Kartunis Malaysia, Zulkiflee Anwar Haque atau biasa disapa Zunar (55) kerap berhadapan dengan hukum di negeri jiran. Sudah enam kali ia ditangkap Kepolisian Malaysia. Utamanya karena dianggap membikin karikatur yang menyinggung bekas Perdana Menteri Malaysia, Najib Abdul Razak dan isteri, Dati Sri Rosham Mansur. Zunar diklaim melakukan penghasutan sesuai Akta Penghasutan (1984), juga melanggar Akta Publikasi dan Penerbitan Pers (PPA). Bahkan rezim Najib Razak tak segan melarang peredaran buku kumpulan karikatur yang dibikin Zunar. Dari 19 buku yang diterbitkan, 12 judul di antaranya dinyatakan terlarang.
Meski begitu, Zunar tak berhenti mengkritik. Dalam festival “Beda Ragam, Saling Sapa“ yang digelar oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), Kamis, 8 Januari 2020 lalu, Zunar menyatakan bahwa menjadi seorang kartunis bukanlah pekerjaan. “Tanggung jawab kartunis adalah menjadi pengkritik pemerintah yang berkuasa,” ujarnya sambil menunjukkan salah satu karya bertema intoleransi kepada wartawan Jaring.id, Abdus Somad di gedung Jakarta Creative Hub.
Jaring.id bertemu dengan Zunar di dua tempat terpisah. Dari obrolan sekitar dua jam lebih tersebut, kami rangkum pembicaraam soal proses kreatif hingga alasan yang mendorong ia menjadi seorang “pembangkang.”
Mengapa anda tak pernah jera menggambar kartun meskipun beberapa kali terjerat hukum?
Karena ini bakat. Saya dilahirkan untuk menjadi kartunis. Bakat ini dititipkan melalui saya, sehingga menjadi tanggung jawab saya. Saya menggambar bukan untuk mencari uang, melainkan itu adalah tanggung jawab moral. Kalau sudah demikian, saya tidak boleh berhenti (membuat kartun-red). Kalau seseorang tidak punya tanggung jawab, maka ia akan mudah berhenti melakukan pekerjaan. Sama seperti anda, ketika diberi tanggung jawab untuk menjaga anak, baik anak itu jahat maupun anak baik. Bagi saya, melukis itu tanggung jawab saya, maka dari itu perlu diteruskan. Tuhan sudah beri saya ini (bakat-red), saya tidak ingin sia-siakan itu untuk membuka pikiran orang. Saya percaya kartun dapat mengubah pikiran orang.
Mengapa begitu berani mengkritik pemerintah?
Saya tidak berani, tetapi saya tidak ada pilihan. Kalau ada pilihan saya pun tidak mau. Ini bukan soal pilihan. Apa yang kalian lakukan ketika peristiwa mendesak dan penting terjadi. Namun, Anda harus bertindak sesuatu? Kalau saya harus melukis. Jadi ini bukan persoalan berani (atau) tidak berani. Misalnya saya contohkan, anda bisa melawan harimau? anda berani melawan? Tentu saja tidak berani. Akan tetapi dalam kondisi lain ketika Anda berada di hutan dan terdesak anda pasti akan melakukan sesuatu. Anda pasti akan melawan, kalau tidak melawan anda akan jatuh (tumbang-red). Maka dari itu, saya tidak ada pilihan. Saya harus lebih berani.
Sejak kapan Anda tertarik membuat kartun bermuatan politis?
Sejak 20 tahun lalu, ketika era Reformasi di Malaysia 1998. Meski demikian, saya sudah memulai untuk membuat kartun sejak umur 17 tahun. Saat itu kartun saya diharamkan (dilarang pihak sekolah-red). Titik balik saya dimulai pasca-Reformasi. Saya terus-menerus membuat kartun hingga saat ini.
Dari mana anda mendapatkan ide?
Saya tidak percaya inspirasi. Bagi saya sebuah isu dan ide harus digali sendiri, jadi tidak menunggu keduanya datang. Saya biasa melakukannya dengan membaca buku maupun melakukan riset. Saya sendiri membutuhkan 10 jam hanya untuk membuat satu gambar. Bagi saya, kartunis harus tahu isu yang mendalam setelah itu memulai melukis. Saya tidak percaya dengan para seniman yang menunggu idea (mendapat petunjuk-red). Itu sudah tidak praktis. Zaman sekarang semua harus mencari. Maka dari itu, jangan berharap ia (ide dan isu-red) datang. Isu itu selalu ada, baik untuk hari itu atau minggu selanjutnya. Saya katakan isu tidak akan hilang.
Ketika mengkritik pemerintah, apa dampak kartun anda terhadap masyarakat di Malaysia?
Buku saya dilarang di Malaysia, mengapa dilarang? Sebabnya karena kerajaan (pemerintah Malaysia-red) bimbang. Buku saya dianggap berbahaya karena akan mengubah perspektif anak muda perihal politik. Jadi dampaknya kepada orang muda, mereka yang suka membaca kartun akan mempunyai pesan hidup dan kondisi di Malaysia.
Saya sudah ditangkap dan masuk sel sebanyak 6 kali. Buku saya 19 judul, lalu 12 judulnya dilarang oleh kerajaan (pemerintah-red), sebanyak 12 itu dianggap haram (dilarang-red), selebihnya atau 7 buku lagi dianggap makruh. Buku saya tidak ada yang halal (diperbolehkan-red). Selain itu, studio saya juga pernah diserbu polisi sebanyak 3 kali. Dari peristiwa itu karya saya berupa lukisan dan buku dirampas. Saya kena larangan keluar negara selama 2 tahun, tetapi saat ini sudah dicabut. Saya menjadi pemegang rekor sebagai orang paling banyak didakwa di pengadilan atas tuduhan hasutan. Totalnya sebanyak 9 tuduhan atas pelanggaran hasutan. Semua itu menjadi kebanggaan bagi saya.
Selain itu, orang yang melakukan percetakan buku saya juga ditangkap karena mencetak buku saya. Mereka diberi tamparan keras polisi dengan mengatakan ketika terus mencetak buku saya, maka izin perniagaan akan ditarik. Dari hal tersebut, tidak ada yang berani mencetak buku saya lagi. Dalam aturan Malaysia nama penerbit harus diletakkan di halaman depan buku, jika tidak maka buku dianggap ilegal. Saya tidak punya pilihan, supaya penerbit mau mencetak maka saya tutup hitam nama penerbit di sampul depan. Saya berikan catatan ke polisi, jika ingin tahu siapa pencetaknya silakan gosok yang ditutup hitam dan menang
Setelah Najib Tumbang, anda tetap menggambar?
Masih terus melukis kartun politik sampai sekarang. Tanggung jawab kartunis adalah menjadi pengkritik kerajaan yang berkuasa. Selagi kerajaan baru tidak melaksanakan reformasi seperti yang dijanjikan serta tidak ada usaha bersungguh-sungguh memberantas korupsi, maka ia harus dikritik.
The New York Time telah mengumumkan bahwa mereka tidak lagi membuat kartun politik edisi international di media. Bagaimana anda melihat peristiwa tersebut?
Pascaperistiwa itu, saya berada di Ohio selama 2 bulan. Saya mengikuti konferensi kartunis. Memang isu tersebut dibahas. Bagaimana saat ini media tidak mau gunakan kartunis karena alasan ekonomi. Namun, saya menilai permasalahan kartun di Amerika masih bergantung pada politik semata, mereka tidak bergantung pada isu kebutuhan masyarakat. Mereka hanya bicara Donald Trump. Tidak banyak yang mengulas korupsi dalam perspektif masyarakat. Apa dampaknya? Pembaca tidak merasa terlibat atas apa yang diulas oleh kartunis. Bahkan tidak merasakan langsung apa yang diderita oleh masyarakat. Bagi saya, sudah saatnya kartunis di Amerika maupun di dunia untuk mengubah style. Hal itu menjadi satu cara terbaik untuk terus relevan.
Bagaimana dengan kondisi kartunis di Asia Tenggara?
Saat ini memang banyak kartunis yang membuat karya, tetapi tidak memberikan dampak yang kuat. Meski demikian, saya tidak tahu apakah ada relevansinya dengan kondisi kartun saat ini. Kartunis-kartunis di Asia ketika bicara politik itu kurang. Namun, kartun dengan genre yang lain berkembang. Di Indonesia saya mengenal G.M Sudarta yang mempunyai ciri khas dalam menyampaikan pesan.
Saya juga mengamati kecenderungan kartunis di Asia ketika ditangkap atau dipenjara. Mereka akan berhenti untuk menggambar. Saya meihatnya begitu. Tidak mau melangkah atau konsisten membuat kartun lagi. Tidak ada sikap dalam diri kartunis Asia. Oke, ini peringatan pertama saya meski demikian akan saya teruskan. Seharusnya kan punya prinsip. Selagi penguasa tidak berhenti saya tidak akan berhenti membuat kartun. Saat ini, kerajaan (pemerintah-red) di dunia ingin kartunis tidak melukis soal politik dengan kritikan. Sementara kartunis kurang men-challenge pemerintah.
Jadi mesti bagaimana?
Banyak yang membuat kartun. Namun, tidak relevan dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat. Kalau hanya membuat kartun lucu, saya bisa ketawa tapi besok saya bisa lupa. Anda harus menggali isu dari bawah (kondisi masyarakat-red) dengan mengambil sisi kerakyatannya. Kalau hal itu diambil akan ada relevansinya dengan kondisi masyarakat sehingga mendapatkan kesan bahwa kegelisahan maupun keresahan yang dialami oleh masyarakat disampaikan dalam medium kartun. Kalau tidak ada hal itu, maka tidak akan ada dampak. Selain itu, kartunis terkadang juga terlalu serius menggambar. Padahal seorang kartunis harus mencipta karya dengan mencantumkan muatan lelucon karena itu adalah tarikkan utamanya. Kartun aku 10 persen itu muatannya lucu, 90 persen ada pesan yang harus disampaikan. Kuncinya adalah tetap harus ada lelucon. Namun, kaitkan hal itu dengan kondisi masyarakat.
Namun, kondisi di masing-masing negara berbeda, apalagi bila mengingat regulasi?
Bagi saya, undang-undang bukan musuh utama kartunis. Musuh utamanya adalah self censorship atau penapisan diri. Ketika hendak melukis, lalu berpikirnya aturan hukum dalam bentuk undang-undang, maka tidak akan jadi lukisan tersebut. Saya melukis apa yang saya (mau) lukis. Saya tidak pikir kerajaan (pemerintah-red) atau polisi akan menangkap saya. Kalau mikir, nanti saya akan kena pasal hasutan lalu penjara lima tahun, maka yang terjadi adalah tidak melukis.
Kartunis di Eropa dan Amerika pernah lalui persoalan ketakutan itu dulu, apa yang mereka lakukan? Mereka berkawan atau bersolidaritas untuk mengatasi itu semua. Di Asia kita tidak bersatu. Para kartunis bergerak sendiri-sendiri. Di Eropa dan Amerika mereka punya persatuan, ketika ada persoalan hukum mereka akan bangkit dan melawan sementara di Asia tidak ada pemikiran hal itu.
Apa yang anda harapkan dari dari kartunis di Asia?
Saya tidak tahu, susah menjawab hal tersebut, saat ini kondisinya ancaman (Kebebasan berekspresi-red) di Asia tinggi. Menurut saya, harus ada upaya persatuan kartunis di Asia yang bukan dibuat oleh kartunis. Kartunis tidak bisa mengorganisir diri. Saya berharap ada orang bukan kartunis tapi terlibat memperjuangkan kebebasan berekspresi dan berpendapat. Bisa jadi hari ini yang kena saya, lalu esok siapa lagi? Maka dari itu solidaritas itu sangat penting.