Mahkamah Konstitusi (MK) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) punya indikator berbeda dalam menangani pelanggaran yang terjadi pada prapemilu, seperti politik uang, penyalahgunaan wewenang, pemanfaatan fasilitas negara, netralitas aparatur sipil negara (ASN) dan penggunaan dana bantuan sosial. MK mengacu pada seberapa besar praktik tersebut mampu memengaruhi pilihan pemilih dan memengaruhi hasil rekapitulasi suara. Sementara Bawaslu menganggap bahwa dalam pembuktian politik uang misalnya, cukup dilakukan sampai pada upaya memberikan maupun menjanjikan uang.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kahfi Adlan mengatakan perbedaan penanganan tersebut harusnya tidak terjadi selama MK memegang prinsip pemilu atau pilkada yang digelar secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luber jurdil). “MK harusnya tidak hanya melihat angka, tetapi bagaimana angka tersebut diperoleh,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk ‘Refleksi Perselisihan Hasil Pilkada 2020’, Selasa, 6 April 2021.
Dari 30 permohonan yang lanjut dalam proses pemeriksaan, MK sedikitnya menolak 10 permohonan dan mengabulkan 17 perkara. Sementara 3 permohonan lainnya masih dilakukan pemeriksaan, salah satunya polemik pemilihan kepala daerah Kabupaten Sabu Raijua. Puluhan perkara yang masuk persidangan MK tersebut merupakan hasil perasan terhadap seratusan kasus. Kata Kahfi, sebanyak 72 permohonan dianggap tidak memenuhi ambang batas, sementara 13 berkas melampaui tenggat waktu. Adapun permohonan yang ditarik kembali sebanyak 6 berkas. Dari pertimbangan penolakan sengketa pilkada ini, Perludem menemukan bahwa MK kerap menuntut hal yang sulit untuk dibuktikan pemohon.
“Kalau politik uang yang sulit dibuktikan oleh pemohon adalah pengaruh pada perolehan suaranya. Mahkamah sering kali melihat di dalam satu tempat pemungutan suara yang ada pelanggaran tersebut, ternyata di sana malah pemohon yang menang. Jadi, itu sudah menegasikan dalil permohonan terutama pelanggaran di prapemilihan, khususnya soal politik uang,” ujar Kahfi.
Diskusi yang diselenggarakan Perludem ini juga dihadiri anggota Bawaslu Divisi Penindakan, Ratna Dewi Pettalolo; Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso; serta peneliti Perludem lain, yakni Fadli Ramadhanil.
Salah satu perkara yang disoroti Perludem ialah kasus Pilkada di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Dalam putusanya MK menyebut bahwa terdapat batasan yang rigid terhadap dalil di luar hasil penghitungan suara. Batasan itu adalah tidak hanya soal pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis dan massif (TSM), tetapi juga pengaruh terhadap perolehan suara masing-masing pasangan calon. Artinya, menurut Fadli, pemohon perlu menyorongkan bukti bahwa praktik politik uang baik yang dilakukan pasangan calon maupun tim suksesnya mampu memengaruhi pilihan pemilih dan mendongkrak perolehan suara saat rekapitulasi. “Ini tidak mungkin. Sebab di situasi yang lain kita berhadapan pada asas kerahasian dari pemilih,” ujar Fadli.
Sementara kasus politik uang yang terjadi di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT) ditolak lantaran MK melandasi pertimbangannya dengan keputusan badan pengawas di daerah. Bawaslu Kab.Belu menyebut bahwa tidak menemukan unsur pidana dalam pembagian sembako yang dilakukan sebuah yayasan. Dan yang sukar dipercaya, menurut Perludem, MK menggunakan klaim pihak terkait untuk memutuskan perkara dugaan politik uang tersebut. “Jadi pemohon mendalilkan sebuah Yayasan yang membagikan sembako punya afiliasi untuk memenangkan pihak terkait dan MK sepertinya teryakinkan atas bantahan tersebut,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, Perludem menyarankan agar MK berhenti untuk menuntut pembuktian yang terlalu jauh. Dalam beberapa kasus, menurut Fadli, pembuktian politik uang cukup menyasar pada uang yang diberikan kepada pemilih dengan tujuan tertentu. “Paradigma penegakan hukum politik uang harusnya lebih berani untuk kemudian menindak terhadap pelaku pemberian uang kepada pemilih. Pendekatan MK ke depan perlu agak lebih progresif karena kalau ingin memastikan uang itu diberikan dan kemudian pemilih terpengaruh terhadap pemberian uang itu, kan, tidak mungkin” tambahnya.
Sulitnya membuktikan politik uang dirasakan betul oleh anggota Bawaslu Divisi Penindakan, Ratna Dewi Pettalolo. Apalagi harus memenuhi unsur terstruktur, sistematis maupun massif. Kata Dewi, unsur masif paling sulit dibuktikan karena paling tidak harus terjadi separuh dari jumlah daerah yang menjadi lokasi pemilihan. Karena itu, menurut dia, pemenuhan unsur TSM perlu ditinjau kembali. ”Padahal, jika tidak memenuhi syarat 50 persen, kalau sudah terjadi politik uang, ya, itu adalah sebuah kejahatan. Ini yang menjadi masalah pada proses pemeriksaan, sehingga ke depan memang perlu diatur bahwa unsur ini tidak bisa dinilai kumulatif, tetapi salah satu unsurnya saja terpenuhi, maka itu bisa diproses untuk kemudian diberi sanksi didiskualifikasi,” ucap Dewi.
Dari beberapa temuan atau laporan yang diproses di Bawaslu tidak ada yang mengarah pada paslon. Pasalnya undang-undang tidak mengatur tentang penyertaan dalam perbuatan politik uang. ”Terlepas dari paslon, sehingga banyak yang diproses dalam penanganan pelanggaran terkait politik uang justru tidak terkait langsung dengan paslon tetapi masyarakat biasa sampai pada putusan pengadilan inkrah. Ini memang yang jadi kelemahan,” kata Dewi sembari berharap adanya perubahan undang-undang.
Selama ini, tambah Dewi, Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) melakukan pendekatan terhadap perbuatan formil, bukan lagi perbuatan materilnya. Artinya peristiwa pemberian uang atau menjanjikan uang sudah dapat memenuhi unsur pidana yang diatur dalam undang-undang pemilihan. “Ada percobaan melakukan politik uang, maka sampai ada keputusan inkrah,” ujarnya.
Sementara itu, Topo Santoso mewanti-wanti pengusutan dugaan politik uang dalam ranah pidana. Menurutnya, bukti-bukti kuat (beyond a reasonable doubt) yang dapat meyakinkan adanya tindak pidana tidak bisa dikesampingkan. “Dan itu tidak harus terkait dengan hasil pemilihan pemilu,” ujar Topo.
Sedangkan politik uang sebagai pelanggaran administratif berakibat pada pendiskualifikasian kandidat dari pencalonan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan laporan Bawaslu. ”Di sini agak unik karena dia sebagai suatu pelanggaran administratif berarti tingkat pembuktiannya sebetulnya lebih rendah daripada sebagai tindak pidana. Dan juga menurut hemat saya, tidak harus memengaruhi hasil pemilu, karena yang paling penting adalah orang yang diajukan sebagai pelaku pelanggaran administratif itu telah melakukan pelanggaran administratif. Sehingga, kalau ukurannya TSM dalam perselisihan hasil pemilihan di MK, itu agak berat,” tuturnya.