Dua Wajah Retorika Gibran Rakabuming Raka

Pada debat calon wakil presiden yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU), 22 Desember 2023 itu, Gibran Rakabuming Raka dipandang sebagai pemenangnya. Muhaimin Iskandar, seorang politisi yang sekian lama sudah malang melintang dengan berbagai jabatan menterengnya, dan sosok Mahfud Md, seorang menteri di bidang politik, hukum, dan keamanan yang tentu saja pernah menjabat berbagai kedudukan prestisius, seakan-akan dibuat tidak berdaya. Mati kutu. Bertekuk lutut di hadapan Gibran ketika terlibat dalam perdebatan dengan topik perekonomian dengan segenap pernak-perniknya.

Selama ini memang Gibran demikian diremehkan. Dipandang sebagai anak bawang yang sama sekali buta pengetahuan dan tidak memiliki pengalaman. Salah seorang pemain teater dari Yogyakarta yang begitu ternama dengan nada sinis ingin melihat bagaimana perdebatan politik seorang profesor yang sudah puluhan tahun berpengalaman dalam bidang hukum dengan seorang walikota yang hanya berlatar belakang dua tahun menjalankan jabatannya. Itu pun bisa ditambahkan bahwa sang walikota itu bisa menjadi begitu moncer namanya akibat mendapatkan proyek-proyek besar dari bapaknya yang menjabat sebagai seorang presiden.

Pada konteks demikian, Gibran mendapat sorotan negatif dalam beberapa sudut pandang. Pertama, Gibran sudah membawa “dosa asal” karena posisinya  sebagai walikota, dalam konsep sosiologis, bukanlah dominan karena sebagai status akibat prestasinya sendiri (achieved status) melainkan lebih sebagai kekuatan karena keturunan seorang presiden yang sedang menjabat. Itulah status yang terberikan tanpa perlu berupaya sekuat tenaga diupayakan (ascribed status). Dalam konsep kebahasaan politik yang sekarang berkembang, Gibran tidak lebih dari produk dinasti politik. Bisa meraih jabatan karena semata-mata faktor darah belaka.

Kedua, Gibran dianggap terlalu pendiam ketika berhadapan dengan media. Dia hanya menjawab sepotong-sepotong dengan nada pernyataan yang demikian halus. Pada saat terdapat momentum penting untuk debat calon wakil presiden yang diselenggarakan sebuah stasiun televisi, justru, Gibran tidak hadir atau sengaja mengelak untuk datang. Kalangan pengritik, dan juga pembencinya, menyatakan bahwa Gibran tidak memiliki nyali. Gibran dipandang tidak memiliki kemampuan retorika maupun debat yang memadai. Ditambah lagi ketika pada sebuah acara yang membahas tentang penanganan stunting (tengkes), Gibran meminta ibu-ibu yang sedang hamil untuk mengonsumsi asam sulfat, sebuah zat yang digunakan dalam industri kimia. Padahal, apa yang dia maksudkan adalah asam folat, yakni sebuah vitamin yang larut dalam air dan memang bagus untuk dikonsumsi.

Akhirnya, ketiga, Gibran menjadi objek olok-olokan, gurauan, dan sindiran yang merendahkan. Padahal, bisa dipastikan bahwa mereka yang mengejek Gibran, pada awalnya, belum mengetahui perbedaan antara asam sulfat dan asam folat. Namun, dari situ, Gibran mendapatkan label sebagai samsul, kependekan dari asam sulfat, dan juga belimbing sayur, yakni sejenis buah yang terasa sangat asam, biasa dibuat sayur, dan yang pasti gampang rontok. Berbagai label yang merendahkan itu, tentu saja, menambah berbagai julukan negatif yang telah diterima Gibran, yakni bocah ingusan, anak haram konstitusi, produk gagal reformasi, dan berbagai pemberian nama yang berkaitan dengan Paman Usman dan Mahkamah Keluarga.

Namun, pertanyaan mendasarnya adalah mengapa Gibran pada debat itu mampu keluar lepas dari kungkungan pelabelan buruk dan segala pandangan begitu negatif yang melingkupinya? Apabila debat bisa diartikan secara bebas sebagai adu opini, gagasan, pendapat serta apa pun yang kontroversial, Gibran memiliki pengalaman mendalam dalam topik yang sedang diperdebatkan ketika itu. Gibran mampu mempelajari semua aspek yang berkenaan dengan perekenomian, pajak, dan seterusnya. Itu adalah memang bidang kerjanya yang sudah dijalaninya selama ini meskipun baru dua tahun. Itu juga bermakna bahwa Gibran adalah seorang yang menunjukkan karakter sebagai pembelajar yang baik dan cermat.

Hanya saja di balik karakter sebagai seseorang yang penuh kecermatan itu, Gibran juga memperlihatkan sifat dasarnya sebagai Two-Face dalam memainkan retorika. Bagaimanapun, pada debat politik pun harus dibekali dengan kemampuan retorika yang memadai dan bahkan harus mumpuni. Namun, siapakah Two-Face dalam wilayah perbincangan ini? Two-Face merupakan sebuah karakter antagonis dalam komik atau film Batman. Dapat ditegaskan bahwa Two-Face merupakan salah satu musuh Batman. Tentu saja, karakter ini kurang popular jika dibandingkan dengan Joker atau pun Pinguin, misalnya.

Two-Face, begitu dijelaskan oleh Michael L. Fleisher dan Janet E. Lincoln (The Encyclopedia of Comic Book Heroes, Volume 1: Batman, 1976), merupakan sosok penjahat yang mengerikan dan tersiksa. Hal ini disebabkan bahwa separuh dirinya baik, namun separuhnya dirinya buruk. Separuh dirinya adalah profil Jekyll, tapi separuh dirinya yang lain adalah Hyde. Namanya berasal dari wajahnya yang mengerikan itu. Sisi wajah sebelah kanan demikian tampan. Sisi sebelah kiri adalah codetan yang membusuk. Dengan membawa karakter yang serba kontradiktif ini, berbagai jenis perilaku dan, pastilah, kejahatan yang dioperasikan Two-Face sangat mengejutkan dan membuat banyak orang tertegun-tegun.

Uraian ini tidak hendak menyamakan Gibran dengan karakter Two-Face. Apa yang jelas ditegaskan adalah watak retorika Gibran menunjukkan dua wajah sekaligus. Wajah pertama adalah sosok walikota yang pendiam, enggan berbicara, malas terlibat dalam perdebatan, dan terkesan tidak peduli. Sementara itu, wajah kedua adalah sosok pembicara yang cermat, berani, tegas, dan bahkan begitu “tega” untuk menghabisi lawan-lawan bicaranya. Ketika berada di panggung biasa yang tidak banyak dihadiri dan ditonton banyak orang, Gibran menampilkan sosok wajah pertama. Namun, ketika tampil di atas panggung dan dihadiri banyak orang serta disaksikan oleh khalayak berjumlah jutaan, Gibran menampilkan wajah kedua. Hal inilah yang menjadikan Gibran membuat kejutan-kejutan dan ketertegunan.

Dalam perspektif retorika Aristotelian, Gibran memahami bahwa dia harus memainkan ethos, yakni status sebagai walikota, putra presiden, dan calon wakil presiden yang selayaknya harus memancarkan kredibilitas yang tinggi. Dia juga mengerti bahwa seluruh kata, frasa, kalimat, dan rangkaian retorika yang harus diucapkannya memenuhi kalkulasi rasionalitas yang benar (logos). Dan, ketiga, dia juga wajib piawai untuk menampilkan pathos, yakni aspek emosional yang membuat lawan bicaranya merasa dipermalukan dan khalayak tercengang-cengang.

Kerakusan Sistem Produksi dan Pandemi

Pandemi Covid-19 mengakibatkan kerugian ekonomi global yang tidak terkira besarnya. Sementara jutaan orang di lebih dari 200 negara terinfeksi, miliaran pekerja di dunia seperti yang

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.