Pemilu Myanmar Berjalan Tanpa Jutaan Suara Minoritas

The People’s Alliance for Credible Elections (PACE)—sebuah organisasi independen pemantau pemilu di Myanmar—menilai Pemilu 2020 Myanmar akan berlangsung kompetitif dan sensitif. Pasalnya, kontestasi kali ini tak hanya berlangsung antara dua partai besar, yakni Development Party (USDP) dan National League for Democracy (NLD). Pada Minggu, 8 November 2020, 5.651 kandidat dari 91 partai politik bakal memperebutkan 1.133 kursi legislatif, baik tingkat nasional, regional, maupun lokal. Partai kecil berbasis etnis tak ketinggalan berkoalisi memperebutkan suara.

Di tengah kondisi tersebut, Komisi Pemilihan Umum Myanmar (UEC) menerbitkan keputusan kontroversial tanpa meminta pertimbangan partai yang berkompetisi. UEC menunda pemilu di 15 kota kecil di Negara Bagian Rakhine dan Negara Bagian Syah, serta 41 wilayah bagian kota kecil lain dengan alasan keamanan. Keputusan ini mengakibatkan sekitar 1,2 juta pemilih tidak bisa menyalurkan suaranya.

Berikut petikan wawancara Jaring.id dengan Direktur PACE, Sai Ye Kyaw Swar Myint pada Kamis, 5 November 2020.

Apa yang berbeda dari Pemilu Myanmar 2020 dibandingkan dengan Pemilu 2015 lalu?

Pada 2015 kompetisi hanya terjadi antara the Union Solidarity and Development Party (USDP) dan National League for Democracy (NLD) (pemerintah saat ini). Sekarang berbeda, kami punya NLD dan partai oposisi tak hanya USDP. Ada banyak partai berbasis etnis. Sehingga Pemilu 2020 menjadi sangat “riuh” dan lebih sensitif.

Komunikasi dengan Komisi Pemilihan Umum Myanmar (UEC) saat ini cukup berbeda. Sebelumnya, penyelenggara pemilu cukup mendengarkan kelompok kepentingan pemilu secara berkala. Namun, saat ini, komunikasi dengan mereka jarang terjadi. UEC menutup pintu terhadap semua pihak. Ini membuat suasana pemilu lebih tegang. Di samping itu, Covid-19 juga mengubah banyak aturan umum pemilu, seperti kampanye. Masyarakat sipil tidak bisa melakukan pendidikan pemilih yang layak, sehingga Pemilu 2020 ini cukup menantang.

Anda mengatakan pemilu kali ini akan sangat sensitif. Mengapa?

Sekarang partai-partai kecil berpikir untuk memenangkan kursi. Mereka tidak bisa bersandar ke partai besar. Ini mengapa partai-partai kecil berbasis etnis bergabung menjadi satu dan merasa harus memenangkan kursi. Hasil pemilu kali ini sangat penting bagi setiap partai politik, sehingga akan sangat sensitif dan kompetitif.

Bagaimana kesiapan UEC sejauh ini? Apakah semua tertangani dengan baik atau ada hal yang perlu diperhatikan?

Menurut saya, banyak sekali kelemahan manajemen di pemilihan kali ini. Akan tetapi ada dua hal yang perlu kita pertimbangkan. Pertama, pandemi Covid-19 membuat penyelenggara kesulitan melatih petugas TPS. Kedua, tidak ada komunikasi yang baik antara UEC dengan partai politik dan masyarakat sipil. UEC tidak mengonsultasikan substansi aturan sebelum membuat keputusan penting seperti  perubahan aturan bagi pemantau pemilu dari dalam dan luar negeri, aturan kampanye, dan penundaan pemilu. Kurangnya proses konsultasi membuat situasi menjadi tegang. Padahal tranparansi dan inklusivitas adalah prinsip utama demokrasi agar tercipta kepercayaan dan integritas di proses pemilu.

Apakah hanya karena masalah komunikasi atau ada hal lain?

Pada dasarnya masalah komunikasi adalah yang paling besar. Jika kita melihat bagaimana mereka membuat sebuah keputusan, seandainya mereka menerima masukan partai politik dan masyarakat sipil, hal ini bisa mengubah situasi dan mempromosikan kepercayaan antara UEC dan partai politik. Itu sebabnya 26 partai politik tidak menandatangani kode etik kampanye, ada 6 partai politik yang tidak ingin berkampanye di televisi milik negara karena aturan penyensoran materi kampanye dari UEC.

Komisi pemilihan umum menunda Pemilu di 15 kota kecil dan 41 wilayah di bagian kota kecil lainnya. Apa penyebab UEC menunda pemilu di wilayah itu?

Ada dua macam penundaan pemilu. Untuk 15 kota kecil yang ditunda saat ini, yaitu 9 kota di Negara Bagian Rakhien dan 6 kota Negara Shan. Meskipun ditunda, masih ada kesempatan melangsungkan pemilu sepanjang lima tahun ke depan. Akan tetapi ada kota yang menunda pemilu hanya di beberapa desa. Untuk desa-desa yang ditunda pemilihannya, mereka tidak akan bisa memilih lagi selama lima tahun ke depan.

Alasan resmi UEC menunda pemilihan karena situasi tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pemilu yang bebas dan adil karena masalah keamanan. Di Rakhine masih berlangsung konflik bersenjata yang mempengaruhi area itu. Itu sudah berlangsung lama dan beberapa tahun ini situasi konfliknya meningkat. Namun, ketika UEC membuat keputusan ini, mereka tidak melibatkan partai politik di wilayah itu. Itu yang membuat banyak pihak tidak puas dengan keputusan UEC.

Apa dampak keputusan ini untuk proses transisi demokrasi di Myanmar?

Cara komisi pemilihan umum membuat keputusan ini menimbulkan kecurigaan di antara partai politik. Hal itu mempertaruhkan kredibilitas penyelenggaran pemilu. Kedua, ditundanya pemilu di 9 kota di Rakhine berarti setengah dari populasi di sana tidak bisa memilih pada 8 November mendatang. Kami tidak tahu kapan pemilihan akan dilangsungkan kembali di sana. Ini berarti, hak pilih mereka telah dicabut.

Sebagaimana yang saya sampaikan, di Rakhine ada konflik bersenjata. Partai politik dan masyarakat sipil sesungguhnya mendorong agar dilangsungkan pemilu di wilayah ini karena ketika pemilu diselenggarakan, ada potensi penyelesaikan konflik dengan damai. Namun sekarang, mencabut pemilu di Rakhine akan memberikan dampak besar terhadap transisi demokrasi kami. Selain itu, keputusan penundaan akan berdampak besar pada dinamika politik di tingkat bawah dan seluruh wilayah negara. Sebab sama saja dengan mencabut hak pilih 1,2 juta pemilih.

Berapa persentase pemilih yang dicabut hak pilihnya dibandingkan dengan jumlah seluruh pemilih Myanmar?

Sekitar 1-2 persen dari total pemilih.

Human Right Watch menilai proses Pemilu Myanmar dirusak secara sistematis. Bagaimana pendapat Anda terhadap pernyataan ini?

Orang-orang bisa melihat banyak hal untuk mendefenisikan apakah sebuah pemilu bebas dan adil. Selain menyematkan pemilu yang “bebas dan adi” kami coba mengukur seberapa transparan, seberapa inklusif, seberapa akuntabel pemilu itu. Bagaimana kepercayaan terhadap komisi pemilihan dan partai politik? Namun, tentu dalam kaitannya dengan prinsip demokrasi, ada banyak kekurangan melihat bagaimana pemilihan kali ini dirancang. Akan tetapi, bukan berarti kita boleh mencabut pemilu dari proses perpolitikan kami.

Terkait pandemi, sejak Agustus angka positif di Myanmar terus melonjak hingga hari ini?

Iya betul, ini cukup membuat saya kuatir. Pengalaman pribadi saya ketika pemilihan pendahuluan, mereka (UEC) tidak mengorganisirnya dengan baik. Beberapa komisi pemilihan tingkat bawah cukup ketat dengan protokol kesehatan, tetapi sebagian lagi tidak. Saya khawatir setelah pemilu angka infeksi akan meningkat tajam.

Sejauh ini, apakah sudah ada klaster Covid-19 yang berhubungan dengan pemilu?

Sejauh ini belum ada. Hanya saja ada petugas keamanan tambahan yang dilatih khusus mengamankan pemilu terinfeksi positif, serta beberapa anggota komisi pemilihan tingkat bawah.

Bagaimana situasi pandemi akan mempengaruhi partisipasi pemilih?

Jika kita bisa menjamin keselamatan pemilih, pemilih akan keluar untuk memilih. Ini yang harus dipastikan dengan persiapan matang seperti instruksi yang jelas. Kalau tidak, saya khawatir partisipasi akan menurun di pemilu kali ini. Menurut survei yang kami lakukan pada awal Agustus ketika angka Covid-19 tidak setinggi sekarang, hanya 45 persen dari responden yang akan menggunakan hak pilihnya. Ini menjadi salah satu hal yang kami kuatirkan.

Bagaimana komunikasi protokol kesehatan dilakukan penyelenggara pemilu?

Pandemi sudah berlangsung berbulan-bulan dan masyarakat tentu sudah tahu hal dasar seperti menggunakan masker dan jaga jarak. Namun, pertanyaannya adalah ketika orang-orang antusias untuk memilih, kemudian terjadi antrean panjang, apakah petugas pemilihan bisa menegakkan aturan pencegahan penularan covid-19?

Ketika kita melihat aktivitas kampanye sepanjang dua bulan ini, orang-orang tetap berkumpul melebihi jumlah maksimum 50 orang yang ditetapkan Kementerian Kesehatan. Bagaimana petugas pemungutan suara akan memaksa protokol pencegahan penularan covid-19 di TPS? Saya sangat kuatir.

TPS menyediakan peralatan pencegahan penularan Covid-19?

Iya, mereka menyediakan seperti masker dan penyanitasi tangan. Tapi maksud saya adalah ukuran TPS kami cukup besar dengan jumlah pemilih minimal 300 dan maksimal 1500. Mereka pencoba memitigasi dengan beragam cara, tetapi kenyataannya itu sangat sulit karena petugas pemilihan harus memastikan banyak hal. Bagaimana mereka akan memperhatikan jaga jarak, di saat yang sama mereka harus memperhatikan pemberian suara?

Terkait dengan survei yang Anda lakukan, apakah pemilih cukup antusias memilih di pemilu kali ini?

Berdasarkan survei kami di awal Agustus, kami hanya mendapati 45 persen responden pasti akan memilih. Sekitar 35 persen tertarik, tetapi belum yakin apakah mereka akan memilih atau tidak. Sisanya memutuskan tidak memilih. Kami juga kuatir dengan Covid-19 sehingga sangat sulit memprediksi tingkat partisipasi.

Saran Anda apa agar pemilu Myanmar berjalan bebas dan adil?

Untuk jangka panjang, kami perlu mengubah banyak aturan karena aturan lama sudah tidak relevan. Itu perlu diubah setelah pemilu ini. Namun, untuk kali ini ada banyak kesalahan dan kecacatan dalam hal manajemen pemilu. Kami harus memastikan pemilu berjalan karena tinggal menghitung hari. Jika komisi pemilihan bisa menangani pemilu dengan baik, maka hal itu bisa mempromosikan kepercayaan terhadap pemilu.

Komisi pemilihan harus terus-menerus melatih petugas pemilihan sehingga mereka memahami seluruh proses dan bisa melangsungkannya dengan baik. Mereka juga harus bisa menjamin keselamatan pemilih. Komisi pemilihan harus membuat transparan setiap proses bagi partai politik, penghitungan, bagaimana mereka memutuskan suara sah dan tidak sah di hari pemungutan suara. Saya pikir saat ini manajemen proses pemilu sangat penting. Apabila komisi pemilihan mengaturnya dengan baik, semua partai politik percaya dengan proses pemilu ini.

Bagaimana dengan pemilih?

Mereka harus menggunakan hak pilihnya karena ini penting untuk proses demokrasi. Mereka juga harus memastikan aman ketika pergi ke TPS.

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.