Jakarta, JARING.id – Kompetisi Indonesia Data Driven Journalism (IDDJ) kembali digelar untuk ketiga kalinya. Lomba yang ditujukan kepada jurnalis media cetak, elektronik, radio dan humas lembaga ini mengusung tema “Memotret Akuntabilitas Layanan Publik dan Pemilihan Umum”.
“Kita memasuki pesta demokrasi. Jurnalis dan pemerintah harus mencegah penyebaran hoaks melalui karya jurnalis berbasis data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan,” kata Robertus Theodore, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden dalam sambutan peluncuran kompetisi IDDJ, Rabu 14 Maret 2018 di JSC Hive Jakarta.
Acara peluncuran IDDJ 2018 diisi dengan diskusi bertema sama yang menghadirkan tiga pembicara, yakni Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Abdul Manan; Direktur Analisis dan Pengembangan Statistik Badan Pusat Statistik (BPS), Sentot Bangun Widoyono; dan Kepala Jakarta Smart City , Setiaji.
Indonesia Data Driven Journalism adalah agenda rutin yang diselenggarakan Kantor Staf Presiden melalui Satu Data Indonesia, AJI dan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) melalui Jaringan Indonesia untuk Jurnalisme Investigasi (JARING). Tujuannya mengenalkan dan mempromosikan pentingnya pengolahan data dalam jurnalisme di Indonesia.
Abdul Manan mengatakan, peliputan akuntabilitas layanan publik dan pemilihan kepala daerah yang akan berlangsung tahun 2018 dengan berbasis data sangat bermanfaat bagi masyarakat. Dengan peliputan berbasis data, masyarakat dapat dilibatkan untuk menilai janji kampanye atau tawaran program dari kandidat dengan berpijak dari data. “Sehingga pilihan politik pemilih tidak berdasarkan sentimen identitas semata, melainkan berdasarkan visi dan misi kandidat yang terukur,” katanya.
Selain itu jurnalisme berbasis data juga harus dikembangkan karena lembaga-lembaga pemerintah sudah mulai menyediakan data dalam format yang bisa diolah. Data-data itu akan bermakna dan berguna dalam pembuatan kebijakan jika jurnalis mampu mengolah, menganalisis dan menggunakannya sebagai dasar peliputan.
Dari “Jurnalisme Klik” ke Jurnalisme Data
Manan juga menyebut perkembangan media berbasis online tidak terelakkan. Namun kebanyakan media online masih mengandalkan klik dan kecepatan dengan fokus berita sensasi dari pada berita bermutu. Padahal Profesor Thomas E Patterson dari Universitas Harvad pernah mengeluarkan penelitian media online di Amerika yang tidak mampu bersaing dengan media sosial terkait dengan kecepatan sehingga mereka beralih menjadi berita “long form”.
“Kalau hanya mengandalkan berita empat paragraf kita kalah jauh dari medsos,” katanya.
Perkembangan jurnalisme online dan era big data sebenarnya mendukung jurnalisme data. Apabila berita cepat hanya mengiformasikan, berita “long form” mengarahkan dan memberikan panduan kepada publik. Ini fungsi penting yang harusnya dijalankan media.
Misalnya dalam meliput kampanye, jurnalis harusnya tidak hanya melaporkan bagaimana kampanye itu berlangsung. Namun juga mengonfrontasi apa yang disampaikan kandidat.
“Benarkan pengangguran tinggi, atau tingkat pertumbukan ekonomi menurun? itu bisa dilakukan dengan mengecek data di BPS. Data yang tersedia secara masif sangat bisa dimanfaatkan karena kita tidak hanya menyampaikan, apalagi hanya melaporkan pencoblosan tapi melakukan tren dengan membaca data. Setelah membaca data kita baru melakukan peliputan, itu baru namanya data driven journalism,” kata Manan.
Sejauh ini, Manan mengatakan lembaga pemerintah yang paling banyak mengeluarkan data adalah BPS. Akan tetapi banyak data belum tersedia dalam format yang bisa diolah dan masih bersifat makro.
Kebanyakan jurnalis juga belum familiar dengan excel dan pengolahan data. Apalagi jika data yang tersedia perlu kemampuan khusus untuk mengolah dan menyajikannya. Tahun 2017, AJI pernah melakukan pelatihan data di lima kota. Masalah umum yang dihadapi adalah rendahnya kemampuan jurnalis menggunakan excel, format data yang tidak mudah diolah serta sulitnya mendapatkan data di daerah.
“Namun bagaimanapun kebijakan redaksi juga menjadi tantangan bagi jurnalis yang ingin mencoba mempraktikkan jurnalisme data karena untuk menghasilkan karya berbasis data memerlukan waktu dan biaya. Hal ini dianggap kurang ekonomis oleh media-media online,” katanya.
Sentot Bangun Widoyono, mengatakan, sejak awal tahun BPS sudah mengeluarkan daftar data yang akan dirilis beserta bulan dan tanggalnya. Juga tersedia tabel dinamik yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan data apa yang diperlukan.
Namun sebelum melakukan analisis, Sentot mengingatkan agar jurnalis juga memahami asal data dan metode analisisnya. Selama ini salah satu yang menjadi kelemahan jurnalis dalam mengolah data BPS adalah tidak memahami data dan metodenya sehingga salah mengambil kesimpulan.
Dalam mengumpulkan data, BPS menggunakan pendekatan makro yang artinya data yang digunakan tidak berangkat dari data individual yang dikumpulkan menjadi data aggregat. Akan tetapi BPS menggunakan sampel dengan data basis nasional.
“Kalau berangkat dari anggaran APBN yang dikelola BPS, kita tidak sampai menghitung ke sana (daerah)”, katanya.
Terkait adanya kasus perbedaan data antara BPS dan daerah, Sentot menilai hal tersebut terjadi karena undang-undang memberikan kewenangan kepada banyak lembaga untuk mengolah data. Saat ini KSP, BPS dan Bappenas sedang membangun One Data Policy agar pengolahan data di daerah dan nasional bisa sinkron.
Dalam konteks pemilu, Sentot juga mengingatkan agar jurnalis mengevaluasi lembaga survei yang sering mengeluarkan data. Hal ini bisa dilakukan dengan melihat apakah sampel yang digunakan lembaga survei merata atau tidak. Sampel yang semakin merata akan semakin akurat.
Agar pesan sampai kepada masyarakat dengan baik, Setiaji dari Jakarta Smart City juga mengatakan jurnalis perlu menampilkan pesan dengan menarik. Selain data tabel, jurnalis perlu menghadirkan data dalam visual dan infografis. [Debora Blandina Sinambela]