Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan tahun sebagai kampung kusta. Letaknya sekira 25 kilometer dari Bandara Sultan Hasanudin. Saat Jaring.id ke sana, Sabtu, 2 November 2024, kami melihat sekumpulan ibu-ibu tengah mengobrol.
Seorang perempuan berkerudung merah jambu menyapa kami dengan hangat. “Saya Ani,” katanya memperkenalkan diri. Ia mengaku sebagai OYPMK, kependekan dari orang yang pernah mengalami kusta, saat masih berusia tujuh tahun. Sejak itu, sudah 27 tahun lalu, Ani tinggal di Jongaya bersama suaminya yang juga seorang OYPMK.
“Kampung ini sudah ada sejak masa Belanda. Zaman dahulu Raja Gowa memberikan tanah bagi kami yang terkena kusta karena takut menular. Kusta dulu dianggap kutukan. Nah kampung ini jadi ramai karena orang yang sudah sakit parah dari Rumah Sakit Tadjuddin tinggal di sini atau mereka yang dikucilkan oleh keluarganya memilih tinggal di sini,” jelasnya.
Kusta adalah penyakit menular menahun yang menyerang kulit, jaringan saraf perifer, mata, dan selaput yang melapisi bagian dalam hidung. Kemunculan lepra umumnya ditandai dengan lemah atau mati rasa di tungkai dan kaki, serta timbulnya lesi atau kerusakan di kulit. Penyakit ini dipicu oleh bakteri Mycobacterium leprae.
Pada 27 Januari 2023, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat Indonesia sebagai negara ketiga dari 120 negara setelah India dan Brasil yang menyumbang kasus kusta terbanyak. Kementerian Kesehatan pada Januari 2022 menyebut ada 13.487 penderita kusta. Sebanyak 15,4 persen diantaranya mengalami kecacatan karena terlambat diobati.
Sedangkan pada 2023 lalu jumlahnya meningkat menjadi 14.376 kasus kusta baru di 11 provinsi. Antara lain Papua Barat dengan angka prevalensi sebesar 13,6 per 10.000 penduduk. Sementara Papua (10,77), Papua Barat Daya (8,2), Maluku Utara (6), dan Papua Tengah (2,61). Selain itu, Maluku (2,53), Papua Selatan (2,39), Sulawesi Utara (1,85), Gorontalo (1,34), Sulawesi Barat (1,12), dan Sulawesi Tenggara (1,08). Dengan prevalensi tersebut pemerintah menargetkan eliminasi kusta pada 2030 mendatang.
Untuk itu, upaya menemukan kasus kusta baru sementara pasien kusta diobati harus terus menerus dilakukan, baik di Jongaya maupun daerah lain. Sierli Natar–seorang perawat pasien kusta, saat ditemui di Jongaya menyatakan bahwa pencarian kasus secara aktif yang diikuti terapi pencegahan sangat penting. Hal lain ialah menjamin agar masyarakat mudah mendapatkan akses terhadap obat kusta di setiap layanan kesehatan.
Di Jongaya hampir tak ada yang tak mengenal Sierli. ASN di Dinas Kesehatan Kota Makassar ini sudah lebih dari 30 tahun bekerja sebagai perawat khusus kusta. Saking seringnya berinteraksi dengan pasien ia tak lagi dianggap sebagai perawat. Melainkan lebih dari seorang teman, bahkan ibu bagi mereka yang masih menjalani perawatan maupun OYPMK.
Hari itu, Sabtu, 2 November 2024 adalah kunjungan wajib bagi Sierli. “Saya saban akhir pekan ke sini,” ucapnya sembari memandikan seorang anak dengan kusta yang masih berusia 15 tahun. Namanya Saldi. Ia terkena kusta tiga tahun lalu. Selain tubuhnya ceking, kulitnya pecah-pecah, jemarinya pun kadung memendek akibat kusta. Bahkan, kata Sierli, Saldi sempat lumpuh di masa awal pengobatan. Tapi kini ia sudah bisa lebih mandiri, seperti mandi dan mencuci piring bekas makan sendiri. Seluruh kegiatan itu dilakukan dari atas kursi rodanya.
Di Jongaya Saldi tinggal di sebuah bangsal yang tidak terlalu luas. Di sana ia harus berbagi kamar dengan pasien kusta lain. Terdapat lima tempat tidur berbahan kayu. Salah satu ranjang tengah ditiduri pria tua pagi itu. Kakinya sudah diamputasi dan dibalut dengan kain berwarna hitam untuk melindungi dari debu. Sehari-hari, kata Sierli, pria asal Malino, Goa ini mengamen di jalanan untuk menghidupi dirinya.
Seperti kebanyakan pasien kusta yang tinggal di Jongaya, mula-mula Saldi mengaku tertekan tinggal di Jongaya. Ia selalu ingat bagaimana keluarganya mengasingkannya setelah divonis kusta. “Saldi ini anak luar biasa. Sekarang dia mau belajar, mau bergaul. Anak seumuran Saldi sedang sekolah, tapi kehidupannya berhenti di sini. Tidak ada keluarganya yang datang menjenguk selama ini,” ujar Sierli.
Oleh sebab itu, kami diwanti-wanti agar selalu menjaga ucapan dan tindakan. Salah-salah hal itu dapat mempertebal stigma terhadap pasien maupun OYPMK. Dalam peliputan kusta, menurut Sierli, jurnalis pun perlu tahu mengenai standar keamanan. “Kalau wawancara perhatikan arah mata angin. Liputan sebaiknya dilakukan di luar ruangan dengan jarak satu meter atau ketika di dalam ruangan melawan arah mata angin,” jelasnya.
Selanjutnya kami mulai mewawancarai beberapa pasien maupun OYPMK. Dalam pembicaraan itu, Sierli mengungkapkan bahwa pengobatan kusta sangat panjang. Bisa enam sampai 12 bulan tanpa putus sejak terdiagnosa. Lamanya pengobatan dan waktu inkubasi itu tidak hanya menimbulkan masalah bagi pasien, tetapi juga orang di sekitarnya. Seseorang yang tidak sadar terinfeksi bakteri lepra bisa menularkan ke orang di sekitarnya, khususnya anggota keluarga.
“Penyakit lain selesai pengobatan, tidak nampak penyakitnya. Kusta ketika dia terlambat ditemukan menjadi disabilitas. Disabilitasnya ini tidak bisa kita sembuhkan. Kalau menjadi disabilitas permanen, maka hilang kehidupan mereka,” ucapnya.
Sierli bekerja sebagai perawat kusta di Jongaya mulai tahun 1995 setelah tujuh tahun bekerja di RS Tenriawaru, Bone. Tahun 1991 kemudian menikah, dia mengikuti suaminya pindah ke Makassar dan sejak 2007 ia masuk dinas kesehatan sebagai pengelola program TBC dan kusta hingga saat ini. Saat itu, menurut Sierli, kasus kusta sedang meningkat. “Awal saya di tempatkan di Jongaya, dari luar kompleks itubau luka sudah tercium. Saat itu kasus kusta memang parah, bahkan saya sering mengobati pasien yang lukanya sudah berulat,” tuturnya.
“Awalnya saya masih tidak mengerti dan takut sampai minta ditemani perawat senior. Kemudian saya belajar bahwa tidak mudah ketika mendiagnosis pasien terkena kusta,” ia menambahkan.
Kali pertama menangani pasien, Sierli didatangi dua bersaudara yang terlambat diobati. Kulit pasien saat itu sudah kadung kering dan pecah-pecah. Menurut Sierli, alih-alih dibawa segera ke dokter, keluarga pasien malah pergi ke dukun. “Saat itu tahun 1995 di Kelurahan Parang. Bapak itu menolak dikatakan kusta. Itu pengalaman paling tidak enak sekali. Sampai dibilang ibu kalau datang ke sini, saya akan bawa parang. Pada saat saya katakan dia kusta dia marah dan dia menolak saya untuk bertemu langsung bapak itu di rumahnya,” ungkapnya.
Menghadapi kondisi seperti itu Sierli tidak mundur. Sebab sejak awal menangani pasien kusta, ia sudah diwanti-wanti bahwa penyakit purba ini berdampak secara sosial. Seorang pasien kusta tidak hanya menanggung penyakit, tetapi juga derita psikologis karena kerap dikucilkan. “Bukan hanya sekadar pasien datang kemudian mengambil obat di puskesmas. Tapi perawat harus pula mendampingi secara emosional. Terlebih jika pasien mengalami reaksi akibat pengobatan dan terstigmatisasi,” ujarnya. Ia menambahkan masalah akan bertambah pelik ketika tidak banyak tenaga medis yang mau menangani sekaligus mendampingi pasien kusta.
Apa yang diungkapkan Sierli diamini oleh rekan kerjanya, Mustika. Ia adalah seorang perawat di Puskesmas Kaluku Bodoa. Di puskesmas ini terdapat 11 pasien kusta yang sedang menjalani masa pengobatan dan pendampingan. “Namun, tidak ada yang mau gantiin Ibu Sierli. Teman-teman takut. Ada yang menggantikan karena sudah ditempatkan oleh pusat,” ujar Mustika.
Di Makassar sedikitnya ada 47 petugas tenaga kesehatan di poli kusta. Sementara jumlah kasus kusta hingga September 2024 lalu mencapai 100 pasien. Masing-masing dengan riwayat 14 kusta kering dan 86 kusta basah. Dari jumlah itu ada tiga pasien anak. Menurut Sierli, tidak sedikit dari mereka yang terstigmatisasi.
“Ada pasien kami, seorang perempuan punya skincare dia sekarang terkena kusta. Pembeli banyak tanya mengapa ibu pakai skincare perawatan jadi hitam mukanya? Padahal dia lagi pengobatan kusta. Bagi perempuan berpengaruh. Dia tidak bisa bergaul, apalagi selama pengobatan wajahnya berubah jadi hitam kecoklatan. Self stigma lebih tinggi, pribadi, mau ke mana-mana takut. Malu,” jelas Sierli.
Oleh sebab itu, menurut Sierli, penanganan kusta tidak bisa setengah-setengah. Keberadaan puskesmas sangat penting sebagai garda terdepan. Namun musykil eliminasi kusta yang dicanangkan pemerintah dapat tercapai selama upaya tersebut tidak dibarengi peningkatan kapasitas dan jumlah tenaga kesehatan khusus kusta.
“Ketika kita bicara eliminasi kusta 2030, artinya bukan dari Dinas Kesehatan sendiri yang bekerja, tapi multisektor pemerintah karena yang terdampak bukan hanya kesehatan, tapi sosial. Selama ini hanya Dinas Kesehatan, Puskesmas, teman-teman rumah sakit hanya menemukan ketika mereka sakit dirujuk ke Puskesmas. Sedangkan yang melanjutkan pengobatan adalah teman-teman di Puskesmas,” ungkapnya.