Panggung Kekerasan Penolakan Omnibus Law

Sepatu laras panjang polisi mendarat persis pada tubuh Juansyah, bukan nama sebenarnya, yang saat itu tengah berada di posko medis penolak Undang-Undang Cipta Kerja pada Kamis, 7 Oktober 2020. Lebam pada bagian pinggang menjadi bukti kekerasan polisi yang terjadi tak lama setelah aksi penyampaian pendapat di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Samarinda, Kalimantan Timur memanas. Polisi bertameng, bersenjata tongkat menghalau para demonstran dengan keras. Selain ditendang, Juansyah berulangkali dipukul. Kakinya mengejang lantaran dipaksa jalan berjongkok saat digelandang polisi menuju gedung dewan.

“Berdiri sedikit, ditendang,” kata Juansyah menceritakan kekerasan aparat kepolisian kepada Jaring.id, melalui sambungan telepon, Sabtu, 10 Oktober 2020.

Saat digelandang ke Kepolisian Resor Samarinda pun Juansyah harus menerima diperlakukan seperti tahanan.

“Kami dibawa dengan tangan dipiting,” ujarnya.

Demo menolak omnibus law setidaknya terjadi di 18 provinsi. Di Yogyakarta, polisi menundukkan perlawanan pendemo dengan praktik serupa. Salah seorang pendemo, Natasya bahkan merasa dilecehkan polisi.

“Mendorong pada bagian payudaraku persis,” ungkap Natasya kepada Jaring.id, Jumat, 9 Oktober 2020.

Dalam kondisi telungkup, paha Natasya malah dipentung sembari melontarkan kalimat yang merendahkan perempuan.

“Kami ini aparat. Kamu itu perempuan macam apa?” ujar salah satu anggota polisi seperti yang ditirukan Natasya.

Kekerasan ini, menurut Natasya, bermula ketika ia merekam video demonstran yang dipaksa menggelinding dalam kondisi setengah telanjang oleh polisi di Jalan Malioboro. Tak terima dengan perekaman, sejumlah polisi mengepung sembari meminta Natasya menyerahkan telepon genggam.

“Saya merekam sampai 3 detik, lalu mereka minta telepon saya,” kata Natasya.

***

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta menerima 50 aduan pascaaksi demonstrasi penolakan omnibus law. Menurut Koordinator Advokasi LBH Yogyakarta, Julian Dwi Prasetia, puluhan aduan itu terdiri dari laporan orang hilang, penyitaan barang, kekerasan fisik, hingga dugaan pelecehan seksual.

“Paling banyak aduan orang dari orang tua,” kata Julian kepada Jaring.id, Sabtu, 10 Oktober 2020.

Sementara di DKI Jakarta, praktik pengendalian massa oleh polisi dianggap tak wajar. Alviani Salsabilah yang bertugas sebagai paramedis jalanan meyaksikan bagaimana agresifitas polisi menghadapi massa aksi yang berkumpul di Jalan Harmoni. Baru satu jam menyampaikan orasi, demonstran langsung dihujani gas air mata. Menurut Alvi, dalam satu detik setidaknya ada 10 tabung gas yang terlontar ke barisan demonstran.

Akibatnya, ratusan orang tunggang-langgang menghindari kepulan asap yang memerihkan mata tersebut. Salah satu tempat yang didatangi pendemo ialah posko medis yang lokasinya tak jauh dari Kedutaan Besar Amerika, Gambir, Jakarta Pusat. Menurut Alvian, para demonstran mengalami luka bocor, sakit dada karena dipukul, hingga pingsan. Tak sedikit dari mereka yang dibawa ke klinik maupun rumah sakit.

“Kebanyakan sesak napas dan pingsan karena enggak kuat hirup gas air mata,” kata Alvian kepada Jaring.id, Jum’at, 9 Oktober 2020.

Kondisi tersebut bertambah parah ketika polisi memilih untuk memburu para demonstran. Sebagian dari mereka yang dievakuasi ke Gedung Joang 45 bahkan tak bisa keluar lantaran dikepung aparat.

“Ditembaki terus sampai tidak bisa keluar. Terjebak sampai jam 12 malam,” terang Alvian.

***

Tim Advokasi untuk demokrasi yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Jakarta, LBH Makassar, LBH Pers, LBH Muhamadiyah, LBH Ansor, AMAR Law Firm, KASBI, KPBI, WALHI, JATAM, Imparsial, ICJR, ELSAM, Paralegal Jalanan dan Pilnet menerima 442 aduan terkait demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja hingga Jumat 9 Oktober 2020.

Laporan tersebut didominasi kasus pencarian orang hilang. Dari ratusan aduan, menurut anggota tim advokasi, Muhammad Afif, baru sedikit yang diketahui keberadaanya.

“Kita tidak tahu ada di mana kepastiannya (korban-red),” kata Muhammad Afif kepada Jaring.id melalui telepon, Sabtu, 10 Oktober 2020.

Kepada Jaring.id, Afif mengaku mendapat pelbagai hambatan untuk memberi pendampingan hukum. Salah satunya adalah akses yang diberikan polisi kepada pengacara publik. Menurutnya, pembatasan jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip fair trial yang diatur dalam Konstitusi, KUHAP, serta Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik.

Di samping itu, kepolisian dianggap melanggar Peraturan Kapolri Nomor 9 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian RI. Pasal 27 (2) huruf o menerangkan bahwa petugas dilarang menghalangi-halangi penasehat hukum untuk memberikan bantuan hukum kepada saksi/tersangka yang diperiksa.

“Beri akses bagi pendamping hukum agar dapat mendampingi massa aksi yang menjalani pemeriksaan lanjutan dan memastikan hak-hak mereka terpenuhi,” pungkasnya.

Direktur YLBHI, Asfinawati menilai tindakan kepolisian dalam mengamankan jalannya aksi demo menolak omnibus law lebih agresif dibanding aksi reformasi dikorupsi pada September 2019. Hal itu ditunjukan dari proses pembubaran yang lebih dini, hari serta banyaknya penyekatan gelombang massa di pinggiran Jakarta.

Menurut Asfi, brutalitas polisi di lapangan terdorong Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020. Dalam telegram itu, Kapolri Idham Aziz antara lain memerintahkan jajarannya untuk mendeteksi rencana demonstrasi dan mogok nasional dari elemen buruh dan masyarakat; melakukan patroli siber pada media sosial dan manajemen media untuk bangun opini publik; serta tidak memberikan izin kepada pengunjuk rasa untuk berdemonstrasi maupun keramaian lainnya. Perintah Kapolri tersebut dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

“Polri bertanggung jawab memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum,” ujarnya.

Dalam keterangan tertulis pada 10 Oktober 2020, kepolisian menyatakan telah menangkap 5.918 pendemo di pelbagai daerah. Dari angka tersebut, menurut Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Pol Argo Yuwono, hanya 240 orang yang diduga melanggar pidana, sehingga masuk tahap penyidikan. Sementara 153 orang lainnya masih dilakukan proses pemeriksaan.

“Baru 87 orang sudah dipidana,” katanya.

Sementara terkait dengan kekerasan yang dilakukan petugas, Mabes Polri mengklaim sudah melaksanakan operasi pengamanan sesuai dengan standar (SOP).

“Silahkan dilaporkan ke SPKT (kalau ada kekerasan), tentunya nanti akan ditindaklanjuti,” kata Karo Penmas Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Brigjen Pol Awi Setiyono.

***

Aksi unjukrasa di berbagai daerah dipicu oleh pengesahan rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang merangkum 79 UU. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengklaim UU tersebut menjadi obat mujarab akselerasi ekonomi. Oleh sebab itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD menyayangkan aksi demonstrasi di 27 provinsi. Menurutnya, aksi tersebut dipicu kabar bohong terkait UU Cipta Kerja.

“Misalnya pesangon tidak ada, itu tidak benar, pesangon ada. Dibilang tidak ada cuti haid, cuti hamil dan sebagainya. Di sini (UU Cipta Kerja) ada,” kata Mahfud dalam konferensi pers di kantor Kemenkumham, Kamis, 8 Oktober 2020.

Senada, Presiden Joko Widodo menyebut Undang-Undang Cipta Kerja yang beredar di media sosial tak sama dengan yang disahkan DPR. Presiden membantah akan menyamaratakan upah minimum regional (UMP) dan upah perjam. Presiden pun menegaskan bahwa UU Cipta Kerja masih memuat hak cuti haid, melahirkan, kematian, baptis, hingga kompensasi.

“Tidak ada perubahan dengan sistem yang sekarang,” ujar Presiden Jokowi dalam pernyataannya yang disiarkan dalam YouTube Sekretariat Presiden, Jumat 9 Oktober 2020.

Direktur YLBHI, Asfinawati menilai regulasi yang disepakati oleh DPR dan pemerintah 5 Oktober lalu cacat prosedur dan hukum, sehingga tidak layak dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Terlebih hingga saat ini belum ada kejelasan ihwal rancangan yang telah diteken. Di tengah publik muncul pelbagai naskah aturan yang merujuk pada UU Cipta Kerja. Jumlah halamannya pun berbeda-beda.

“Mereka mau menang sendiri dan ini kian mempertontokan kekuasaan,” kata Asfin.

Sementara itu, Koordinator Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Jumisih menyatakan bahwa UU Omnibus Law setebal 1000 lebih halaman tersebut mesti dicermati dengan teliti. Ia menilai klaster ketenagakerjaan yang terkandung dalam UU Cipta Kerja lebih menyengsarakan ketimbang UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Kalau tidak baca serius maka tidak menemukan pasal tricky, maka dari itu harus jeli,” ujar Jumisih saat dihubungi Jaring.id, Jum’at, 9 Oktober 2020.

Adapun sejumlah pasal yang disoroti pekerja antara lain terkait pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan, lalu adanya perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau kontrak seumur hidup, munculnya kebijakan pekerja alih daya (outsourcing) tanpa pembatasan jenis pekerjaan, waktu kerja dan hilangnya jaminan pensangon

“Ini jelas mengurangi hak buruh termasuk berserikat. Hoaks itu siapa sebenarnya? Harusnya pemerintah sendiri mau mengakui bahwa dia mengurangi kesejahteraan buruh,” tuntut Jumisih.

Jumisih menuding pernyataan pemerintah hanya untuk meredam gerakan penolakan terhadap Omnibus law. Kendati demikian, gerakan buruk tidak akan padam.

“Jangan bersembunyi di balik narasi yang seolah UU Ciptaker baik,” katanya.

Jumisih menyebut penolakan masih akan berlanjut sampai presiden membuat membatalkan regulasi tersebut.

”Saya berharap presiden mengeluarkan perppu untuk pembatalan omnibus law,” ujarnya.

Derita Ganda Perempuan dengan Kusta   

Bercak putih kemerahan sebesar uang koin Rp500 di kedua pipi menjadi awal perubahan dari kehidupan Sri. Sebelas tahun lalu usianya baru 21 tahun. Mula-mula, bercak

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.