Empat hari setelah kembali dari Belanda pada awal Februari lalu, sastrawan Felix K. Nesi—pengarang novel Orang-Orang Oetimu—mendengar kabar tentang pemindahan salah seorang Romo berinisial A ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Bitauni St. Pius X Insana, Paroki Kiupukan. Romo A ialah pemuka agama yang dihukum oleh Keuskupan Atambua karena melakukan kekerasan seksual di Paroki Tukunenu pada 2019. Di samping dipindah dan dilarang memberikan misa, pelaku juga didenda sebesar Rp 200 juta.
Keputusan Uskup Atambua, Dominikus Saku yang lantas membikin Felix resah. Salah-salah orang terdekatnya menjadi korban dari pelaku yang sama. Pasalnya sekolah menengah kejuruan itu hanya sejauh 700 meter dari rumahnya di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT). Bahkan dua adiknya—laki dan perempuan, tamat dari sana. Saat masih seminari menengah, Felix tidur, bangun dan makan di situ saban liburan.
“Saya tidak sangka. Saya pikir korban berikutnya kalau bukan anak sekolah, tetangga saya atau adik perempuan saya,” kata Felix saat dihubungi Jaring.id pada Sabtu, 12 Juli 2020.
Gelisah dengan kehadiran Romo A di sekitar kediamannya, pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2018 ini menyambangi SMK Bitauni pada Februari akhir. Di sana ia beradu kata hampir satu jam dengan Kepala SMK Bitauni, Pastor Vinsen Manek. Dalam pertemuan yang berlangsung di rumah pastoran SMK Bitauni, Felix meminta agar Romo Vinsen tidak menampung A di sekolah pertanian, perternakan, dan teknologi pengolahan hasil pertanian tersebut.
“Saya bilang, keuskupan tidak punya keputusan baik. Orang melakukan kekerasan seksual mengapa dipindah?” tanya Felix mengulangi apa yang disampaikan kepada Romo Vinsen.
“Di akhir pembicaraan, Romo Kepala bilang, ya, SK Romo A ini hanya sementara, hanya untuk satu atau dua bulan. Sesudah itu, ia akan pindah lagi. Ini istilahnya hanya penyegaran,” tulis Felix pada 3 Juli lalu di laman Facebook pribadinya.
Lepas satu bulan, sekitar Maret, Felix masih memegang perkataan Romo Vinsen. Namun kepercayaannya sedikit surut pada akhir Maret. Pasalnya pelaku tidak juga ditarik dari SMK Bitauni. Untuk kali kedua Felix mempertanyakan keberadaan Romo A. Bahkan di hadapan Romo Vinsen dan MGR Anton Pain Ratu, Felix mengutarakan kekecewaanya sembari menuding Romo Vinsen berbohong. Pertemuan di sebuah ruang makan pastoran, tepat saat makan malam tersebut juga dihadiri pelaku.
“Romo, tolong, pindahlah dari sini. Carilah tempat sepi untuk berefleksi, untuk menentukan pilihan-pilihan, sebelum berkarya kembali,” minta Felix kepada Romo A sebelum pembicaraan tersebut buntu hingga tiga bulan berlalu.
Puncaknya pada Jum’at malam, 3 Juli 2020. Felix yang teringat kasus kekerasan seksual yang melibatkan Romo A memacu sepeda motornya menuju SMK Bitauni. Di sana ia melontarkan tanya kepada salah seorang penjaga sekolah dan mendapati bahwa Romo A belum juga angkat kaki.
Felix yang sudah dua kali memohon ketegasan pihak gereja tak lagi bisa menampung amarah. Kaca dari tujuh jendela di hadapannya ia hantam dengan helm hingga hancur berkeping. Sejumlah kursi plastik hijau di teras rumah pastoran pun ia banting hingga rusak. Setelah melampiaskan amarahnya, Felix kembali menegakkan sepeda motornya menuju rumah.
“Tidak sampai 30 menit, polisi datang dengan membawa dua mobil ke rumah saya. Lalu saya dibawa ke Polsek Insana,” ujar Felix mengingat peristiwa penangkapannya. Felix dilaporkan oleh komunitas Pastoran SMK Bitauni karena merusak kaca jendela dan kursi.
Meski hanya semalam di kantor polisi, kasus perusakan tak benar selesai. Felix dinyatakan sebagai tersangka dua hari setelah penangkapan. Dia dijerat Pasal 406 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman penjara maksimal dua tahun delapan bulan.
Usai penetapan status hukum itu, Felix dan keluarganya merasa diawasi. Beberapa kali, kata Felix, kedua orang tuanya ditelepon oleh seseorang tak dikenal. Bahkan dirinya juga mendapat ancaman lewat media sosial.
“Keluarga saya sudah tidak nyaman sekali. Mama saya dari keluarga tokoh agama. Adiknya mama adalah seorang pastor. Mereka sedih dan tidak mau bicara,” ujar mantan pegiat Lembaga Pers Mahasiswa Civitas Universitas Merdeka Malang ini.
Masih Tersangka
Dihubungi terpisah pada Rabu, 22 Juli lalu, Kepala Kepolisian Resort Timur Tengah Utara (TTU) Atambua, AKBP Nelson Filipe Diaz Quintas menyatakan bahwa status lelaki lulusan SMA Seminari Lalian Atambua itu masih tersangka. Menurut Nelson, Kepolisian menunggu keputusan Keuskupan Atambua apakah ingin melanjutkan jalur hukum atau menyelesaikan dengan cara kekeluargaan.
“Pihak gereja mau pembicaraan internal dulu. Kita menunggu itikad baik dari keuskupan,” ujar AKBP Nelson Filipe Diaz Quintas saat dihubungi Jaring.id.
Padahal sepuluh hari sebelumnya atau Jum’at, 10 Juli 2020, Uskup Atambua Dominikus Saku melakukan pertemuan empat mata dengan Felix. Tidak ada satu pun yang diperkenankan untuk mengikuti pertemuan di Atambua tersebut.
Menurut Felix, pembicaraan yang didominasi Uskup Dominikus tersebut berlangsung sekitar 30 menit. Utamanya perihal penangkapan oleh Polisi Polsek Insana, Timur Tengah Utara (TTU) dan status Facebook Felix yang menyinggung kasus kekerasan di lingkungan gereja Katolik. Pihak keuskupan mengklaim telah menyelidiki kasus yang terjadi tahun lalu. Pelaku pun telah dinyatakan bersalah dan mendapat hukuman kanonik.
“Bagi mereka, masalah ini (kasus kekerasan seksual-red) sudah selesai,” ujar Felix kepada Jaring.id.
Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Atambua, Romo Paulus Nahak I, Pr, membenarkan adanya pertemuan tersebut. Namun ia sendiri belum menerima perintah dari Uskup Dominikus Saku perihal langkah apa saja yang akan diambil guna menyelesaikan kasus Felix. Kendati masih menggantung, pihak keuskupan akan mengupayakan agar kasus perusakan tidak berlanjut.
“Kerusakan tidak akan dibebankan ke Felix. Sementara pada pelaporan kita siap melakukan penarikan. Tunggu beberapa saat lagi,” kata Romo Paulus Nahak saat dihubungi melalui telepon pada Jum’at, 17 Juli 2020.
Pemindahan Romo A yang dipersoalkan oleh Felix, menurut Romo Paulus, tidak lepas dari pertimbangan Uskup Dominikus Saku yang tertulis dalam Surat Keputusan Uskup Atambua No: 41/2020. Surat tersebut adalah bagian dari suspensi pastoral. Di dalamnya berisi permintaan agar Romo A melakukan pengolahan diri di wilayah pastoran SMK Bitauni.
“Beliau kenal baik dengan Uskup Tua (pengelola sekolah-red) sehingga diharapkan (pelaku) mendapat bimbingan langsung dari uskup tua. Pemindahan itu untuk refleksi semata,” kata Romo Paulus.
Paulus menambahkan, status pelaku sampai saat ini masih pastor. Pihak gereja menganggap bahwa suspensi pastoral sudah cukup membuat A jera. Sementara sanksi berupa pencopotan jubah tidak mudah dilakukan lantaran mesti melalui proses di Vatikan.
“Dia tetap jadi imam, tapi tidak boleh melayani publik,” ungkap Romo Paulus.
Koordinator lembaga hak asasi manusia berbasis agama Truk-F, Suster Estochia tidak sependapat dengan kebijakan gereja memindahkan pelaku kejahatan. Menurutnya, pemindahan tidak akan menyelesaikan masalah kekerasan seksual di lingkungan gereja.
“Kalau saya merasa itu hanya melarikan diri dari masalah. Ini persoalan relasi (kuasa –red),” ungkap Suster Estochia kepada Jaring.id, pada Kamis 16 Juli 2020.
Senada dengan Suster Estochia, Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Theresia Sri Endras Iswarini menilai sanksi berupa pemindahan pemuka agama dari satu tempat ke tempat lain merupakan upaya untuk melindungi pelaku kejahatan seksual. Tindakan tersebut, menurutnya, bertentangan dengan ajaran gereja baik di lingkungan Katolik maupun Kristen.
Theresia mendesak agar pelaku kekerasan seksual dijerat pidana, baik dengan Kitab Umum Hukum Pidana (KUHP) maupun Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
“Kekerasan seksual itu kan terjadi di mana-mana termasuk di lembaga agama. Jadi hukum yang digunakan sebaiknya hukum positif untuk kejahatan atau kriminalitas (kekerasan seksual-red),” kata Theresia melalui pesan Whatsapp, Kamis, 16 Juli 2020.
Sebelum Kaca Terpecah
Jauh sebelum peristiwa kekerasan seksual oleh Romo A, Yayasan Amnaut Bifel Kuan (Yabiku) sebuah organisasi yang bergerak di bidang perempuan dan gender sempat mendampingi empat kasus kekerasan seksual di lingkungan gereja. Direktur Yabiku, Maria Filiana menjelaskan, kasus yang melibatkan petinggi gereja yang bernaung di bawah Keuskupan Atambua tersebut terjadi dalam rentang 2003-2019.
Pada 2003, 2005, 2007, kasus kekerasan seksual terjadi di Paroki St Yohanes Pembaptis Naesleu di Kefamenanu Selatan, Timur Tengah Utara. Sementara 2019 terjadi di Paroki St Perawan Maria Diangkat ke Surga, Eban, TTU. Sayangnya, kata Fili—sapaan akrab Maria Filiana, seluruh kasus kekerasan seksual di gereja tidak ada yang berakhir di meja hijau.
Pihak gereja kerap menyelesaikan kasus kejahatan seksual secara sembunyi-sembunyi melalui mediasi antarkeluarga. Padahal situasi tersebut kerap merugikan para korban. Sebagian besar kasus yang ditangani, menurut Fili, selesai ketika para pastor bersedia menanggalkan jubah imamnya dan menikahi para penyintas.
“Jalur hukum pidana tidak pernah ditempuh. Kasus ini kasus hukum sesungguhnya. Namun, sulitnya ketika keluarga dan penyintas tidak mau membawa ke ranah hukum,” kata Fili kepada Jaring.id saat dihubungi melalui telepon, Kamis, 16 Juli 2020.
Beberapa kasus yang dihimpun Yabiku di atas menyingkap tabir kekerasan seksual berulang di lingkungan Keuskupan Atambua. Sementara pimpinan gereja dinilai tidak tegas menyelesaikan kasus yang melibatkan rohaniawan.
“Ketika membongkar satu persoalan itu sama saja dengan membantu banyak orang lain supaya tidak terjebak menjadi korban. Lalu hal itu juga membantu pastor agar berhati-hati, mereka tidak bebas melakukan pelanggaran,” ungkap Fili.
Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Atambua, Romo Paulus Nahak membantah sederet kasus kekerasan seksual tersebut.
“Sepanjang yang saya tahu tidak ada. Tapi sepanjang itu kami tidak diberi tahu, bisa saja kasus di luar jangkauan kami, akan tetapi itu bukan urusan kami. Bisa saja informasi liar karena tidak terbukti,” kata Romo Paulus.
Ia juga menolak anggapan bahwa gereja menyembunyikan kasus yang selama ini terjadi. Bagi Romo Paulus, semua kasus yang masuk ke Komisi Keadilan dan Perdamaian selalu ditindak sesuai dengan hukum gereja dan hukum negara.
“Tidak benar menyembunyikan. Selama ini semua kasus ditanggapi. Cuma kan tidak diumumkan,” ujarnya.
Itu sebab, Koordinator Truk-F, Suster Estochia menganggap bahwa kasus kekerasan seksual di lingkungan gereja yang terungkap saat ini hanyalah puncak dari gunung es.
“Kasus kekerasan seksual adalah luka seumur hidup. Kalau itu terjadi kita harus bantu penyintas sampai sungguh-sungguh pulih. Jangan biarkan mereka menjadi pesakitan seumur hidup,” ujar Suster Estochia.
Ia meyakini bahwa pihak gereja memberi tekanan agar kasus kekerasan seksual tidak muncul ke muka publik. Dalih atas nama baik gereja menjadi dogma yang berulang kali disampaikan untuk menyelesaikan masalah dengan cara kekeluargaan.
“Saya harus jujur, gereja mungkin melakukan intervensi,” ungkapnya.
Suster Estochia berharap para uskup di Indonesia mulai mengacu dokumen Gereja Katolik, Motu Proprio yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus, yakni Vos Estis Lux Mundi. Menurutnya, setiap keuskupan harus memiliki sebuah sistem yang dapat diakses secara publik terkait pelaporan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh rohaniawan. Sistem ini seharusnya dibuat keuskupan paling lambat Juni 2020. Dalam hal ini, pimpinan gereja mesti terlibat aktif mengambil tanggung jawab melaporkan kejahatan terhadap kemanusian.
“Ini surat perintah seperti undang-undang, makanya surat ini harus dijalankan umat Katolik. Mereka yang mengetahui tetapi tidak melaporkan berarti dia melindungi dan bisa dilaporkan ke keuskupan,” pungkasnya.