Listrik Murah dari Gunung Halimun 

Desa Kasepuhan Adat Gelaralam adalah satu contoh bagaimana energi baru terbarukan dapat memenuhi kebutuhan listrik warganya. Sejak lama, komunitas adat di Kabupaten Sukabumi ini memanfaatkan arus sungai di desanya untuk mengubah energi kinetik melalui turbin crossflow menjadi listrik murah ke rumah-rumah warga.  

 


DARI salah satu rumah yang berada di tepian sawah luas itu terlihat seorang laki-laki bernama Ana tengah bersiap untuk pergi berladang. Dikenakannya baju pangsi hitam beserta ikat kepala atau udeng. Tak lupa ia menyampirkan kaneron—tas khas Sunda yang terbuat dari anyaman rotan, di pundak. Sementara arit diselipkannya di pinggang sebelah kiri saat kami temui pada Minggu pagi, 25 Mei 2025.

Ana adalah warga Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Desa ini berada di Kasepuhan Gelaralam—sebelumnya bernama Ciptagelar, yang berada di ketinggian sekitar 800-1.200 meter di atas permukaan laut. Dari Jakarta, desa ini berjarak sekitar 172 kilometer.

Belum lagi berjalan menuju sawah tiba-tiba telepon genggam Ana berdering dari dalam kaneron. “Maaf saya angkat telepon dulu,” ujarnya kepada Jaring.id. Di ujung telepon adalah seorang warga yang mengeluhkan kejadian semalam di mana lampu di rumahnya tak menyala terang seperti biasanya.

“Iya, sae. Enggeus tak cek,” jawabnya dengan Bahasa Sunda.

“Saya sudah terbiasa terima telepon warga yang mengeluhkan listrik,” ia menambahkan setelah menutup panggilan telepon.

Di samping bekerja sebagai petani, sehari-hari Ana adalah petugas yang bertanggungjawab mengurus Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMh) di desa itu sejak 3 tahun lalu. Sebutannya adalah Kelompok Manintin—nama kelompok diambil dari nama burung yang habitatnya berada di sekitar aliran sungai pegunungan. “Wajar listriknya nggak kuat. Ini arus listriknya memang lagi ada masalah,” Ana menunjuk amperemeter analog berwarna merah yang ada di rumahnya.

Dengan menilik indikator sederhana itu, Ana mengurungkan niat ke ladang dengan bergegas ke lokasi turbin PLTMh. Letaknya tak jauh dari bendungan Cisolok. Perjalanan dari rumah Ana menuju PLTMh membutuhkan waktu sekitar 30 menit menggunakan sepeda motor. Kali itu Ana menggunakan motor Honda CB 150 Verza. Kami harus melalui kondisi jalanan yang terjal penuh bebatuan, licin karena lumpur akibat hujan semalam. Motor yang ditunggangi Ana pun beberapa kali oleng tergelincir di tengah kabut.

Saat Jaring.id ke sana, desa yang terletak di kawasan Gunung Halimun itu memang terus menerus diguyur hujan. Temperatur suhu di layar ponsel bisa anjlok di bawah 20 derajat celcius. Udara sejuk bertambah dingin saat motor Ana melaju merangsek ke dalam hutan.

Sesampainya di bendungan Cisolok, Ana membersihkan bendungan sedalam tiga meter dari dedaunan dan bambu yang berpotensi menghambat arus aliran sungai. Bendungan ini mengambil air dari hulu Sungai Cisolok. Debit airnya sedang dan cocok untuk PLTMh. Air kemudian dialirkan melalui pipa sepanjang 30 meter ke rumah turbin, yang menggunakan turbin crossflow–jenis turbin yang biasa dipakai untuk PLTMh berkapasitas kecil hingga menengah, yaitu di bawah 100 kW.

Pembersihan bendungan dari sampah yang berasal dari hulu sungai Cisolok dilakukan oleh Ana sebagai petugas pengurus PLTMh. Foto: Indah

Menurut Ana, bendungan tersebut adalah satu dari empat PLTMh di Kasepuhan. Mula-mula turbin Cicemet dibangun pada 1997. Turbin kapasitas 50 kVa tersebut dibangun oleh Badan Kerjasama Internasional Jepang, JICA.

Setelah turbin Cicemet, turbin Situ Murni dengan kapasitas 50 kVa dibangun oleh Pemerintah Jawa Barat pada 2006-2012. Kemudian PLTMh Cibadak dan Ciptagelar pada 2013-2014. Semua turbin ini, kata Ana, memanfaatkan aliran Sungai Cisolok. Sungai ini menjadi sumber utama PLTMh yang memasok listrik ke sekitar seribuan rumah di desa ini. “Sementara PLTMh ini bisa menerangi 105 rumah,” jelas Ana sembari menunjukan turbin berkelir oranye, biru dan kuning.

Di Desa Sirnaresmi terdapat tiga kasepuhan yang memilih menggunakan PLTMh sebagai sumber listrik utama, yakni Kasepuhan Sukamulya, Kasepuhan Ciptagelar, dan Kasepuhan Gelar Alam. Masing-masing kasepuhan menggunakan satu turbin. “Namun turbin yang berada di wilayah Kasepuhan Sukamulya dinamonya rusak karena tersambar petir pada 2018,” kata dia merujuk pada kasepuhan yang berjarak 3 kilometer dari Gelaralam.

Baru-baru ini juga terjadi longsor di sekitar bendungan yang menyebabkan aliran air ke PLTMh terhambat. Akibatnya warga kembali mengandalkan lampu canting sebagai penerangan selama dua bulan. “Selama Mei 2025 ini sudah dua kali turbin mengalami masalah,” kata Ana.

Menurut Ana, warga sudah berusaha untuk memperbaiki PLTMh yang rusak, tapi ongkos yang diperlukan terlalu besar. Uang yang dikumpulkan warga pun belum cukup. Kata dia, biaya untuk memperbaiki dinamo turbin sekitar Rp 25 juta. Harga tersebut belum termasuk ongkos kirim dari Jakarta ke desa yang diprediksi tak murah. “Jalan ke sini juga tidak mudah untuk dilalui,” ungkapnya.

Perusahaan Listrik Negara (PLN) sempat menawarkan untuk melakukan ekstensi jaringan distribusi listrik ke wilayah kasepuhan. Terlebih di Desa Sirnaresmi sudah lebih dulu menggunakan listrik dari PLN sejak 2024. Namun tawaran menggunakan listrik dari PLN tersebut mendapat penolakan keras dari Kasepuhan Ciptagelar dan Kasepuhan Sukamulya.

Pasalnya harga yang ditawarkan oleh PLN untuk penyambungan jaringan baru sejauh 15 kilometer dari wilayah terdekat dihargai Rp 10 juta, sedangkan memasang kabel dari turbin PLTMh ke rumah hanya Rp 100 ribu. Biaya perbulan yang harus dibayarkan pun terlampau tinggi. Warga Sirnaresmi sedikitnya mengeluarkan biaya Rp 200 ribu per bulannya untuk menikmati listrik dari PLN. Sedangkan iuran bulanan saat memanfaatkan PLTMh jauh lebih murah.

Warga yang menggunakan PLTMh hanya dikenai biaya sebesar Rp 500 per KWh. Jika menggunakan dua lampu masing-masing 10 watt dan beban listrik lain seperti charger handphone atau kipas angin, maka warga hanya perlu mengeluarkan iuran Rp 20 ribu selama sebulan. Biaya pemakaian televisi dikenakan Rp 10 ribu. Dengan begitu, maka total pengeluaran setiap rumah akan berbeda, tergantung pemakaian. “Kalau pakai PLN nggak bisa nunggak. Pakai turbin mah bisa nunggak, ada yang sudah setahun nggak diputus,” kelakar Ana.

Kini setelah turbin PLTMh rusak, warga harus mengeluarkan uang lebih mahal. Umi Kusumawati, misalnya, sampai harus memanfaatkan generator untuk menghidupi listrik di rumahnya. Biaya yang dikeluarkan untuk 3 jam generator selama sebulan sebesar Rp 900 ribu. Biaya sebesar itu digunakan Umi untuk membeli solar sejauh sekitar 40 kilometer dari tempat tinggalnya.

Sedangkan mayoritas warga kembali mengandalkan lampu canting. Pekerjaan rumah yang membutuhkan listrik, seperti menyetrika kerap dilakukan di Imah Gede atau kediaman Umi. “Kita memang tidak bergantung sama listrik. Listrik ada hanya sebagai penerangan dan penghiburan saja. Tapi kalau kondisi turbin rusak selama itu juga bikin pusing,” ujar Umi.

Adanya PLTMh di Kasepuhan Ciptagelar tidak terlepas dari perjalanan panjang yang dilalui oleh almarhum Encup Sucipta atau dikenal dengan nama Abah Anom. Usianya saat itu baru 21 tahun. Pada awalnya, masyarakat adat tidak terjangkau listrik dari pemerintah karena kondisi geografis kasepuhan yang sulit dijangkau. “Dulu Aki ngandelin lampu canting aja karena kasepuhan gelap. Nggak bisa dengar radio,” ujar Aki Arsan yang sudah berusia 55 tahun dan mengikuti ngalalakon, tradisi pemindahan pusat pemerintahan kasepuhan yang merupakan bagian dari sistem kepercayaan adat.

Genetaror, rumah turbin, dan panel kontrol yang berada di ruang instalasi untuk menyuplai listrik di kasepuhan Gelaralam. Foto: Indah

PLTMh pertama dirintis oleh Abah Anom di Kampung Ciptarasa pada 1988, sebelum berpindah ke Ciptagelar pada 2001. Saat itu mikrohidro yang didirikan masih berupa pembangkit listrik tenaga air sederhana yang memanfaatkan kincir kayu sebagai alat penggeraknya. Meski demikian, energi listrik yang dihasilkan sudah cukup untuk menerangi sekitar 55 rumah warga.

Setelah berhasil merintis pembangkit listrik pertamanya, Abah Anom kembali membangun pembangkit listrik kedua di Kampung Cicemet yang ditargetkan dapat menerangi ribuan rumah warga tiga tahun berselang. Target Abah Anom saat itu tak main-main. Ia hendak membangun turbin dengan kapasitas 30.000 watt yang mengandalkan debit air berlimpah dari berbagai sumber mata air dan sungai di kasepuhan yang hutannya masih terjaga. Tetapi warga hanya dapat memanfaatkan listrik selama satu tahun karena turbin rusak dan butuh biaya besar untuk memperbaikinya.

Setelah bertahun-tahun mangkrak, Abah Anom akhirnya berhasil mendapatkan dukungan dari Kedutaan Besar Jepang untuk membangun instalasi PLTMh pada 1997.  Sebuah rekaman video amatir yang masih disimpan CIGA TV–jaringan televisi lokal adat Ciptagelar, menunjukkan bagaimana mobilisasi warga mengular sambil membawa semen, batu, tiang listrik, beserta pelbagai peralatan. Sejak itu, kasepuhan Ciptagelar sanggup memasok listrik hingga 60.000 watt bagi warganya.

Meski demikian, tak semua rumah warga kasepuhan saat itu teraliri listrik. Abah Anom sendiri mangkat pada 2007 dan digantikan oleh anaknya, Abah Ugi Sugriana Rakasiwi yang masih berusia 22 tahun.

Pemimpin kesebelas kasepuhan ini yang kemudian berkomitmen untuk mengembangkan kemandirian energi setelah kepergian ayahnya. Ia ingin tiap rumah warga diterangi lampu dan bisa menikmati listrik selama 1×24 jam seperti di Imah Gede, tempat tinggal Abah Ugi. Di sana, tidak sulit menemukan TV, kulkas, lampu, hingga CCTV. Meskipun waktu di ponsel sudah menunjukkan Pukul 20:42 WIB, suasana Imah Gede masih ramai diisi oleh warga yang sedang berjaga.

Berbagai peralatan elektronik dan komputer memenuhi ruang kerja Abah Ugi, semacam handy talky berada di sebelah kanan singgasana. Dari sana terdengar laporan mengenai keadaan desa. “Abah cuma modal dengkul, ke sana kemari menghubungi PLN. Pak tolong masukin listrik ke kampung saya, tapi selalu ditolak,” cerita Abah Ugi.

Sebab itu, Abah Ugi tidak bisa tidak untuk memperluas jaringan listrik di desanya. Listrik yang dihasilkan, menurut Abah, tidak hanya bersumber dari PLTMh tetapi juga tenaga surya. Dengan begitu, sudah lebih dari cukup untuk  menghidupkan pelbagai perangkat elektronik. Mulai dari komputer, sound system, berbagai alat musik hingga pemancar. Dari situ pula jaringan televisi lokal sendiri yang diberi nama Ciga TV dapat beroperasi. Dalam Bahasa Sunda, “ciga” artinya “seperti.” “Jadi artinya seperti tv,” ucap Yoyo Yogasmana, seniman yang memutuskan untuk menetap di Ciptagelar.

Tak hanya jaringan televisi adat, Radio Swara Ciptagelar FM, dan  jaringan nirkabel internet pun kini memungkinkan beroperasi karena memanfaatkan aliran listrik yang telah diinisiasi Abah Anom. Butuh waktu 10 tahun bagi Abah Ugi untuk menyambung jaringan komunikasi agar warga desa bisa mengakses informasi dari luar kasepuhan. Abah Ugi mengumpulkan perangkat bekas dari komunitas radio amatir dan menghubungi mereka yang memiliki antena atau komputer tidak terpakai. Dengan semangat gotong royong, beliau berhasil membangun infrastruktur komunikasi yang kini melayani 500 rumah di wilayah Kasepuhan.

Pemancar media komunikasi ini bersumber dari PLTS yang berkapsitas 200 WP, PLTS juga dimanfaatkan sebagai penerangan jalan umum atau ketika PLTMh sedang tidak bisa digunakan, PLTS ini mampu menerangi dua atau tiga rumah selama semalam jika turbin utama mengalami kendala.

Selanjutnya, pada tahun 2011, Abah Ugi membangun turbin PLTMh berkapasitas 9.750 watt untuk Kampung Sukamulya. Ketersediaan mesin generator, panel instalasi, pipa, dan saluran air kala itu dibantu oleh perusahaan otomotif yang sedang berkegiatan di Kasepuhan Ciptagelar dengan memanfaatkan debit air Sungai Cibarengkok.

Di tahun yang sama, Kasepuhan Ciptagelar berhasil memiliki tambahan pasokan energi listrik sebanyak 5.000 watt di musim kemarau dan 8.000 watt di musim penghujan untuk memenuhi kebutuhan warga di kampung Sukamulya. Besaran daya listrik tersebut sudah cukup menerangi 66 rumah yang mayoritas menggunakan dua lampu dan satu televisi.

Kemandirian energi dengan memanfaatkan sumber terbarukan seperti di Kasepuhan Gelaralam musykil dilakukan masyarakat yang mengeksploitasi alam. Ini adalah buah dari prinsip masyarakat adat yang berkomitmen menjaga lingkungan di sekitar Gunung Halimun.

Aki Karma yang merupakan kelompok Baris Kolot—warga yang menerima tugas untuk menjaga lingkungan secara turun-menurun, menjelaskan bahwa Kasepuhan Ciptagelar, punya aturan sendiri soal hutan larangan, hutan titipan dan hutan Garapan seperti masyarakat adat lain. Mereka punya batas lokasi dan waktu tersendiri, kapan lahan boleh dibuka, ditanami, dan bagaimana ia dikembalikan lagi menjadi seperti semula. Hal ini yang berdampak positif bagi perkembangan energi baru terbarukan di Gelaralam.

Kudu bisa ngigelan jaman, tapi ulah kabawa ku jaman,” ucap Aki Karma yang kira-kira artinya adalah perlu mengikuti jaman dengan tanpa terbawa jaman.

Aki Karma kini sudah berusia 75 tahun. Di tengah perkembangan teknolog informasi saat ini, ia tak segan mengingatkan warga terus menerus untuk selalu mengawasi hutan di sekitar mata air agar tidak dimasuki penebang liar. Untuk menjaga ketersediaan air, pohon-pohon kayu besar dilarang ditebang di wilayah leuweung tutupan tempat hulu sungai Cisolok berada.

“Jangan ditebang. Kita harusnya nambah pohon karena PLTMh juga butuh air. Semua aktivitas di kehidupan ini butuh air. Alam marah kalau kita rusak. Alam selalu mengembalikan apa yang sudah kita kasih,” jelasnya saat ditemui menggunakan pakaian hitam-hitam dan udeng.

Lambat Laju Bauran Energi Baru Terbarukan

RUMAH I Gusti Ngurah Murgayasa yang berada di Jalan Bugugan Sari, Gang solar Banjar Bubungan, Senganan, Kabupaten Tabanan, Bali mendadak dikerumuni warga saat terjadi pemadaman

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.