Pandemi Covid-19 mengakibatkan kerugian ekonomi global yang tidak terkira besarnya. Sementara jutaan orang di lebih dari 200 negara terinfeksi, miliaran pekerja di dunia seperti yang diungkapkan Organisasi Buruh Internasional (ILO) harus kehilangan jam kerja maupun pendapatan. Sampai saat ini para peneliti masih bekerja keras mengurai misteri mengapa dan bagaimana Covid-19 bisa terjadi, termasuk melacak satwa liar yang berperan sebagai inang alami dan inang perantara. Informasi tersebut tidak saja penting untuk merancang pengobatan yang tepat, tapi sekaligus mencegah agar bencana serupa tidak terulang.
Sejak sindrom saluran pernapasan akut (SARS), flu burung, ebola dan flu babi mewabah, kita telah menyaksikan bagaimana virus menjadi semakin kuat dan globalisasi turut memudahkan penyebarannya. Kegiatan ekonomi yang bermula dari pasar-pasar tradisional justru menjadi perangkap ekologi yang sangat mematikan lantaran memudahkan patogen berpindah dengan cepat dan mudah dari satu jenis inang ke inang lain, seperti manusia. Perpindahan ini kian masif ke seluruh penjuru dunia karena dibantu pergerakan manusia modern yang sangat tinggi.
Dengan populasi global mencapai 7 miliar jiwa saat ini, kebutuhan protein yang berasal dari satwa, baik domestik maupun liar, jelas menjadi persoalan lingkungan yang dapat mengancam keberlangsungan hidup. Peningkatan ekonomi sejak berakhirnya Perang Dunia II mengubah motif dan skala pemanfaatan satwa dari subsisten dan lokal menjadi eksploitatif dan global.
Pembukaan hutan untuk keperluan pangan melalui ekstensifikasi pertanian dan peternakan membikin hutan semakin terbuka, sehingga memudahkan perburuan. Hal ini menciptakan sindrom hutan kosong di pelbagai benua.
Dunia yang semakin terhubung melalui peningkatan jaringan jalan dan moda transportasi modern menjadikan satwa liar sebagai komoditas bisnis global bernilai triliunan Rupiah. Ribuan trenggiling yang diburu dari hutan-hutan di Sumatra, Kalimantan dan Jawa dalam sekejap bisa diperjualbelikan di berbagai pasar di Vietnam, Hong Kong dan China. Internet dan media sosial menyediakan moda transaksi baru yang memungkinkan satwa liar diperjualbelikan secara luas dan masif.
Harusnya kita bisa belajar dari masa lalu di mana kemajuan teknologi komunikasi juga ikut bertanggung jawab terhadap kepunahan sejenis burung Punai (ectopistes migratorius) pada awal abad ke-20. Punai yang terbang dalam kelompok besar menjadi sasaran mudah bagi para pemburu. Jalur kereta api kemudian memungkinkan pemburu mengangkut jutaan burung dalam waktu cepat ke berbagai kota di Amerika Serikat. Sementara saat ini, kombinasi moda transportasi modern dan internet bertanggungjawab dalam globalisasi dan eksploitasi satwa liar yang berlebihan di seluruh dunia. Satwa liar tidak lagi diburu untuk sekedar memenuhi kebutuhan protein masyarakat sekitar hutan, tetapi telah menjadi bisnis global yang mendukung gaya hidup masyarakat modern.
Itu sebab jangan heran bila pelbagai patogen yang telah menjalin siklus aksi dan reaksi selama rentang sejarah evolusi dengan hewan liar dapat menularkan pelbagai penyakit. Limpasan virus corona dari kelelawar ke manusia menyebabkan pandemi SARS dan Covid-19, sementara perpindahan inang dan mutasi Simian Iimmunodeficiency Virus (SIV) dari simpanse ke manusia menjadi HIV dan menyebabkan AIDS.
Ketergantungan manusia terhadap satwa liar sebenarnya dapat berlangsung lestari, jika kita mengedepankan jasa ekosistem yang mereka sediakan dalam membangun relasi itu. Misalnya, kalong yang banyak diburu untuk dikonsumsi di Sulawesi ternyata sangat penting bagi penyerbukan durian—komoditas populer dan penting bagi perekonomian lokal. Masyarakat Desa Batetangnga dapat mengantongi puluhan juta Rupiah tiap musim. Sedangkan harga jual kalong perkilogramnya tak seberapa. Dari sini kita dapat memahami bahwa kalong hidup lebih menguntungkan manusia ketimbang kalong mati. Mengapresiasi satwa liar atas nilai intrinsiknya ketimbang hanya nilai ekonomi jangka pendek menjadi kunci penting untuk menjalin kembali hubungan yang harmonis antara manusia dan satwa liar di bumi ini.
Interaksi manusia dan satwa liar yang selama ini bersifat eksploitatif dan selalu dalam bentuk menang-kalah sepatutnya ditinjau ulang. Bukan saja karena potensi wabah yang nyata adanya, namun juga karena keberadaan satwa liar dapat menjamin masa depan kita. Sudah saatnya kita mengakui hak hidup dan hak ruang untuk hidup bagi satwa liar. Sangat ironis jika jutaan jenis virus harus ikut campur sebelum kita bersedia membangun relasi yang lebih harmonis dan berkelanjutan dengan mereka.
* Penulis adalah Dosen Biologi UI dan Direktur Wildlife Conservation Society Program Indonesia