Umur Irma Minar sudah tidak lagi muda. Sudah 45 tahun. Namun semangatnya bergerak di isu sosial tak pernah lekang.
Menjadi Koordinator Serikat Perjuang Rakyat Indonesia (SPRI) Jakarta Timur, Irma melakoni aktivitas baru dalam tiga bulan terakhir. Ia mengabarkan bahaya hoaks ke kelompok miskin kota. Sosialisasi dilakukan di sela kegiatannya sebagai kader SPRI, yakni mendata warga tidak mampu sebagai calon penerima bantuan sosial.
Di tahun pandemi Covid-19, hoaks merajalela di penjuru kampung-kampung Jakarta. Mulai dari kabar bohong terkait vaksin, sampai tentang bantuan sosial. “Ada satu keluarga, ceritanya mereka warga tidak mampu. Waktu pandemi, ada pesan berantai soal bantuan sosial. Nah di pesan itu dia diminta menyerahkan data. Sudah menyerahkan data malah tidak dapat bantuan,” tutur Irma pada Jaring, Senin 25 Juli 2022.
Hoaks di komunitas akar rumput biasanya berwujud pesan berantai. Namun banyak juga yang berupa potongan berita dari laman media massa. Kebanyakan orang awam bakal sulit mengidentifikasinya. Membawa keluhan ke organisasi induknya, Irma justru disodori permasalahan serupa. Para sejawatnya di SPRI mengabarkan, hampir semua wilayah dampingan memunyai kisah yang tidak jauh berbeda.
Irma bercerita, dirinya pernah menelusuri pesan berantai yang diklaim dari Bank BRI. Waktu itu ekonomi sedang surut. Warga kampung tempat dia tinggal yang mayoritas adalah pekerja harian dan pedagang, sedang kesulitan uang. Meminjam ke bank tentu cara paling mudah dan praktis yang bisa dilakukan demi menyambung hidup sehari-hari. Pembagian dana bantuan sosial yang tersendat juga makin membulatkan tekad warga untuk mencoba-coba pinjaman agunan.
Baca juga: Dari Cerita Korban, Label Hoaks, Hingga Solidaritas Media
Tautan menyebar dari grup PKK satu ke grup PKK lain. Isinya kurang lebih informasi terkait kemudahan meminjam uang di BRI bagi pemilik Kartu Tanda Penduduk (KTP. “Saat itu, karena banyak yang butuh uang, ya jadi mereka pada tanya juga ke saya, sama saya langsung saja ke bank BRI terdekat, saya tanyain langsung itu soal link yang beredar,” tutur Irma.
Para perempuan pegiat SPRI sebenarnya belum lama mengenal dan mengetahui bagaimana cara mendeteksi hoaks. Mereka menjalani pelatihan yang digelar oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) pada Mei 2022 lalu. Selain dikenalkan dengan hoaks, mereka juga diberdayakan sebagai jurnalis warga.
Meski bisa dibilang masih hijau, semangat ibu-ibu SPRI melawan kabar bohong tidak bisa diragukan. Sejak Mei 2022 hingga Juli 2022, sudah ada enam hoaks yang berhasil digagalkan penyebarannya.
Kewenangan Terbatas
Pemilu tidak hanya melahirkan pemimpin baru. Pada kenyataannya ia juga menelurkan konflik dan ketegangan akibat praktik buruk politik identitas. Tak jarang konflik dan ketegangan ini menelan korban. Perpecahan antar teman, bahkan sanak saudara tak terhindarkan. Begitulah imbas buruk polarisasi politik identitas menjelang Pemilu 2019 lalu.
Di tahun-tahun politik, banyak sekali disinformasi beredar di tengah masyarakat. Berdasarkan catatan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), sepanjang Agustus 2018 hingga September 2019, terdapat 3.356 buah hoaks yang beredar di jejaring internet. Jumlah terbanyak terjadi dalam kurun Maret-Mei 2019, yakni 1.356 buah hoaks. Mayoritas kabar bohong terkait dengan isu agama dan politik.
Di bulan-bulan Pilkada Jakarta 2018 silam, keriuhan tak hanya melibatkan aktor-aktor politik. Justru masyarakat kebanyakan yang paling parah terdampak. Isu agama membuat kelompok minoritas berada di posisi rentan.
Hoaks tak hanya tersebar melalui media sosial. Beberapa laman yang mengaku sebagai portal berita juga turut andil dalam produksi kabar bohong.
Baca juga: Jurnalis Warga Terancam Label Hoaks
Setelah tahun politik usai, tren penyebaran hoaks tidak lantas berhenti. Dalam catatan Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo), terjadi peningkatan signifikan jumlah hoaks sepanjang 2018-2020. Dari 900 hoaks pada 2018, Mafindo menemukan 1.200 hoaks di tahun berikutnya. “Kita pikir itu angka yang paling tinggi, tapi ternyata di 2020 jumlah hoaks yang tersebar meningkat drastis jadi 2.300. Mayoritas tentang Covid-19 dan vaksin,” kata Koordinator Program Mafindo Dedy Helsyanto.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat kabar bohong (hoaks) politik mendominasi dengan jumlah 549 temuan dari 1.610 temuan hoaks selama periode Agustus 2018-23 April 2019. Maret 2019 menjadi puncak tertinggi peredaran hoaks, yakni mencapai 453 isu hoaks.
Meski begitu, sistem hukum di negeri ini belum dapat mencegah peredaran hoaks. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, misalnya, tidak bisa berbuat banyak untuk menyikapi pelanggaran-pelanggaran, termasuk kabar bohong yang beredar luas, di luar masa pemilu. “Belum ada instrumen yang mengatur terkait itu,” tutur Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, Hasyim Asy’ari kepada Jaring.id, Senin 6 Juni 2022 lalu.
Salah satu tugas dan wewenang KPU adalah mengendalikan dan memantau semua tahapan pemilu, sebagaimana tertuang dalam Pasal 12 Undang-Undang 7 Tahun 2017. Namun ditegaskan Hasyim, pengawasan dan pemantauan oleh KPU hanya bisa dilakukan dalam kurun waktu pelaksanaan pemilu yang sudah ditentukan tanggalnya. “KPU bukan satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab (atas hoaks). Jika masyarakat diedukasi dengan baik, dampak (buruk) ini bisa semakin berkurang,” tuturnya.
Setali tiga uang Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Republik Indonesia menghadapi kendala serupa. Sekalipun hoaks dan disinformasi diakui sebagai faktor yang berkontribusi penting pada polarisasi warga dalam pemilu 2019, namun Bawaslu kesulitan menindaklanjuti laporan terkait hoaks. “Kerja kami ini masih sangat terbatas, tapi kami tentu memikirkan langkah litigasi untuk menangani permasalahan hoaks, yakni dengan berkolaborasi bersama lembaga yang concern terhadap isu hoaks,” tutur Lolly Suhenty, kepala Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat Bawaslu kepada Jaring.id, Rabu, 3 Agustus 2022 lalu.
Bawaslu mengklaim sering menyosialisasikan bahaya hoaks dengan mengoptimalkan sumber daya di masing-masing daerah. Pendekatan yang dilakukan oleh lembaga pengawasan ini menyesuaikan dengan masalah dan potensi khas di masing-masing daerah. Di Papua, misalnya, Bawaslu menggandeng tokoh adat untuk berperan aktif mengampanyekan seruan antihoaks.
Kepada Jaring.id, Lolly mengakui bahwa sampai saat ini belum ada pelatihan khusus yang dilaksanakan Bawaslu ke kampung-kampung. Namun mereka memiliki hotline antihoax yang bisa diakses oleh siapapun.
Baca juga: Menanti Komitmen Cegah Normalisasi Politik Politik Identitas
KPU lebih banyak memanfaatkan mahasiswa di kampus lalu direkrut menjadi agen antihoaks untuk membantu meningkatkan literasi digital di kalangan anak muda. “Itu memang program KPU dan KPUD, melibatkan generasi muda untuk melawan disinformasi,” terang Hasyim Asy’ari.
Belum ada laporan sejauh mana program Bawaslu ini memberikan manfaat bagi warga. Juga program KPU merekrut para mahasiswa sebagai agen antihoaks. Tidak ada evaluasi berkala yang dilakukan untuk mengoreksi apakah program ini cukup efektif menyelesaikan permasalahan hoaks dan dampaknya.
Beragam Inisiatif Baik dari Daerah
Keruwetan aturan dan birokrasi, yang sering membuat mampat kerja pemerintah dan lembaga-lembaga negara dalam menangkal hoaks, tidak berlaku di akar rumput. Inisiatif-inisiatif baik tumbuh di berbagai daerah di Indonesia, lengkap dengan tantangannya masing-masing. Warga kebanyakan dan komunitas menjadi motor aksi-aksi kolaboratif.
Di Ambon, para remaja Sektor Zaitun Jemaat Gereja Protestan Maluku (GPM) Soya menerbitkan buletin yang berisi informasi dan panduan praktis mempraktikkan literasi digital. Penerbitan buletin ini merupakan kelanjutan dari pelatihan yang mereka ikuti sebelumnya.
“Banyaknya kabar bohong yang beredar dapat mempengaruhi cara anak-anak berpikir. Apalagi yang menyangkut politik dan SARA. Mereka ada dalam tahap belajar dan berhak atas informasi yang benar,” tutur Wellsy Harry Bakarbessy, salah satu penggagas gerakan literasi digital di lingkungan gereja ini.
Masih di tanah Maluku, yang memiliki riwayat konflik teramat panjang, Abidin Wakano, lewat Ambon Reconciliation Mediation Centre (ARMC) IAIN Ambon, berinisiatif membuat jaringan ustaz muda untuk melawan hoaks dan ujaran kebencian pada 2017. Sebanyak 40 ustaz muda dirangkul. Belajar dari konflik masa lalu yang kelam, mereka sepakat untuk mengantisipasi potensi kegaduhan politik pada pilkada 2018 dan pemilu 2019. Selain dakwah, para ustaz muda ini juga mengakrabi media sosial.
Di Yogyakarta, beberapa anak muda menjadikan hoaks politik sebagai bahan obrolan hangat di angkringan dan warung kopi, sampai akhirnya membentuk organisasi Aksi Menolak Politik Uang, Ujaran Kebencian dan SARA, serta Hoaks (AMPUH). Salah satu pemicu lahirnya keprihatinan bersama ini adalah hoaks tentang “mencoblos bermodal e-KTP” di pemilu 2019.
“Deklarasi pertama Oktober 2021, membangunnya dari 2020. Ini [hoaks] permasalahan yang kami tangkap kemarin sebagai penyelenggara,” ujar koordinator Presidium Pemuda AMPUH, Syaifudin Dharma Putra, saat ditemui di daerah Kapanewon Keraton, Yogyakarta, Sabtu, 9 Juli 2022.
Saat ini ada sekitar 50-an anak muda yang tergabung dalam Pemuda AMPUH, terdiri dari anggota dan relawan dengan latar belakang beragam. Ada yang berprofesi sebagai dosen, guru, aktivis pemuda, peneliti, dan fasilitator S2. Kegiatan diskusi dan berkumpul berlangsung tiap pekan. Dana operasional dicukupi dengan patungan.
Di Bandung, intoleransi beragama dan berkeyakinan masih menjadi salah satu permasalahan terbesar di tengah masyarakatnya yang majemuk. Dalam berbagai laporan, Jawa Barat selalu menempati ranking pertama provinsi dengan jumlah kasus terbanyak. Hoaks memperparah situasi, terutama di tahun-tahun politik.
Menanggapi permasalahan ini, anak-anak muda aktif berkomunitas lalu menyelenggarakan kegiatan-kegiatan bersama. Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jakatarub), komunitas yang sudah berumur lebih dari dua dasawarsa, memiliki kegiatan rutin kemah lintasiman. Sudah ratusan anak muda menerima manfaat. Sebagian dari mereka bahkan berinisiatif untuk mendirikan komunitas-komunitas baru.
Baca juga: Perlu Kolaborasi Cegah Hoaks
Di Aceh, hoaks politik menyebar dengan cepat di warung kopi, selain belakangan juga di media sosial. Menanggapinya, 17 pemuda Aceh Tamiang yang menjalankan misi kemanusiaan dengan membentuk Investasi Silaturahmi Tamiang (Ivsat) pada 20 Juni 2019. Organisasi ini sekarang sudah memiliki kader di setiap kecamatan di Aceh Tamiang.
Ivsat secara aktif mencermati isu yang berkembang, baik di media sosial maupun di warung-warung kopi. Salah satu tujuannya untuk menangkal peredaran kabar bohong. Komunikasi dijalin dengan jejaring di media arus utama agar kabar bohong itu bisa segera diluruskan. “Melalui media mainstream ini kami menyebarkan tautan berita resmi sebagai penangkal hoaks,” ungkap salah satu aktivis Ivsat, Alhafizul Amri.
Dedy Helsyanto, dari Mafindo, berpendapat, program menangkal hoaks semakin penting dan relevan bagi warga. Apalagi di bulan dan tahun politik. Sebab selain mengonfirmasi kebenaran sebuah berita, tindakan preventif juga harus rajin dilakukan. Termasuk meningkatkan literasi digital masyarakat.
“Ini tugas berkesinambungan,” kata Dedy pada Sabtu, 16 Juli 2022. “Tidak bisa satu pihak saja, tapi beberapa pihak saling kolaborasi karena prinsip hoaks (adalah) semua bisa kena dan semua bisa menyebarkan.”
Mafindo sudah melakukan begitu banyak kerja kolaboratif meningkatkan kesadaran literasi digital di tengah warga. Pada November 2020, sebagai salah satu contoh, mereka menjalankan program dimana masyarakat umum dan warga miskin kota menjadi target utama pengembangan ekosistem siber yang aman.
Menggulirkan program peningkatan literasi tidak pernah mudah. Ini bukan isu yang segera menarik perhatian. Harus ada perumusan relevansi program dengan permasalahan hidup keseharian warga. Juga penentuan pihak-pihak yang akan dilibatkan dan siapa yang akan diprioritaskan. “Pada skala 1-5 setelah program ini berjalan, indeks literasi kita ada di 3.46 pada tahun 2020, kemudian meningkat jadi 3.49 di 2021,” ucap Dedy.
Liputan ini merupakan hasil kolaborasi lima media, yakni Jaring.id, Ambon Ekspres, Harian Jogja, Serambi Indonesia, dan Bandung Bergerak, yang didukung oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) di bawah Program Democratic Resilience.
Tim Kolaborasi:
Penangung jawab: Fransisca Ria Susanti (Jaring.id), Tri Joko Her Riadi (BandungBergerak)
Penulis: Reka Kajaksana (Jaring.id), Elyas Rumain & Tajudin Buano (Ambon Ekspres), Anisatul Umah (Harian Jogja), Emi La Palau (BandungBergerak), Rahmad Wiguna (Serambi Indonesia)
Penyunting: Damar Ferry Ardiyan (Jaring.id), Tri Joko Her Riadi (BandungBergerak)
Foto: Reka Kajaksana (Jaring.id)