Sudah lima tahun Desa Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tak dapat menyertifikasi tanah desa. Padahal penyertifikatan merupakan program nasional Presiden Joko Widodo. Menurut Jagabaya atau Kasi Pemerintahan Desa Maguwoharjo, Danang Wahyu, pengakuan hak tanah desa atau sertifikasi tanah desa dilarang Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sleman sejak 2017. Padahal sedikitnya ada 50 bidang tanah yang perlu disertifikasi hingga 2025 mendatang. “Kami dihentikan, tidak boleh lagi,” kata Danang saat ditemui tim kolaborasi liputan agraria yang terdiri dari Jaring.id, Suara.com, Tirto.id, Project Multatuli dan Kompas.com, Kamis 5 Mei 2021.
Belakangan Danang baru menyadari bahwa sertifikasi tanah kesultanan menjadi sebab di balik larangan itu. “Kami kan dulu hak pakai atas tanah Desa Maguwoharjo, sekarang dicoret menjadi tanah kasultanan,” ungkapnya.
Imbas dari sertifikasi tanah kesultanan juga sampai di Desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman. Jagabaya Sinduadi, Bagas Ariwibowo mengaku pernah mendapat penolakan saat hendak menyertifikasi sebidang tanah ke BPN. Saat itu, berkas dokumen tanah tidak ditindaklanjuti hingga lima tahun. “Tidak ada pemberitahuan sama sekali,” ujarnya saat ditemui tim di kantor desa, Selasa, 12 Mei 2021.
Padahal sebelum 2017, menurutnya, pengajuan sertifikasi tanah desa sangat mudah. Dari 200an bidang tanah di Desa Sinduadi, ada sekitar 100 bidang tanah yang sudah memiliki sertifikat. Sedangkan lainnya belum dapat disertifikasi karena diajukan setelah 2017. “Kami menunggu BPN. Kalau belum bisa memutuskan, otomatis sertifikatnya belum jadi,” ujarnya.
Alih-alih menerbitkan sertifikat, pemerintah desa malah diminta Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (Dispertaru) Kabupaten Sleman untuk mengumpulkan fotokopi sertifikat tanah desa yang masih disimpan di kantor desa. Pengumpulan tersebut diklaim sebagai upaya dinas untuk mencocokkan dokumen tanah yang disimpan di dinas dan desa. Namun, Bagas menduga upaya itu bagian dari proses penggantian hak pakai tanah desa menjadi hak milik kesultanan. “Sudah kami kumpulkan, ngopo gawean marai mumet (mengapa pekerjaan bikin pusing),” keluh Bagas.
Penarikan sertifikat juga terjadi di Kabupaten Bantul. Tim kolaborasi memeroleh salinan surat yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Bantul Nomor 593/009 I58/TN/Th 2021. Isinya terkait permohonan penarikan sertifikat tanah desa di 26 desa. Kepala desa diminta menyerahkannya kepada Dispertaru Bantul paling lambat 31 Maret 2021.
Salah satu narasumber yang tim kolaborasi temui mengaku khawatir dengan penarikan sertifikat tanah desa. Pengalihan status tanah ke kesultanan, menurutnya, akan memindahkan aset-aset tanah desa ke tangan keraton. Pemdes merasa tak lagi punya kedaulatan sesuai dengan amanah Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. “Kuasanya dia (keraton) absolut betul. Yang bisa melawan ya alam,” ungkap sumber di salah satu pemerintah desa di Bantul tanpa mau disebut identitasnya.
Larangan dan penarikan sertifikat tanah desa bermula dari penerbitan Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kesultanan dan Tanah Kadipaten yang merupakan turunan dari Undang-Undang Keistimewaan (UUK) Nomor 13 Tahun 2012. Belied tersebut mengklaim seluruh tanah desa adalah milik Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Puro Pakualam. Pemanfaatan atas tahan tersebut harus seizin pemilik tanah.
Gubernur DIY, Sultan Hamengkubuwono X kemudian memperkuatnya dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tanah Desa. Pada Pasal 11 pergub tersebut dijelaskan bahwa tanah desa yang sudah disertifikatkan dengan status hak pakai di atas tanah negara akan dikembalikan statusnya menjadi hak pakai di atas tanah milik kesultanan dan kadipaten. Pemerintah DIY menganggarkan dana Rp 26 miliar dari total anggaran dana keistimewaan (danais) sebesar Rp 1,3 triliun untuk menyertifikasi tanah-tanah kesultanan dan kadipaten pada 2021.
Penolakan Desa
Sejumlah desa di Sleman dan Bantul menolak peralihan hak atas tanah menjadi tanah kesultanan. Antara lain Jagabaya Maguwoharjo, Danang Wahyu. Menurutnya, rencana kesultanan tersebut berpotensi menggerus pendapatan asli desa karena kepemilikan aset tidak lagi menjadi wewenang desa. Hingga 2020 lalu PAD Desa Maguwoharjo mencapai Rp 1 miliar. “Kami tidak mau. Maguwoharjo tidak usah. Hal yang sudah direncanakan desa bisa kalah dengan kepentingan (kesultanan),” ujar Danang.
Perangkat desa di salah satu pemerintah desa di Bantul juga keberatan dengan upaya keraton melakukan sertifikasi tanah desa. “JIka dimiliki oleh privat, ini berisiko akan hilang (tanah desa),” kata dia tanpa mau disebut namanya. Menurutnya, prinsip dasar dari pengelolaan aset desa adalah sebesar-besarnya digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan warga desa.
Oleh sebab itu, muncul dorongan agar warga membangun fasilitas umum, seperti tempat beribadah maupun lapangan olahraga di atas tanah desa. “Tidak mungkin, jika sudah ada masjid yang berdiri di atasnya, terus diambil kan? Karena kami tak punya kuasa untuk menolak. Ya itu perlawanannya,” ungkap seorang sumber tim kolaborasi.
Kepala Bidang Pertanahan Kantor Wilayah BPN DIY, Anna Prihaniawati mengungkapkan penangguhan program sertifikasi tanah desa sejak 2017 dilakukan karena adanya kekosongan hukum. “Nanti kami dimarahi Sultan. Kami menunggu payung hukumnya,” ujar Anna saat ditemui tim di Kanwil BPN DIY, Kamis, 17 Juni 2021.
Menurut Anna, Perdais Pertanahan dan Pergub Pemanfaatan Tanah Desa belum mengatur sertifikasi tanah desa menjadi milik kesultanan. “Kami sampai minta petunjuk (kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Pusat) bagaimana menindaklanjuti pensertifikatan kesultanan,” ungkapnya.
Permintaan itu disikapi Menteri ATR/Kepala BPN Pusat, Sofyan Djalil dengan mengeluarkan petunjuk teknis Nomor 4/JUKNIS-HK.02.01/X/2019 tentang Penatausahaan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten di DIY tertanggal 29 Oktober 2019. Aturan ini memuat tata cara melakukan sertifikasi tanah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. “Ini hanya untuk di DIY dan tanahnya untuk kesultanan dan kadipaten. Tidak berlaku untuk umum,” kata Anna.
Oleh Kementerian ATR, Gubernur DIY Sultan HB X juga diminta untuk membentuk tim verifikasi guna melakukan penatausahaan tanah-tanah kesultanan dan kadipaten, serta membuat laporan kajian atas verifikasi tanah tersebut. Berdasarkan Pasal 9 Perdais Pertanahan, penatausahaan meliputi inventarisasi, identifikasi, verifikasi, pemetaan dan pendaftaran tanah kesultanan dan kadipaten.
Mengacu juknis tersebut, BPN lantas berinisiatif membuat standar operasional prosedur (SOP) pelaksanaan inventarisasi. Penerbitan SOP ini bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum, keterbukaan dan tertib administrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. “SOP-nya menegaskan proses inventarisasi dan dasar hukumnya. Kami ingin BPN clear dan clean,” kata Anna sembari menerangkan bahwa sultan sudah menerima SOP tersebut pada Senin, 6 Juli 2020 lalu.
Salah satu yang ditekankan Kanwil BPN kepada pemerintah daerah ialah pengakuan hak kepada negara. Hal itu berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Menteri (permen) ATR /Kepala BPN Pusat Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
BPN sejak awal sudah menyampaikan kepada pemerintah DIY mengenai kesulitan menerbitkan sertifikat tanah desa atas nama kesultanan. Pasalnya kesultanan tidak masuk dalam dua kategori badan hukum yang diakui, yakni publik dan privat. Menurut Anna, kesultanan dan kadipaten tidak memiliki akta pendirian dan susunan kepengurusan. “Tanah itu pelik, BPN sangat berisiko. Kalau ada apa-apa yang digugat kami,” kata Anna.
Sekalipun sudah ada juknis dari Kementerian ATR, Anna menjelaskan, idealnya pemerintah desa melepaskan haknya terlebih dahulu agar menjadi tanah negara. Baru kemudian kesultanan dan kadipaten mengajukan permohonan menjadi tanah mereka, meskipun prosesnya akan panjang. “Kasultanan dan kadipaten tidak mau memohon kepada negara, karena itu tanah mereka,” ucapnya.
Sejak 18 September 2018 hingga 6 April 2019, setidaknya ada enam kali pertemuan antara Kanwil BPN DIY, pemerintah DIY, Paramparapraja atau penasihat gubernur, Paniradya Keistimewaan dan Kementerian ATR/BPN. ”Kami berulang kali membahas untuk memastikannya,” kata Anna. Dalam rapat ini tercetus agar Kanwil BPN menyurati Menteri ATR, Sofyan Djalil untuk menerbitkan petunjuk pelaksanaan pendaftaran tanah kesultanan dan kadipaten di DIY. Dua puluh tiga hari setelah rapat ke-6, Kepala Kanwil BPN DIY saat itu, Tri Wibisono bersurat kepada menteri.
Tri Wibisono yang kini menjabat Direktur Pengaturan Pendaftaran Tanah dan Ruang Kementerian ATR/BPN membenarkan adanya pertemuan itu. Menurut Tri, BPN berusaha mencarikan solusi dari konflik antara kesultanan dan kadipaten dengan pemerintah desa. “Kalau ada penolakan berarti masih ada masalah dalam tanah desa. Kami sudah berikan jalan bagaimana tata usaha dan administrasinya dilakukan. Saya yakin masih banyak yang harus diselesaikan pihak kesultanan dan kadipaten dengan pihak desa,” kata Tri kepada tim kolaborasi melalui daring, Senin 5 Juli 2021.
Sementara itu, Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian ATR/BPN, Suyus Windayana menjamin kesultanan dan kadipaten tidak mengambil tanah yang telah dimiliki desa. Sertifikasi hanya merupakan bentuk pencatatan kepemilikan hak kesultanan. “Sebetulnya tidak ada maksud kasultanan mengambil tanah. Ini sifatnya pengakuan tanah saja,” kata Suyus melalui daring, Senin 5 Juli 2021.
Staf Tepas Panitikismo, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Suryo Satrianto saat ditemui di Pasar Kebon Empring, Piyungan pada 25 Mei 2021 menyebut bahwa tanah-tanah desa yang sudah bersertifikat di atas tanah negara adalah kesalahan pencatatan. Oleh sebab itu, perlu ada pengubahan pencatatan sertifikat atas nama kesultanan. “Makanya ini mau disertifikatkan kembali, nanti tanah-tanah desa yang sudah sertifikat di atas tanah negara akan disesuaikan menjadi di atas tanah kasultanan. Berikutnya tanah-tanah yang belum bersertifikat akan diatasnamakan kasultanan,” kata Suryo.
Sementara isteri Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu Hemas mengatakan program sertifikasi dilakukan untuk menata tanah-tanah kesultanan yang selama ini belum tercatat. Program sertifikasi tanah desa, kata Hemas, merupakan tindaklanjut dari agenda keraton yang telah disusun oleh almarhum Kanjeng Gusti Pangeran haryo (KGPH) Hadiwinoto. Semasa hidupnya Hadiwinoto memegang jabatan sebagai Penghageng Tepas Panitikismo yang mengurusi tanah-tanah kesultanan. “Selama ini kan memang belum terverifikasi. Tidak ada maksud dan tujuan apa apa. Kami hanya mendata saja yang selam ini kami masih belum melengkapi dari priode ke periode,” kata GKR Hemas, Jumat, 27 Agustus 2021.
Hemas menegaskan kraton tidak akan cawe-cawe (ikut campur) terhadap proses sertifikasi tanah desa atas nama kesultanan. Orang nomor dua di kesultanan ini menjamin seluruh tanah kesultanan untuk kesejahteraan warga DIY. “Kalau yang berkaitan dengan tanah, saya kira memang kami harapkan bahwa penggunaan tanah di DIY betul-betul bukan untuk bisnis semata. Tapi juga kepentingan yang lain. Saya kira ini juga perlu penataan tanah keraton masih perlu diperbaiki lagi,” kata Hemas.
Corat-coret Tanpa Pengadilan
Kepala Desa Sidoluhur, Kapanewon Godean, Kabupaten Sleman, Aji Arya terhenyak karena desanya ditunjuk menjadi salah satu desa percontohan mewakili Sleman dalam sertifikasi tanah desa pada akhir 2020. Menurut Arya, pihaknya diminta Dispertaru Sleman dan Dispertaru DIY untuk menguji jalannya juknis yang telah dikeluarkan Kementerian Agraria.
Sebanyak 130 bidang atau setara dengan 45 hektare tanah desa Sidoluhur yang telah bersertifikat diserahkan kepada BPN Sleman. Namun baru 50 bidang atau 15 hektare yang status kepemilikannya diubah. “Kami hanya mengikuti apa yang menjadi arahan dari dinas. Proses selanjutnya belum tahu, bagaimana sampai dengan saat ini,” kata Arya saat ditemui, Rabu 25 Mei 2021.
Dari dokumen sertifikat tanah desa Sidoluhur hasil proses penatausahaan tanah kesultanan yang diperoleh tim kolaborasi, diketahui bahwa sebelum sertifikasi pada 2020, pemerintah desa telah melakukan sertifikasi sejak 2003. Pada kolom subjek pemegang hak tanah dalam sertifikat 2003 itu tertulis nama “Pemerintah Desa Sidoluhur” dengan masa berlaku pemakaian selama digunakan. Dalam kolom petunjuk juga tertulis “xxx xxx xxx Tanah Negara bekas hak adat persil xxxxx/xxxxx, xxxxx/xxxxx/2003, NB/xxxxx/2003”.
Program sertifikasi pada 2020 kemudian mengubah hak tanah desa menjadi tanah milik Kasultanan Yogyakarta yang dibukukan dalam perubahan sertifikat. Tak hanya itu, kolom petunjuk yang awalnya bertuliskan “negara bekas” diduga dicoret, sehingga hanya terbaca “tanah hak adat persil xxxxx/xxxxx, xxxxx/xxxxx/2003, NB/xxxxx/2003.” Dalam sertifikat yang dicoret itu, tampak paraf seperti huruf “p” kecil.
Pencoretan tersebut dianggap bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang mengharuskan pencoretan sertifikat melalui pengadilan.
Kepala BPN Sleman, Bintarwan Widiasto saat dikonfirmasi menyatakan tidak pernah mencoret sertifikat tanpa izin pengadilan maupun atas permintaan pemilik hak. “Itu saya tidak tahu siapa yang mencoret. Sertifikatnya di sana dicoret, saya tidak mengerti,” kata Bintarwan ditemui, Kamis 24 Juni 2021.
Bintarwan pun menunjukkan arsip Buku Tanah Desa Sidoluhur yang telah berisi pencatatan nama kesultanan. Pada sertifikat tersebut tidak ada pencoretan frasa “negara bekas.” Ia menduga pencoretan dilakukan oleh dinas yang menyimpan sertifikat, dalam hal ini Dispertaru Sleman. “Data asli pada kami tidak dicoret. Yang inilah digunakan kami. Hampir semua sertifikat tidak ada coretan,” ujarnya.
Sebaliknya, Kepala Seksi Penatausahaan Pertanahan Dispertaru Sleman, Yuli Nastiti saat dikonfirmasi justru melimpahkan kasus pencoretan itu kepada BPN Sleman. Ia menyatakan tidak tahu-menahu perihal pencoretan sertifikat tanah desa. “Saya juga tidak tahu alasannya. Kami juga sudah berbicara dengan provinsi. Ini di luar kewenangan kabupaten,” ujarnya.
Kepala Bidang Pertanahan Kantor Wilayah BPN DIY, Anna Prihaniawati juga membantah institusinya terlibat dalam pencoretan tersebut. Menurutnya, penyebab pencoretan biasanya ada beberapa hal, seperti karena salah luasan atau pun salah dalam pencatatan. Setiap kesalahan selalu dibubuhkan paraf oleh pihak BPN untuk menegaskan adanya kesalahan dalam administrasi. “Saya malah tidak mengerti ini, yang coret bukan saya,” kata Anna.
Sementara itu, BPN Pusat belum mengetahui adanya pencoretan sertifikat. Direktur Pengaturan Pendaftaran Tanah dan Ruang Kementerian ATR/BPN Pusat, Tri Wibisono akan melakukan verifikasi sertifikat tersebut. “Kami perlu identifikasi dulu mengapa “negara bekas” dicoret. Bisa jadi ada tim inventarisasi menemukan tanah itu merupakan tanah kasultanan. Jadi dicoret dan disesuaikan,” kata Tri Wibisono.
Dalam laporan Dispentaru DIY, hingga Juli 2020 total tanah desa yang sudah disertifikatkan mencapai 12.323 bidang. Sementara yang belum disertifikatkan sebanyak 3.733 bidang. Tanah desa yang diklaim milik kesultanan itu tersebar di Bantul sebanyak 15.743 bidang, Kulon Progo (4.156 bidang), Gunungkidul (10.882), Sleman (19.498). Dispentaru menargetkan sertifikasi tanah desa atas nama kesultanan pada 2021 sebanyak 3.7733 bidang.
Sedangkan BPN Sleman telah mendata 19.498 bidang tanah desa di seluruh Sleman hingga Juli 2021. Dari data tanah tersebut sebanyak 7.000 tanah desa telah disertifikatkan. Sekitar 4.600 sertifikat diidentifikasi sebagai tanah kesultanan. Menurut Bintarwan, jumlah tanah kesultanan yang akan disertifikatkan akan bertambah. “Sampai saat ini nambah terus. Ini belum selesai, masih akan jalan,” ujarnya.
Total tanah yang didaftarkan sebagai tanah kesultanan ke BPN berkisar 30 ribu hektare atau sekitar 11, 2 persen dari luas DIY. Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian ATR/BPN, Suyus Windayana menyatakan bahwa pembuatan juknis merupakan upaya pemerintah mencari bentuk pengelolaan administrasi pertanahan di DIY. “Saya pikir kasultanan tidak menuntut uang. Mereka hanya ingin tanahnya diakui kembali. Jika juknis dirasa lemah, kami bisa melakukan kajian kembali,” pungkas Suyus.
Pengamat pertanahan dari Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Ahmad Nashih Lutfhi menilai proses sertifikasi tanah desa menjadi milik kesultanan telah mengubah sekaligus bertentangan dengan konstruksi hukum yang telah diatur dalam UU PA. Menurut dia, petunjuk teknis yang dikeluarkan Menteri ATR/Kepala BPN Pusat sebagai dasar hukum sertifikasi tanah milik kesultanan tidak cukup. “Ada anomali dalam sertifikasi tanah kasultanan dan kadipaten di DIY,” kata Lutfi.
Sertifikat semacam itu, menurut Lutfhi tidak akan pernah diakui oleh UU PA maupun Permen ATR Nomor 9 Tahun 1999, sehingga tak dapat digunakan sebagai bukti kepemilikan yang sahih. “Kalau dalam konstruksi hukum normatif, tidak diakui. Ada standar ganda (hukum pertanahan),” kata Lutfi.
Senada dengan Lutfi, Guru Besar Tata Negara Fakultas Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII), Ni’matul Huda menilai dasar hukum dari penerbitan petunjuk teknis dan Pergub DIY tentang Pemanfaatan Tanah Desa untuk proses sertifikasi tidak tepat. Sebab petunjuk teknis berkaitan dengan prosedur saja, sedangkan legalitasnya tidak diakui dalam aturan hukum. “Mengubah (sertifikat) tanah desa tidak boleh pakai juknis,” kata Ni’matul Huda kepada tim kolaborasi melalui daring, Senin, 14 Juni 2021.
Pengajar hukum tata negara ini menilai sertifikat tanah desa yang sudah dialihkan menjadi atas nama kesultanan dapat dikatakan cacat prosedur. Semestinya, menurut Ni’matul, ada aturan lebih tinggi dari pergub, seperti peraturan daerah maupun peraturan menteri yang tidak bertentangan dengan aturan hukum pertanahan. “Secara hukum ini lemah. Ini persoalan serius,” pungkasnya.
Tim hukum keraton, Aciel Suyanto meminta kepada pihak yang keberatan dengan program sertifikasi tanah desa atas nama kesultanan untuk menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Jadi jangan menyimpulkan dasar hukumnya lemah. Silahkan diuji saja di Mahkamah Konstitusi. Kami tunggu kalau memang perlu ada yang mengatur seperti itu,” kata Aciel dalam wawancara melalui daring, Rabu 1 September 2021.
Ia menyakinkan bahwa program sertifikasi tanah desa bukanlah upaya kesultanan untuk mengambil tanah desa maupun tanah warga. “Wong asal usulnya dari dulu memang tanah kasultanan. Nanti di atas sertifikat hak milik kasultanan itu diberikan hak kepada desa. Bentuknya hak guna bangunan, hak pakai, hak kelola,” ia menambahkan.
Artikel berjudul “Main Coret Atas Nama Kesultanan” merupakan naskah kedua dari tiga artikel yang menyoroti pengalihan tanah desa kepada kesultanan Yogyakarta. Sebelumnya kami menerbitkan “Sisa Masalah Penyewaan Tanah Desa.” Naskah ini merupakan hasil dari kerja bersama sejumlah media, antara lain Kompas.com, Suara.com, Project Multatuli dan Tirto.id.