Ketua KPU: Banyak Pihak Bisa Cegah Politik Identitas

Politik identitas banyak mewarnai politik Indonesia beberapa tahun belakangan. Kekurangtegasan aparat penegak hukum dan penyelenggara pemilu dalam menindak praktik ini dianggap jadi salah satu penyebabnya. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahkan menuding ada pembiaran terhadap praktik lancung ini.

Menjelang pemilu 2024, politik identitas diperkirakan bakal tambah marak. Saat melantik anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada 12 April 2022, Presiden RI Joko Widodo bahkan mewanti-wanti agar penyelenggara pemilu mencegah terjadinya politik identitas.

Bagaimana KPU merespons hal tersebut? Berikut petikan wawancara Jaring.id dengan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari pada Senin, 6 Juni 2022.


Menjelang pemilu, potensi penggunaan politik identitas semakin kuat. Bagaimana KPU meresponsnya?

Harus dipahami bahwa pemilu dan pilkada itu arena konflik yang dianggap legal dan sah untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan. Artinya, pemilu adalah konflik itu sendiri.

Cara yang ditempuh (untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan) bisa persuasif, bisa represif. Bisa dengan kekerasan, baik verbal maupun fisik. Isu yang digunakan juga bermacam-macam, bisa berbasis suku, ras, agama, golongan. Itu kan sangat mungkin.

Oleh sebab itu, perlu ada instrumen yang mengatur larangan kampanye dengan menggunakan isu-isu tersebut. Asas pemilu itu bebas. Kalau sudah dengan kekerasan, baik fisik atau verbal, azas pemilihan secara bebas, jujur, adil, dan rahasia tidak tercapai.

Aturan untuk mencegah hal tersebut sudah cukup kuat?

Dalam konteks pemilu ada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Sementara itu, dalam konteks pemilihan kepala daerah ada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Secara formil, (aturan) ini produk DPR yang dibahas dengan pemerintah. Jadi, pasti ada aspek representatif dan keterwakilannya. Kalau kesepakatan bersama, maka harus ada komitmen untuk tunduk, termasuk terhadap larangan yang berpotensi untuk mencederai asas pemilu itu tadi.

Bagaimana jika politik identitas digunakan sebelum tahapan pemilu?

Tidak boleh ada kekosongan hukum. Sebelum masuk tahapan kampanye, ada instrumen hukum pidana. Jika seseorang menghina orang lain, maka akan diproses menggunakan pidana umum.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara kepolisian dan komisi III DPR disebutkan kalau SARA, intoleransi, dan radikalisme menjadi tantangan pemilu 2024. Bagaimana KPU menanggapinya?

KPU tidak boleh bertindak melampaui batas-batas undang-undang. Pencegahan bisa dilakukan, tapi tidak hanya KPU saja yang melakukan. Kami sesungguhnya hanya pelaksana penyelenggara aspek elektoral dari pemilu. Pihak lain yang bisa diajak (mencegah) adalah tokoh masyarakat, tokoh agama, dan  media.

Menurut saya, sepanjang masih bisa diedukasi dan dicegah, itu jauh lebih efektif ketimbang penegakan hukum. Banyak yang bisa melakukannya, seperti tokoh agama, orang tua, guru, hingga tokoh masyarakat.

Perlu berkolaborasi untuk mencegah politik identitas. Tujuannya, membangun demokrasi yang penuh kedamaian.

Apa kendala dan tantangan lain yang dihadapi KPU saat ini?

Pemilu itu kan harus ada pemilih dan peserta pemilu. Memastikan siapa warga negara yang mempunya hak pilih dan masuk daftar pilih bukan pekerjaan mudah, meskipun by system sudah semakin baik.

Harus ada penelitian lapangan yang benar untuk verifikasi faktual dan validasi identitas. Salah nama atau tanggal lahir, bisa berakibat hilangnya hak pilih.

Kalau mobilitas penduduk tinggi, kami mengalami problem untuk memastikan daftar pemilih tetap. Potensi ketidakakuratan juga sangat mungkin terjadi. Kami menjaga supaya datanya akurat. Ini bukan pekerjaan yang mudah.

Selain daftar pemilih tetap, ada juga persoalan pada surat suara. Saat ini, ada 2.993 daerah pemilihan (dapil). Di setiap dapil akan banyak calon yang bertanding dan setiap dapil beda-beda karena harus memilih Presiden, DPR, dan kepala daerah. Konsekuensi ini  harus dijalani, harus ada template untuk mencetak surat suara dengan nama calon yang berbeda-beda. Mencetak nama juga kan tidak boleh salah.

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.