Nelayan Protes Kaveling Laut Berbasis Kuota

Penangkapan ikan terukur (PIT) mulai berlaku secara bertahap sampai akhir tahun 2023. Tahun depan pemerintah memberlakukan aturan itu secara menyeluruh, meski ditentang nelayan, masyarakat adat, hingga pengusaha.


Jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi di tengah Laut Arafura, Rabu, 25 Oktober 2023. Sudah enam jam sedari pukul 1 dini hari Paulus Pitkaen melaut dari rumahnya di Siwalima, Maluku, tapi hasilnya nihil. Di dalam palka kapalnya saat itu cuma tergeletak 1 ekor kakap merah. Dan kondisi tersebut bertahan sampai beberapa jam kemudian. Karenanya menjelang siang ia memilih untuk memutar haluan menuju lokasi tangkap lain yang berjarak sekitar 10 mil. ”Semoga tidak ada kapal besar,” ia berharap.

Dengan air muka cemas, Paulus tiba di perairan yang dituju. Tapi dari kejauhan ia sudah bisa melihat deretan kapal besar yang sedang melepaskan jaring. Mayoritas dari mereka berkapasitas lebih dari 30 gross tonnage—lebih besar dari kapal yang dinahkodai. Karena merasa tak mampu bersaing, hari itu Paulus memilih pulang. ”Karena mereka jadinya ikan sudah habis,” kata Paulus saat ditemui di rumahnya sehari setelah melaut, Kamis, 26 Oktober 2023.

Minimnya hasil tangkap, menurut Paulus, terhitung sudah berlangsung selama delapan bulan. Hasil tangkap nelayan lokal Kepulauan Aru saat ini tak sampai 2 kilogram. Padahal, Laut Arafura, Dobo merupakan habitat kakap merah, cumi, dan tongkol. Pada tahun lalu, Paulus masih bisa menangkap lebih dari 20 kilogram dalam sekali melaut. ”Dulu sekali lempar pancing langsung dapat ikan. Saat ini sulit,” keluhnya.

Kondisi nelayan kecil bertambah sulit lantaran kapal berkapasitas 6-30 GT sudah mulai merangsek menangkap ikan di bawah 12 mil. Padahal wilayah perairan tersebut merupakan zona tangkap nelayan kecil seperti diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan.

Dalam peraturan itu disebutkan wilayah 0-12 mil merupakan jalur nelayan kapal berkapasitas 5 GT. Kapal industri skala besar, maupun aktivitas kapal penangkap ikan berkapasitas di atas 5-30 GT dilarang berada di wilayah tangkap tersebut. ”Bagaimana kapal di bawah 30  gabung dengan nelayan lokal. Tidak masuk akal. Harusnya dibatasi, kenyataanya tidak. Dibiarkan saja,” ujar Paulus.

Lebih buruk lagi, kapal-kapal tersebut kerap melakukan aktivitas bongkar-muat di tengah laut. Paulus menyaksikan sendiri bagaimana puluhan kapal berkapasitas 30-200 GT melakukan transhipment. Ketika proses itu terjadi, lautan tak ubahnya seperti pasar malam. ”Jadi ramai sekali,” kata Paulus.

Paulus menduga kapal itu akan berlabuh di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jakarta setelah menangkap ikan di Laut Arafura. ”Kapalnya ada 20 bongkar muat di situ. Kapasitas 100 GT ke atas. Itu bahaya kami nelayan kecil jadi apa ini? Semua ikan ditangkap,” ujar Paulus dengan nada agak meninggi.

***

Beberapa tahun tahun terakhir Indonesia menghadapi tantangan persoalan penangkapan ikan berlebih. Selama periode 2014-2019, pemerintah pernah menggulirkan rangkaian kebijakan untuk menekan masalah tersebut. Di antaranya lewat moratorium izin kapal buatan luar negeri, pelarangan alih muatan kapal di tengah laut (transshipment), serta larangan kapal ikan berukuran di atas 150 gros ton (GT) untuk melaut di zona ekonomi eksklusif, serta melarang modal asing dalam usaha kapal penangkapan ikan melalui daftar negatif investasi. Akan tetapi, kebijakan tersebut mulai dihapuskan sejak 2020, antara lain pencabutan moratorium dan larangan transshipment.

Pemerintah kemudian menyodorkan peraturan terkait penangkapan ikan terukur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023. Peraturan yang diundangkan pada 6 Maret 2023 lalu itu diklaim dapat memastikan kelestarian sumber daya ikan, memberikan kesejahteraan nelayan, menyediakan perluasan dan kesempatan kerja, meningkatkan nilai tambah dan daya saing hasil perikanan, kepastian berusaha, serta kontribusi bagi dunia usaha, juga negara.

Belied itu merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja. Upaya itu dilakukan untuk mempercepat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor kelautan dan perikanan. Kebijakan ini akan memperbolehkan penanaman modal asing, pelegalan transhipment dengan catatan harus satu perusahaan pemilik kapal yang sama, pendaratan di wilayah pelabuhan perikanan dekat fishing ground, dan dan penerapan kuota untuk kapal penangkap ikan.

Sebelumnya, regulasi penangkapan ikan tak mengatur kuota namun hanya melihat jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JBT). Hal itu diatur dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50/KEPMEN-KP/2017 Tahun 2017 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Beliednya menjelaskan pemerintah menilai potensi ikan di setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) kemudian mengatur tangkapan yang diperbolehkan. Setelah itu diberikan izin tangkap kepada setiap pelaku usaha dan nelayan di tiap WPP.

Meski begitu, nelayan tak mudah percaya. Nelayan di sejumlah daerah bahkan memprotes peraturan itu. Mulai dari nelayan di Pantai Utara Jawa (Pantura), Jakarta, Bali, Sumatera, Kepulauan Aru, hingga Papua. Mereka menilai PIT tak ramah terhadap nelayan kecil.

Pada 16 Maret 2023, masyarakat Adat Aru pun berunjuk rasa memprotes aturan PIT. Salah satu koordinator aksi bernama Jon mengungkapkan bahwa PIT akan mendorong industrialisasi perikanan di Laut Arafura. Akibatnya ikan di Kepulauan Aru akan lebih dieksploitasi. ”Nelayan Aru sudah sulit cari ikan. Bagaimana kalau PIT diterapkan?” katanya.

Penerapan PIT, kata Jon, berpotensi mengambil alih wilayah tangkap nelayan. ”Ini akan ganggu dan ambil alih langsung wilayah tangkap nelayan lokal. Fishing ground akan bersinggungan langsung dengan nelayan lokal, akibatnya sulit mencari ikan,” tegasnya.

Oleh sebab itu, Jon mendesak agar pemerintah segera mencabut PIT karena tak menguntungkan nelayan lokal. Kata dia, peraturan terkait PIT hanya menguntungkan pengusaha semata. ”Ini industri pengambilan besar-besaran. Yang untung adalah pengusaha perikanan,” ungkapnya.

***

Polemik terkait penangkapan ikan terukur sebetulnya sudah dimulai sejak dua tahun lalu. Saat PP Nomor 11 Tahun 2023 disahkan, pro-kontra terhadap belum juga surut. Ini karena pemerintah memerlukan waktu hingga tujuh bulan buat meramu penjelasan teknis dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur. Belied tersebut diteken Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono pada 1 September 2023.

Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa penangkapan ikan pada zona penangkapan ikan terukur ditetapkan pada setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan Nasional Republik Indonesia (WPPNRI) di perairan laut dan laut lepas. Hanya saja, pemerintah menyebut penangkapan ikan terukur berbasis kuota akan dilaksanakan bertahap sampai diterapkan sepenuhnya mulai awal tahun depan.

Kuota penangkapan ikan terbagi atas kuota industri, kuota nelayan lokal, dan kuota kegiatan bukan untuk tujuan komersial. Kuota industri diberikan untuk perseorangan dan badan usaha yang berbadan hukum. Kuota industri juga membuka peluang kuota penangkapan ikan bagi usaha penanaman modal asing. Sementara zona penangkapan ikan terukur bagi industri terhitung dari 12 mil, sedangkan kuota untuk nelayan lokal tak sampai 12 mil.  

Penetapan kuota penangkapan ikan dihitung berdasarkan ketersediaan sumber daya (stok) ikan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB), serta mempertimbangkan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan. Selain itu, distribusi kuota industri dan kuota nelayan lokal pada setiap pelabuhan pangkalan mempertimbangkan kapasitas pelabuhan pangkalan dan rencana pengembangan Pelabuhan Pangkalan.

Dalam hal penetapan kuota, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP akan melakukan penghitungan kuota penangkapan. Hal ini akan melibatkan kementerian lain, pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan para pakar. Setelah terhitung, dirjen terkait akan menyampaikan hasil itu kepada menteri KKP untuk ditetapkan.

Direktur Perizinan dan Kenelayanan Ditjen Perikanan Tangkap, Ukon Ahmad Furqon menegaskan bahwa aturan perikanan terukur bertujuan untuk mengendalikan eksploitasi ikan, sehingga sumber daya ikan dapat berkelanjutan. Aturan tersebut sedikitnya mempertimbangkan 6 prinsip, antara lain mengenai keberlanjutan ekologi, perlindungan maksimal terhadap nelayan kecil, pengembangan ekonomi lokal, pengaturan berdasarkan data saintifik, upaya reformasi tata kelola dari hulu ke hilir, penerapan sistem pemantauan, serta pembagian kuota.

“Kalau ditarik garis merahnya, ini aturan yang dapat betul-betul memastikan bahwa pengelolaan perikanan tangkap nasional bisa memberikan manfaat optimal bagi kita semua, sehingga penangkapan ikan semakin maju dan berkelanjutan. Para pihak pelaku usaha dan nelayan bisa semakin sejahtera dan penerimaan negara menjadi optimal,” kata Ukon dalam keterangan tertulis KKP yang diterima Jaring.id pada Selasa, 4 April 2023.

Enam bulan berselang, tepatnya Senin, 2 Oktober 2023, KKP merilis aturan baru. Menteri KKP, Wahyu Sakti Trenggono menerbitkan Surat Edaran Nomor B. 1569/MEN-KP/X/2023 tentang Tahapan Pelaksanaan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur. Sehari setelahnya KKP mengumpulkan pelaku usaha dan pemerintah daerah guna menyampaikan surat edaran tersebut. Pertemuan tersebut terdokumentasi dalam surat yang bersifat segera dengan Nomor B.5872/DJPT.5/TU.330/X/2023 pada 3 Oktober 2023.

Baskoro adalah salah satu pelaku usaha yang hadir dalam sosialisasi tersebut. Pengusaha asal Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah ini sampai harus menunggu dua jam untuk mendapatkan penjelasan dari KKP. Sebab acara sosialisasi yang sedianya digelar Pukul 09.00 WIB, baru berlangsung pada Pukul 11.00 WIB.

Sayangnya, kata dia, sosialisasi yang dilakukan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap dilakukan terburu-buru. Menurutnya, para pengusaha tak paham benar ihwal kebijakan yang ditetapkan KKP. ”Saat itu KKP menyediakan sampai 15 pembicara. Menurut kami terlalu banyak dan terlalu rumit untuk menerima penjelasan,” katanya saat ditemui di rumahnya, Jumat, 6 Oktober 2023.

Dari tujuh tahapan persiapan menjelang penerapan PIT secara penuh, Baskoro hanya ingat satu, yakni syarat penerapan sistem kuota berdasarkan hasil tangkap 2022. Sedangkan yang lain di antaranya mengenai permohonan dan layanan sertifikat kuota penangkapan ikan, serta perizinan berusaha subsektor penangkapan dan pengangkutan ikan untuk tahun 2024 dilaksanakan mulai 21 November sampai dengan 29 Desember 2023. Layanan perizinan terbagi atas perizinan dengan kewenangan pemerintah daerah dan pusat.

Di samping itu, seluruh kapal penangkapan dan pengangkutan ikan berbobot di atas 5 GT juga diwajibkan menginstal aplikasi Penangkapan Ikan Terukur Elektronik (e-PIT) paling lambat 1 Januari 2024. Ada pula layanan sertifikat kelaikan kapal yang perlu dipenuhi, dan mengaktifkan sistem pemantauan kapal perikanan (SPKP). Pelaku usaha juga dibiarkan untuk melakukan evaluasi secara mandiri. Setelah semua terpenuhi, maka pemerintah akan menerbitkan sertifikat kuota, termasuk berhak menarik penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Apabila diketahui belum membayar PNBP, maka kuota tangkap tidak dapat diberikan.

”Hal ini yang saya kejar. Jadi ketika kuota sudah ada, maka akan bayar. Ketika lebih kuota yang ditangkap, akan bayar lagi. Berarti bayar dua kali. Namun pertanyaan itu tak dijawab KKP,” Baskoro meradang.

Menurut Baskoro, pembayaran PNBP dari KKP awalnya menggunakan sistem prabayar pada awal 2022. Namun sistem tersebut dikeluhkan nelayan dan pengusaha karena tarif tersebut mesti dibayar sebelum beroleh ikan. ”Pelaku usaha saat itu memang ada keluh kesah. Belum melaut kok sudah bayar,” kata dia.

Hampir setahun berjalan, kebijakan itu kemudian diubah dengan sistem pascaproduksi yang mulai berlaku pada Desember 2022. Pengubahan ini, menurut Baskoro, membikin pelaku usaha dan nelayan mesti membayar dua kali agar dapat melaut. Bila tidak, pengusaha perikanan akan dianggap kurang bayar PNBP oleh pemerintah. ”Pemilik kapal jelas merasa terbebani,” keluhnya.

Dalam pendistribusian kuota juga dikhawatirkan bakal terjadi pergeseran pelabuhan pangkal. Dari informasi yang didengar Baskoro, setiap pelabuhan perikanan akan dibatasi tak lebih dari 200 kapal. ”Kalau nggak bisa melaut bagaimana tanggung jawab kesejahteraan anak buah kapal? Saya dapat kabar akan ada ambil alih kuota. Ini berpotensi adanya manipulasi kuota,” ujarnya.

Hingga saat ini, terdapat lebih dari 150 pelabuhan pangkalan perikanan yang memenuhi syarat penarikan PNBP pascaproduksi. Namun tidak semua pelabuhan perikanan berstatus sama. Pelabuhan perikanan terbagi atas pelabuhan perikanan samudera, pelabuhan perikanan nusantara, dan pelabuhan perikanan pantai, dengan kapasitas serta fasilitas yang berbeda-beda. ”Sebenarnya ini terlalu dipaksakan. Waktunya bisa dibilang pendek untuk kebijakan nasional. Pada 2022 akhir isu kuota keluar, lalu dipaksakan berjalan Januari 2023,” ia melanjutkan.

Sementara itu, lembaga nasional yang kerap menyoroti kegiatan penangkapan ikan tak ramah lingkungan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mencatat sejumlah masalah dari pengaturan PIT. Mulai dari tidak adanya partisipasi publik dalam perumusan kebijakan baru, infrastruktur di tiap pelabuhan yang direncanakan menjadi tempat penerapan PIT, hingga persoalan pemaksaan migrasi kapal di bawah 30 GT untuk menarik PNBP. “Kebijakan ini dibuat tanpa adanya partisipasi dan konsultasi publik KKP. Meski mereka adakan sosialisasi, tapi sosialisasinya saat aturan jadi. Semestinya aturan tidak dibuat sebelum ada konsultasi publik,” kata Manager Human Right DFW Indonesia Miftahul Choir kepada Jaring.id, Kamis, 9 November 2023.

Menurut Miftah, PIT sama sekali tidak berpihak kepada nelayan kecil. KKP hanya terlihat memberikan prioritas kepada nelayan industri. Sementara bila nelayan kecil dipaksakan untuk menangkap ikan di atas 12 mil laut sangat berbahaya. Terlebih saat ini, benturan antara nelayan kecil dan kapal penangkap ikan berbobot 30-200 GT masih terjadi di wilayah tangkap nelayan tradisional dan lokal.

“Pemerintah bisa saja mengklaim PIT untuk nelayan tradisional dan kesejahteraan nelayan, tapi sebenarnya siapa yang diuntungkan dari PIT ini? Nelayan lokal atau tradisional akan bersaing dengan kapal penangkap ikan yang ditujukan untuk zona industri. Sudah jelas industri diuntungkan bukan nelayan tradisional,” tegasnya.

Oleh sebab itu, ia mendesak pemerintah untuk lebih transparan dalam penerapan sistem kontrak kuota tangkap. Indikator keterukuran, ia menyarankan, perlu dibuat lebih jelas agar kuota ikan tidak hanya dimiliki oleh segelintir pengusaha. Hal ini terjadi di beberapa negara seperti Peru dan Islandia. ”Kalau pemerintah alokasikan kuota, bagaimana transparasinya? Ini bisa jadi rebutan jangan sampai muncul oligarki perikanan dalam kebijakan PIT,” kata Miftah.

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.