Pandemi Covid-19 memperburuk kualitas demokrasi di sejumlah negara Asia Pasifik. Utamanya terjadi di negara yang sudah menunjukkan gejala penurunan kualitas demokrasi sebelum pandemi, seperti Filipina dan Malaysia. Hal ini, menurut Direktur Program Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) Regional Asia Pasifik, Leena Rikkila Tamang merupakan imbas dari penurunan hak dasar, pengawasan pemerintah, pengadilan independen, integritas media, efektivitas parlemen, dan meningkatnya indeks korupsi.
“Penurunan bisa dilihat dengan semakin dalamnya kesenjangan demokrasi dan menguatnya rezim otoriter,” kata Leena dalam webinar bertajuk Demokrasi dalam Pandemi: Perspektif dari Asia-pasifik yang diselenggarakan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada Jumat, 6 Agustus 2021.
Dalam hal ini IDEA membagi kualitas demokrasi di kawasan Asia Pasifik ke dalam tiga kategori, yakni negara berdemokrasi tinggi, menengah dan lemah. Berdasarkan Indeks Global Demokrasi 2020, jumlah negara demokrasi menengah turun menjadi 45 persen. Dalam kelompok ini, negara yang mengalami penurunan kualitas paling signifikan adalah Indonesia, Filipina dan Sri Lanka. Sementara negara dengan kualitas demokrasi lemah persentasenya bertambah menjadi 45 persen dengan masuknya Malaysia, Myanmar dan Papua New Guinea. Persentase negara dengan kualitas demokrasi lemah, lebih tinggi dibanding negara dengan kualitas demokrasi tinggi yang jumlahnya hanya berkisar 10 persen.
Menurut Leena, penurunan kualitas demokrasi Indonesia terjadi hanya dalam waktu singkat pada 2020. Padahal sepanjang 2015 – 2019 posisi Indonesia masih berada di level menengah. Tapi sejak tahun lalu, kualitas demokrasi Indonesia merosot seiring partisipasi politik dan representasi pemerintahan, penanganan korupsi, hak sosial dan kebebasan beragama yang mengalami kemunduran.
Professor Associate Australian National University (ANU), Marcus Mietzner menilai pemerintah Indonesia cenderung memanfaatkan pandemi untuk menghindari prosedur demokrasi dalam mengambil kebijakan, seperti partisipasi publik. Hal ini terlihat dari upaya pemerintah mendorong lahirnya Undang-Undang 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau dikenal dengan Omnibus Law di tengah pembatasan publik untuk berkumpul dan berdemonstrasi. Padahal UU tersebut mendapat banyak penolakan dari buruh, masyarakat sipil, aktivis lingkungan dan mahasiswa. “Apa yang dilakukan pemerintah memaksa aturan yang problematis dengan prosedur demokrasi yang bermasalah. Tidak ada dialog, hanya ada retorika publik menggunakan kekuatan pandemi untuk mencapai kepentingan pemerintah,” katanya.
Selain itu, Marcus juga menyoroti proses hukum terhadap Rizieq Shihab. Bekas pimpinan Front Pembela Islam (FPI) ini sebelumnya divonis 4 tahun penjara karena telah menyebarkan berita bohong tentang hasil tes usap di Rumah Sakit Ummi Bogor. Rizieq juga pernah dianggap melanggar protokol kesehatan Covid-19. Padahal di saat bersamaan, menurutnya, sejumlah pejabat juga melanggar protokol kesehatan yang sama tapi tidak mendapat sanksi. “Kenyataannya meski Habib tidak demokratis, tetapi jelas pemerintah menggunakan pandemi untuk menyingkirkan lawan politik,” katanya.
Seluruh negara, menurut Markus, mengalami tekanan akibat pandemi. Namun sejumlah negara di Asia Tenggara tampak mengalami efek lebih buruk ketimbang negara lain. Kata dia, hal ini merupakan imbas dari lemahnya lembaga-lembaga demokrasi, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Di Indonesia, Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ika Ningtyas menyatakan tidak sedikit jurnalis yang mengalami teror, kekerasan fisik dan serangan siber, seperti doxing maupun peretasan. Sepanjang Maret – Juni 2021 terjadi 16 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis di Indonesia. Antara lain menimpa jurnalis Tempo, Nurhadi saat berupaya meminta klarifikasi mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Angin Prayitno Aji di Gedung Samudra Bumimoro, Krembangan, Surabaya pada Sabtu, 27 Maret 2021. Saat itu Nurhadi dipukul, dicekik dan alat kerjanya dirusak oleh sejumlah anggota polisi dan panitia acara. Kepolisian Jawa Timur sudah menetapkan dua bintara polisi sebagai tersangka. Sementara berkas perkaranya masih diproses di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
Pada 21 Agustus lalu, Tempo.co dan Tirto.id juga mengalami peretasan. Meski tidak berhasil, pelaku peretasan terhadap Tempo.co berusaha mematikan server dan mengubah tampilan website Tempo.co. Sementara penyusupan Tirto.id terjadi melalui peretasan terhadap akun email editor. Para peretas kemudian berhasil masuk ke sistem manajemen konten dan menghapus 7 artikel.
Menurut Ika, pers juga tengah menghadapi pelabelan berita hoax. Dalam pemberitaan tentang 63 pasien yang meninggal di RSUD DR Sardjito Yogyakarta akibat kehabisan tabung oksigen, misalnya, mendapat label hoax dari Kepolisian Indonesia. Sedangkan di berbagai wilayah seperti Purbalingga dan Jombang juga muncul propaganda agar tidak menyebarkan berita-berita tentang covid karena dianggap menurunkan imun masyarakat. “Ini membahayakan kebebasan berpendapat. Propaganda ini berbahaya karena menghalangi publik mendapat informasi yang benar untuk mengambil keputusan,” jelasnya.
Di tengah pukulan terhadap instrumen demokrasi seperti pers, pandemi Covid-19 juga berhasil memukul bisnis media massa. Hasil survei AJI pada 2020 menunjukkan adanya pemutusan hubungan kerja, penundaan dan pemotongan gaji. Dari 700 responden, jurnalis yang mengalami penundaan gaji berkisar 24,7 persen, pemotongan sebanyak 53,9 persen dan pekerja yang dipecat mencapai 5,9 persen.
Kondisi di Indonesia tersebut tak berbeda jauh dengan beberapa negara di Asia Pasifik. Pandemi telah memperkuat kuasa otoritas terhadap masyarakat, sehingga pemerintah kerap menggunakan pendekatan autokrasi. Namun beberapa negara juga dinilai sukses mengimplementasikan nilai demokrasi dalam penanganan pandemi. Seperti Jerman, Norwegia, Finlandia, Taiwan dan Korea Selatan. Di mana negara-negara tersebut dianggap telah memperhatikan kebutuhan masyarakat dan berdiskusi dengan ilmuwan serta komunitas dalam proses pengambilan keputusan.
Anggota Persatuan Nasional Jurnalis Filipina, Jonathan De Santos menceritakan bagaimana kondisi kebebasan pers di negaranya sepanjang pandemi Covid-19. Menurutnya, pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte mempekerjakan ratusan tenaga spesialis sosial media untuk mendistribusikan propaganda pemerintah. Di saat bersamaan sejumlah akun sosial media dihapus karena teridentifikasi sebagai inauthentic behaviour atau menyalahi ketentuan. Selain itu, kata dia, Departemen Teknologi dan Militer juga diduga melakukan serangan digital terhadap media alternatif. “Ketika disampaikan ke pemerintah, mereka membantah tetapi tidak melakukan investigasi mendalam,” katanya.
Selama pandemi, pemerintah Filipina juga menerbitkan Undang-Undang Bayanihan yang memberikan otoritas tambahan kepada Duterte untuk menangani pandemi Covid-19 dan stimulus ekonomi. Salah satu pasal di UU ini memuat sanksi bagi penyebar berita bohong. Menurut Jonathan, regulasi ini bermasalah karena dipakai untuk menyerang jurnalis yang mengkritik pemerintah. Selama pandemi, sudah tiga jurnalis yang menghadapi gugatan penyebaran berita bohong saat meliput penanganan pandemi dan pembagian bantuan. Dengan demikian, jumlah kasus yang menimpa jurnalis di Filipina sejak 2016 – 2021 sebanyak 223 kasus. “Sejak pandemi jumlah intimidasi ini meningkat signifikan,” katanya.
Sedangkan di Kamboja, anggota Aliansi Jurnalis Kamboja, Nop Vy menyebut Kementerian Informasi dan Kepolisian telah melarang jurnalis memberitakan perkara yang masih dalam proses hukum. Jurnalis yang melanggar imbauan tersebut bisa diseret ke pengadilan dan diancam penjara. Pembatasan ini, menurut Nop, memperburuk kebebasan media di Kamboja yang sudah bermasalah sejak lama. “Gejolak politik yang berlangsung sejak empat tahun lalu membuat banyak media independen ditutup, kekerasan fisik dan gugatan hukum dialami banyak jurnalis,” katanya.
Menurut Nop, jurnalis di Kamboja bisa berakhir di penjara selama 6 bulan hanya karena mengutip pernyataan perdana menteri terkait nasib pengemudi taksi daring selama pandemi Covid-19. Ada pula jurnalis yang ditangkap dan dideportasi karena mengkritik pembelian vaksin produksi China.
Meski kawasan Asia Pasifik mengalami penurunan kualitas demokrasi, Direktur Asian Network for Free and Fair Election, Chandanie Watawala menyebut bahwa beberapa negara Asia Pasifik cukup berhasil melangsungkan pemilihan umum. Dari 16 negara yang dijadwalkan melangsungkan pemilu sejak Januari 2020 hingga sekarang, hanya tiga negara yang masih menunda, yakni Hong Kong, India dan Pakistan. Dia berharap pemerintah di masing-masing negara yang akan menggelar pemilu berkomitmen untuk menambah anggaran mitigasi risiko, merevisi aturan agar dapat meningkatkan partisipasi pemilih, serta mengadakan prosedur kesehatan.
Hingga Juni 2022 mendatang akan ada 7 pemilihan di Asia, antara lain pemilihan legislatif Hong Kong (Desember 2021), referendum Taiwan (Desember 2021), pemilu Jepang (belum ada jadwal), pemilu Nepal (November-Desember 2021), pemilihan Presiden Filipina (9 Mei 2022), pemilihan Presiden Timor Leste (24 Maret 2022) dan pemilu Kamboja (Juni 2022).