Jakarta pada masa kepemimpinan Ali Sadikin pernah menerapkan konsep perbaikan kampung seperti di Kampung Code. Bedanya, perbaikan kampung di Jakarta diutamakan untuk meningkatkan fasilitas umum dan kondisi sosial masyarakat setempat. Program perbaikan kampung yang dikenal dengan proyek Mohammad Husni Thamrin ini dilakukan pada 1969-1982.
Sekretaris proyek masa itu, Darrundono mengatakan ia lebih suka menyebutnya sebagai proyek sosial dari pada proyek teknis.
Karena tujuan utama proyek ini agar masyarakat perlahan-lahan bisa memperbaiki tingkat kehidupannya.
Proyek ini dimaksudkan sebagai solusi mengatasi kampung kumuh yang pertumbuhannya tinggi masa itu. Pembangunan yang tidak merata telah memicu migrasi warga dari banyak daerah ke Jakarta dan hal ini menyebabkan tumbuhnya perumahan kumuh.
Warga yang tidak mampu menyewa rumah yang layak biasanya akan mendirikan tempat berteduh tanpa memperdulikan pembuangan kotoran dan sumber air bersih. Namun seiring pembaikan ekonominya, pelan-pelan rumahnya akan mereka perbaiki.
Gubernur masa itu, Ali Sadikin, mencontoh program perbaikan kampung yang dilakukan penguasa Hindia-Belanda di Batavia. Ia menjalankan program yang cakupannya antara lain pembuatan septik tank, saluran air, jalan, sumur, sekolah, puskesmas, dan fasilitas umum lainnya.
Selama periode 1969-1974, sebanyak 166 kampung berpenduduk hampir 2 juta orang diperbaiki dengan biaya kurang lebih Rp 22 triliun. Anggarannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APDB). Selanjutnya sejak tahun 1974-1983 proyek ini didanai pinjaman Bank Dunia. Sangat terkesan, lembaga tersebut kemudian mempromosikan program ini ke berbagai negara berkembang.
Darrundono mengatakan biaya untuk memperbaiki kampung tidak terlalu besar dibandingkan dengan ongkos memindahkan warga ke rumah susun. Yang terakhir ini akan memebebani APDB karena warga juga akan terus disubdisi.
Dalam buku Jakarta Sejarah 400 tahun, Susan Blackburn mengatakan proyek ini membuat wajah kampung di Ibukota jauh lebih baik. Dampak paling terlihat adalah jalan yang tahan lama dan dilengkapi saluran air di kiri dan kanan. Selain itu muncul kesadaran bagi warga miskin bahwa kampung yang tertata baik ini layak dipertahakan.
Di kampung-kampung ini, di lingkungan yang sempit pun masih ada ruang bagi warga untuk memelihara hewan. Penduduknya juga bisa memperbaiki tempat tinggalnya manakala perekonomiannya telah membaik. Di sini terbuka pula kesempatan untuk mencari uang. Dengan menyediakan kamar kontrakan, misalnya, atau berjualan.
“Program perbaikan kampung merupakan langkah yang masuk akal tanpa menyingkirkan keberadaan kampung dan malah berusaha meningkatkan lingkungannya,” tulis Susan Blackburn.
Darrundono mengatakan proyek perbaikan kampung laik untuk diteruskan kembali karena lebih baik daripada harus memindahkan warga. Pemindahan, menurut dia, boleh dilakukan jika tak ada pilihan lain. Tetapi prinsipnya, pemindahan tidak boleh membuat taraf hidup warga menjadi menurun.
“Peruntukan tanah dikorbankan demi masyarakat nggak masalah. Yang penting perumahan bisa mensejahterakan kehidupan rakyat.”