinformasi untuk melemahkan pemungutan suara, seperti penyebaran informasi palsu tentang kalender pemilu dan persyaratan identitas.
  • Intimidasi terhadap para pemilih baru dengan mengklaim pendaftaran pemilih akan menyebabkan peningkatan penyidikan otoritas pajak atau imigrasi.
  • Praktik-praktik antikompetitif, seperti menyempitkan kampanye keahlian lawan atau kesempatan bagi media.
  • Dengan sengaja membingungkan para pemilih dengan prosedur-prosedur pengiriman surat suara.
  • Menggunakan strategi “PR kelam” untuk mencemari para kandidat dengan tautan-tautan palsu atau berlebihan kepada individu-individu yang tidak populer.
  • Penggunaan sumber daya publik secara ilegal atau tidak etis untuk aktivitas kampanye.
  • Mendaftar ulang alamat rumah kandidat oposisi di distrik politik yang baru.
  • Meminta campur tangan asing.

Taktik-taktik legislatif antidemokrasi juga bisa termasuk taktik-taktik ini.

  • Mengubah aturan-aturan pemilu untuk menekan, menghalang-halangi, atau mempersulit para pemilih oposisi. Ini termasuk hukum yang dirancang untuk mencegah registrasi pemilih pada hari-hari populer bagi komunitas partisan tertentu, dan aturan yang membutuhkan identifikasi pemilu yang hanya sedikit dimiliki oleh para pemilih oposisi.
  • Hukum dari “buku permainan pemilu autokrat.” Lihat daftar siasat kotor legislatif yang biasanya digunakan oleh otoritarian yang disebutkan sebelumnya dalam panduan ini.
  • Perubahan batas wilayah secara ekstrem. Penyalahgunaan proses perubahan batas-batas distrik politik bisa menyebabkan pemilu dengan pemilih yang tidak menentukan pemimpin mereka, tetapi para pemimpin yang menentukan pemilih mereka. Hasilnya, partai-partai yang kehilangan suara populer karena margin besar masih bisa mengendalikan lembaga-lembaga perwakilan mereka, mengolok-olok prinsip-prinsip demokrasi. Meskipun masalah ini tidak terlalu banyak terjadi di negara-negara dengan perwakilan proporsional, seperti Israel dan Belanda, atau negara-negara yang membolehkan organisasi nonpartisan menentukan batas-batas legislatif mereka, seperti Australia dan Kanada, taktik perubahan batas wilayah ini masih merupakan ancaman bagi hak-hak pemilih di negara-negara seperti Hungaria, Amerika Serikat, Hong Kong, Sudan, dan Filipina.
  • Aturan yang menggunakan dalih klaim pemilih palsu untuk mempersulit pemungutan suara. Penelitian menunjukkan bahwa pemilih palsu secara langsung luar biasa langka di seluruh dunia dan tidak banyak berpengaruh kepada hasil nasional, tetapi banyak partai politik yang membesar-besarkan masalah kecil ini untuk memperkenalkan aturan yang dengan sengaja mempersulit pemungutan suara bagi kelompok-kelompok tertentu yang cenderung memilih lawan mereka. Jika data lokal Anda menunjukkan bahwa pemilih palsu secara langsung lebih sedikit terjadi daripada, katakanlah, luka-luka akibat sambaran petir, atau hole-in-one yang dilakukan pemain golf pada hari ulang tahun mereka, gunakanlah perangkat-perangkat visualisasi seperti Flourish untuk menonjolkan anomali data ini. “Ingatlah bahwa sebagian besar narasi penipuan pemilu dimulai dari area lokal,” Lytvynenko menyatakan.
  • Penutupan pusat-pusat jajak pendapat partisan. Reporter peraih Pulitzer David Cay Johnston berkata bahwa tekanan terhadap pemilih dengan menargetkan pusat-pusat jajak pendapat yang ditargetkan semakin meningkat dalam demokrasi. Periksa database-database yang sama dengan Center for Public Integrity di Amerika Serikat, yang bisa menunjukkan penutupan tempat-tempat jajak pendapat yang ditargetkan di area-area pendukung oposisi.

“Ruang-ruang berita harus meminta audiens untuk menjadi mata dan telinga mereka dalam pemilu,” ujar Silverman. “Jadi, beritahu pembaca atau pemirsa Anda: ‘Jika Anda melihat atau mendengar upaya penipuan, atau campur tangan dalam pemilu, inilah cara Anda menghubungi kami.’ Lagi pula—itu adalah demokrasi mereka.”


Rowan Philp adalah reporter GIJN. Ia pernah bekerja untuk Sunday Times di Afrika Selatan. Sebagai koresponden luar negeri, ia meliput beragam topik seperti korupsi, politik, dan konflik di lebih dari dua lusin negara di berbagai belahan dunia.

Artikel ini pertama kali dipublikasikan di GIJN dengan judul “Revised Elections Guide for Investigative Reporters: Political Messaging and Disinformation“. Untuk menerbitkan ulang tulisan ini, kamu bisa menghubungi GIJN Indonesia melalui surel.

Bagaimana Memulai Investigasi Pemilu?

  “Kita akan tahu demokrasi akan hidup atau mati pada akhir 2024.” Komentar peraih Nobel Perdamaian Maria Ressa untuk Politico. Jurnalis investigasi asal Filipina tersebut

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.