Hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap presiden berada di bawah Tentara Nasional Indonesia, gubernur, dan kepala daerah. TNI dianggap lembaga yang paling dipercaya dengan 25 persen responden yang sangat percaya dan 70 persen responden cukup percaya. Setelah TNI, sebanyak 14 persen responden menyatakan sangat percaya dan 77 persen lainnya cukup percaya terhadap gubernur. Sementara untuk kepala daerah, baik bupati maupun wali kota sangat dipercaya publik sebesar 14 persen dan 76 persen responden cukup percaya.
Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan menyatakan posisi presiden bercokol di bawah TNI dan kepala daerah karena hanya 20 persen responden yang sangat percaya kepada pemerintah. Sementara 68 persen responden lainnya cukup percaya. Menurutnya, temuan itu menunjukkan bahwa orang yang lebih dekat dengan masyarakat memperoleh sentimen positif yang lebih besar. “Yang menarik di sini, tingkat kepercayaan kepada gubernur itu sedikit lebih tinggi ketimbang presiden maupun wakil presiden,“ kata Djayadi dalam rilis survei, Senin, 22 Februari 2021.
Menurut Djayadi hal ini tak terlepas dari tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi sebagai presiden. Sebanyak 69,8 persen responden masih merasa cukup dan sangat puas dengan kinerja Jokowi. Angka ini berbanding terbalik dengan tanggapan responden terhadap kinerja Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Hanya 56,1 persen dari responden yang merasa puas, sedangkan sebanyak 40,9 persen merasa kurang dan tidak puas dengan capaian yang dilakukan Ma’ruf. “Agak jomplang kepuasaan antara presiden dan wakil presiden,” kata Djayadi.
Hal tersebut berimplikasi terhadap kondisi politik pada 2020. Menurutnya, hasil survei mencatat bahwa kondisi politik tanah air cenderung memburuk kendati masih dalam tren positif. Sebanyak 39,9 persen responden menilai dalam kondisi sedang, 30,2 persen dalam kondisi baik dan sangat baik dan 24 persen menilai buruk dan sangat buruk. “Jumlah warga yang menilai kondisi politik memburuk meningkat signifikan dalam dua tahun terakhir, sementara yang menilai baik menurun signifikan,” kata Djayadi saat menyampaikan temuan survei melalui daring, Senin, 22 Februari 2021.
Dalam pemaparan hasil survei tersebut, Djayadi juga mengungkapkan bahwa elektabilitas Prabowo Subianto tertinggi ketimbang nama-nama yang santer disebut sebagai kandidat presiden pada pilpres 2024 mendatang. Dalam simulasi terbuka, Menteri Pertahanan di Kabinet Presiden Jokowi ini dipilih oleh 22,5 persen responden. “Alasan utama karena tegas dan beriwaba. Nomor duanya karena dekat dengan rakyat,” kata Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan.
Dua alasan ini, menurut Djayadi, berbeda dengan hasil survei menjelang pemilu 2019 lalu. Saat itu responden lebih banyak memilih karena alasan figur yang merakyat. “Seingat saya menjelang pemilu 2019 lalu yang pertama perhatian kepada rakyat, tegas berwibawa itu nomor 3,” lanjutnya.
Nama lain pada urutan berikutnya ialah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dengan elektabilitas 10,6 persen, disusul Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan 10,2 persen. Namun Basuki Tjahaja Purnama juga menyodok di tengah dengan perolehan 7,2 persen, sementara Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengantongi 6,9 persen. Angka yang diperoleh Sandi berbeda tipis dengan Tri Rismaharini, yakni 5,5 persen, sedangkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil beroleh 5 persen, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono 4,8 persen dan bekas Menteri Kelautan Perikanan Susi Pudjiastuti 2,3 persen.
Menurut Djayadi, munculnya sederet nama di atas tidak terlepas dari peran serta keaktifan mereka berinteraksi dengan publik. Pemberitaan media massa juga turut mengatrol tingkat keterpilihan mereka. “Ketika dibicarakan di media cenderung memiliki kepuasaan lebih tinggi,” ungkapnya.
Survei yang menempatkan Prabowo Subianto di urutan pertama ini dilakukan pada 25-31 Januari 2021 dengan wawancara terbuka. LSI melibatkan 1.200 responden dari seluruh Indonesia dengan menggunakan metode multistage random sampling. “Margin of error suveinya 2,9 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen,” ujar Djayadi.
Sementara itu, komposisi nama dari hasil survei LSI ini berubah ketika nama Presiden Joko Widodo disodorkan kepada responden. Sebanyak 18 persen responden secara spontan menyebutnya sebagai sosok yang masih layak menjadi presiden, diikuti dengan Prabowo Subianto, Anies Baswedan (12 persen), Ganjar Pranowo (5,7 persen), Sandiaga Uno (3,5 persen), Basuki Tjahaja Purnama (2,6 persen), Tri Rismahariani (2,5 persen), Agus Harimurti Yudhoyono (2,3 persen) dan Ridwal Kamil (1,4 persen).
Menanggapi survei tersebut, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Djarot Saiful Hidayat mengaku tak heran dengan nama-nama yang mengisi deret teratas dari daftar survei LSI. Hal tersebut tidak terlepas dari efek pemilihan presiden 2019 lalu. “Nama-nama yang disodorkan sudah kita prediksi,” kata Djarot saat memberikan tanggapan melalui daring, 22 Februari 2021.
Kendati demikian, Djarot menyatakan bahwa PDIP akan menunggu perkembangan hingga jelang 2024 nanti. Termasuk perkembangan elektabilitas Ganjar Pranowo ke depan. “Kami akan tunggu, tergantung dari Pak Ganjar juga bagaimana dia bisa meningkatkan elektabilitasnya, dan teman-teman PDIP, maupun dari luar kami juga bisa,” ujar Djarot.
Menurutnya, peta politik untuk pilpres 2024 mendatang masih dinamis, sehingga hasil survei belum bisa dijadikan patokan untuk melihat tingkat keterpilihan di tengah masyarakat. “Kita tunggu saja calon presidennya. Kita masih terbuka kepada siapa pun,” kata Djarot.
Sementara politikus Partai Gerindra yang juga Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Supratman Andi Agtas menyatakan hasil survei LSI bisa dijadikan tolok ukur menyiapkan kandidat dalam pemilihan presiden 2024. Nama Prabowo Subianto yang berada di daftar atas membikin Partai Gerindra lebih percaya diri. “Tingkat kepercayaan publik kepada Prabowo konsisten,” kata Supratman.
Bergabungnya Prabowo dengan pemerintah, kata Supratman, juga memberikan andil positif terhadap partai. Survei LSI menempatkan Prabowo sebagai menteri yang paling moncer bekerja. Ketua Umum Partai Gerindra itu berada di urutan pertama dengan tingkat kepuasan tertinggi dibandingkan 33 menteri lainnya. Oleh sebab itu, menurut Supratman, pihaknya akan berupaya untuk lebih mematangkan sekaligus menjaga agar citra partai tak merosot di tengah perjalanan menuju 2024. “Kita ingin memperbaiki citra partai,” ungkapnya.
Demi menyongsong pemilihan 2024 mendatang, sejumlah partai politik tetap mengusulkan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Namun syaratnya, revisi tersebut tanpa mengubah jadwal pelaksaaan pilkada serentak 2024. Salah satu partai yang menginginkan hal itu ialah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan. Anggota DPR dari Fraksi PDIP, Djarot Saiful Hidayat menilai bahwa revisi UU Pemilu diperlukan untuk memperbaiki sistem kepemiluan agar lebih baik. Utamanya terhadap pasal yang menyangkut sistem perhitungan dan rekapitulasi suara secara elektronik.
Djarot mengungkapkan bahwa penyatuan tiga pemilihan, pilpres, DPRD dan DPR dalam satu waktu sangat berat bagi penyelenggara pemilu, khususnya bagi kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS). “Agar lebih berkualitas dan tidak rumit,” kata Djarot. Ia merujuk catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di mana pada pemilihan sebelumnya terdapat sebanyak 894 anggota KPSS yang meninggal. Ia tidak ingin tragedi tersebut berulang pada 2024 nanti. “Apakah pemilu 2024 melakukan pola yang sama?” tanya Djarot.
Selain itu, mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga mendorong agar parlemen membahas lebih mendalam tentang parlement threshold atau ambang batas parlemen, sekaligus mengkaji penggunaan sistem suara terbanyak dalam Undang-Undang Pemilu. Menurutnya, dampak dari penggunaan suara terbanyak dapat memunculkan money politik yang tidak terkontrol. “Calon muncul karena punya uang banyak. Ini perlu diperbaiki untuk melihat kualitas wakil yang terpilih baik di pusat dan daerah termasuk presiden dan kepala daerah,” ujar Djarot.
Keinginan Djarot disambut baik oleh politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali. Partai oposan pemerintah ini mengusulkan agar pemilihan presiden dipisah dengan pemilihan DPR maupun DPD. “Ini lebih sehat, sehingga pemilu menjadi edukasi publik. Ini juga akan menurunkan penggunaan politik uang,” ujarnya.
Sementara terkait dengan ambang batas parlemen, PKS mengusulkan angkanya tak lebih dari 10 persen. Dengan begitu, maka partai yang tidak memiliki banyak memiliki kursi di DPR bisa ikut mengusung calon presiden. Selain mengurnagi polarisasi, Mardani mengklaim, banyaknya calon presiden akan menjaga kualitas demokrasi di Indonesia. “Ini penting untuk kesehatan demokrasi. Pemilu tidak direvisi berbahya terhadap kualitas pemilu 2024 nanti,” katanya.
Menanggapi upaya revisi UU Pemilu, Ketua Badan Legislasi DPR, Supratman mengatakan bahwa rancangan revisi Undang-Undang Pemilu akan ditarik dari program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2021. Keputusan ini, Supratman mengklaim, sudah dikomunikasikan dengan pimpinan fraksi maupun ketua umum partai. “RUU Pemilu akan didrop dari proglegnas. Kami sependapat dengan Jokowi,” kata Supratman.