JAKARTA, JARING.id – Kota Bitung terkenal sebagai Kota Cakalang karena tangkapan tuna Cakalangnya menggiurkan. Negara-negara tetangga yang berbatasan langsung seperti Filipina tidak tinggal diam. Perairan Bitung menjadi target pencuri ikan yang dilakukan nelayan hingga pejabat Filipina.
Berbagai modus pencurian ini yang coba diungkap Tim Investigasi Kata Data, KBR, dan JARING dengan berkolaborasi selama empat bulan. Liputan dilakukan di Kota Bitung hingga pusat industri ikan Filipina, General Santos.
Koordinator Liputan, M. Kholikul Alim, menjelaskan pencurian ikan dilakukan dengan berbagai modus. Sebagian kapal hanya berganti bendera menjadi Indonesia, padahal pemilik aslinya asal Filipina. Dewan Kota Sarangani Alfredo Lora dan Walikota Sarangani Virginia T Cawa, dua pejabat Filipina yang punya kapal. Mereka masuk dengan kapal-kapal kecil dibawah ukuran 10 tonase kotor.
Dengan membayar Rp 500 ribu kepada seorang lurah di Kabupaten Minahasa Utara, salah seorang nakhoda dari kapal asing memiliki KTP elektonik yang dikeluarkan oleh Dinas Catatan Sipil Kota Bitung, pada 11 Agustus 2016 dan berlaku seumur hidup.
Hingga pertengahan Januari 2017, tercatat sebanyak 167 warga negara asing yang menempati detensi Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan Bitung, seorang di antaranya merupakan warga negara Vietnam, sedangkan sisanya merupakan warga negara Filipina.
Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti, temuan investigasi ini memang menunjukkan apa yang terjadi di lapangan. Indonesia menjadi target pencurian ikan oleh negara-negara tetangga karena lemahnya perhatian pemerintah terhadap kekayaan laut.
“Sebenarnya tujuan moratorium awalnya untuk evaluasi dan investigasi. Setelah berakhir (moratorium perizinan kapal perikanan eks-asing) November 2015, kita jadi tahu apa yang sebenarnya terjadi di laut kita,” kata Susi saat memberikan keynote speech dalam diskusi publik Merawat Surga Perikanan Bitung di Mid Plaza, Jakarta Pusat, Selasa, 9 Mei 2017.
Susi mengatakan eksploitasi besar-besaran yang terjadi selama ini berdampak kritis terhadap kondisi laut. Walaupun laut masuk dalam sumber daya alam yang bisa diperbaharui, namun harus diberi waktu untuk recovery termasuk agar ikan berkembang biak.
“Tidak boleh managemen eksploitatif. Tapi bagaimana menjaga ikan tetap ada dan banyak itu hanya bisa dilakukan jika ada recovery SDM. Pembatasan yang kita lakukan sekarang tujuannya meningkatkan produksi,” katanya.
Potensi Korupsi
Sedangkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarif menyatakan KPK melihat adanya potensi korupsi di sektor perikanan. Hal ini tampak dari rendahnya penerimaan negara dari sektor ini dan tak sebanding dengan nilai tangkapan dan jumlah kapal yang mendapat izin.
Penerimaan pajak dari bidang perikanan masih tetap begitu kecil, yakni 0, 02%. Dari 1.836 perusahaan yang memiliki kapal, hanya 1. 204 atau 66% yang miliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Sisanya atau 34% tak miliki NPWP. Setelah itu, dari daftar perusahaan yang mengelola kapal sisa kapal asing itu ada 53 perusahaan atau 28% terindetifikasi tak miliki NPWP. “Dilihat dari dokumen ini dan penerimaan yang kurang dari satu persen, unsur korupsinya sangat besar tetapi sulit membuktikan,” katanya.
Agar bisa menindak korupsi perikanan, perlu membentuk gugus tugas yang terdiri Kementerian Kelautan, Kementerian keuangan, TNI dan Polri serta KPK. Laode juga mengatakan pengusaha harus mendukung pemberantasan korupsi perikanan dengan berani melapor jika dimintai pungutan liar.
Sementara itu, Pemimpin Redaksi KBR Citra Dyah Prastuti berharap ke depan semakin banyak media yang mau berkolaborasi untuk menginvestigasi penyelewangan kepentingan publik. Liputan Investigasi “Serbuan Filipina ke Surga Perikanan Bitung” ini bisa dilihat di situs kadata.co.id, kbr.id dan jaring.id dan sudah dibaca lebih dari 200.000 kali.