Konferensi Jurnalisme Investigasi Asia: Dari Pulitzer hingga Grup Musik

JAKARTA, JARING.ID – Konferensi Jurnalisme Investigasi Asia ke-2 akan digelar 23-25 September di Kathmandu, Nepal, dengan tuan rumah Centre for Investigative Journalism (CIJ) Nepal. CIJ adalah salah satu pusat peliputan investigasi nirlaba tertua di dunia yang juga aktif mendukung pelatihan, peliputan, dan memperkenalkan liputan investigasi di media-media Nepal.

Sama halnya dengan konferensi pertama yang digelar di Filipina dua tahun lalu, dalam konferensi ini akan hadir pemateri yang kapasitasnya tidak diragukan. Sedikitnya ada 80 pemateri dari berbagai belahan dunia yang berpengalaman di bidang jurnalisme investigasi, jurnalisme data, hukum media dan keamanan.

Acara ini menggelar lebih dari enam puluh sesi menarik serta acara spesial lainnya. Ada panel yang akan mengungkap fakta-fakta online yang tersembunyi, lingkungan, bisnis dan bagaimana mendanai liputan, seminar mengenai keamanan dan melacak dana gelap, workshop data jurnalisme dan masih banyak lagi.

Di antara pemateri, ada yang pernah menerima penghargaan Pulitzer untuk karya yang dihasilkan. Sebut saja Walter V Robinson, editor Boston Globe yang memimpin Tim Spotlight mengungkap skandal pelecehan seksual yang dilakukan dalam lingkungan gereja katolik. Liputan mereka selama kurang lebih 1,5 tahun diganjar Pulitzer untuk pelayanan publik 2003.

Editor Investigasi perlu kemampuan semacam pengorganisasian, perlindungan, dan memotivasi reporter investigasi yang sulit dikendalikan. Itu hanya terjadi di ruang redaksi. Di samping itu, mereka juga kerap menghadapi gugatan, tekanan perusahaan, aturan hukum dan tantangan lain. Walter akan bicara bagaimana manajemen redaksi untuk liputan investigasi.

Di panel yang sama dengan Walter, redaktur pelaksana divisi investigasi Tempo Philipus Parera berkesempatan bicara bagaimana Tempo menghadirkan liputan investigasi. Tempo merupakan satu-satunya media Indonesia yang ikut dalam pengerjaan Panama Papers. Seperti apa mekanisme kerja serta tantangan yang dihadapi divisi investigasi Tempo sejak 2000.

“Paling tidak kita ketemu dan sharing dari sisi manajemen dan teknik. Bagaimana mengakali orang yang sedikit,” katanya dalam sebuah wawancara dengan JARING beberapa waktu lalu.

Liputan investigasi perbudakan Nelayan di Benjina, Maluku Tenggara, mendapat penghargaan Pulitzer tahun 2016 untuk pelayanan publik. Esther Htusan, jurnalis Associated Press asal Myanmar yang ikut dalam investigasi ini akan menjadi pembicara dalam panel mengekspos perdagangan manusia dan perbudakan. Faktanya, jutaan orang masih terjebak dalam kerja paksa, pekerja asing yang jadi korban perdagangan manusia dan dipaksa masuk dalam dunia prostitusi.

Malini Subramaniam, penerima CPJ International Press Freedom Awards 2016 juga akan mengisi panel peliputan daerah konflik. Malini pernah menjadi jurnalis di “Koridor Merah” yang menulis berita tentang kekerasan polisi dan tentara, kekerasan seksual terhadap perempuan dan pemenjaraan anak-anak, penutupan sekolah-sekolah, pembunuhan sewenang-wenang, dan ancaman terhadap para wartawan di kawasan wilayah Bastar di negara bagian Chhattisgarh– pusat konflik antara Maoist dan pasukan keamanan. Kontributor untuk situs berita Scroll.In itu pernah diinterogasi, dilecehkan oleh polisi dan anggota kelompok anarkis propolisi, terkait peliputan kritisnya tentang pelanggaran HAM dan politik.

Panama Papers

Akan ada satu panel khusus dengan media Asia yang bergabung bersama International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) dalam mengungkap Panama Papers. Kepala pusat data dan penelitian ICIJ Spanyol Mar Cabra akan hadir dalam panel ini. Divisi yang dipimpin merupakan kunci pengerjaan data, serta mengembangkan alat-alat untuk kolaborasi jurnalisme investigasi. Mar pernah menerima penghargaan Spanish Larra Award tahun 2012.

Panel yang dinamai The Panama Papers-Lessons Learned and The Road Ahead ini, juga akan diisi sederet nama seperti Yasuomi Sawa (Deputi Editor Kyodo News, Jepang), Ritu Sarin (Eksekutif Editor Indian Express), Umar Cheema (reporter investigasi The News),dan Wahyu Dhyatmika (Editor Tempo dan anggota AJI). Wahyu pernah terlibat investigasi dalam dan luar negeri seperti Swiss Leaks dan Panama Papers.

Panel khusus mengenai data dan bagaimana pemanfaatannya untuk investigasi sangat sayang dilewatkan. Tidak hanya bicara teori, peserta juga diminta untuk melakukan demonstrasi data. Belajar menggunakan Excel dan menemukan cerita yang bisa diungkapkan data-data yang tersebar hanya menggunakan beberapa klik.

Kepala Penelitian dan Publikasi Katadata, portal berita online ekonomi dan bisnis, Adek Media Roza, dipercaya sebagai salah satu pembicara di panel tentang bagaimana menemukan data untuk Asia serta visualisasi data. Adek akan berbagi teknik pengumpulan data yang dilakukan Katadata, yaitu kolaborasi dengan masyarakat sipil.

“Saya akan cerita soal proyek data box dan kerja sama open tender dengan Indonesia Corruption Watch,” kata Adek.

Adek akan membicarakan soal pengumpulan data dan visualisasi, sumber daya alam, dan industri minyak sawit. Ia juga akan sampaikan bagaimana memilih angle visualisasi sehingga hasilnya akan lebih mudah dipahami masyarakat.

Kutumba

Masih banyak sesi menarik dan pembicara hebat lainnya. Konferensi ini juga tepat untuk mendapat ide segar serta teknik-teknik terbaru. Namun sering sekali dampak paling besar konferensi ini justru muncul dalam ruang-ruang informal seperti percakapan di jalan masuk aula, restoran maupun bar.

Konferensi ini didesain agar peserta punya waktu membangun jaringan. Panitia memberikan waktu istirahat 30 menit antar sesi sehingga peserta bisa berbicara secara personal dengan panelis maupun rekan lain. Akan ada juga sesi khusus berjaringan, untuk menguatkan jurnalis investigasi antarnegara Asia.

Seluruh peserta dipersilakan menikmati sajian musik dari “Kutumba”, grup musik ensambel dengan alat musik tradisional seperti Tugna dan Sarangi. Kata ‘Kutumba’ punya arti spesial dalam bahasa Nepal, menggambarkan ikatan yang kuat antar anggota.