Ratusan hektar lahan sawit yang dikelola PT Steelindo Wahana Perkasa dan PT Parit Sembada di Belitung ditanam di atas kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan oleh anak usaha dari perusahaan Malaysia, Kuala Lumpur Kepong Berhad (KLK) ini diduga telah berlangsung puluhan tahun.
Masalah tumpang tindih ini baru diketahui setelah adanya perpanjangan hak guna usaha (HGU). Lahan perusahaan yang semula seluas 14.000 hektar, dipangkas oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional menjadi sekitar 13.600 hektar dengan alasan masuk wilayah hutan lindung. Mulai dari Hutan Lindung Gunung Sepang, Gunung Nayo, sampai Gunung Kik Karak.
Alih-alih menjatuhi sanksi, pemerintah malah menerbitkan surat keputusan yang berarti memperpanjang HGU kepada perusahaan.
Selama satu jam, Jaring.id mempertanyakan perihal tumpang tindih lahan sawit di atas kawasan hutan ini kepada Direktur Penetapan Hak dan Pendaftaran atas Tanah Kementerian ATR/BPN, Husaini, Senin, 27 Februari 2023. Berikut petikan wawancaranya:
Bisa dijelaskan bagaimana status perpanjangan HGU PT SWP dan PT PS?
Mereka sudah dapat jatah pemberian. Sekarang perpanjangan. Lebih mudah seharusnya perpanjangan, bila dibandingkan pemberian pertama. Perpanjangan tidak lagi membutuhkan penelitian mengenai riwayat tanahnya. Pemberian HGU pertama banyak sekali persyaratannya.
Kawasan hutan harus mendapatkan pelepasan Menteri Kehutanan. Setelah itu baru memohon HGU. Itu pemberian pertama. Tahapan pemberian HGU diukur, kemudian diperiksa oleh Panitia Pemeriksa Tanah B. Anggotanya itu stakeholder, bupati, kepala dinas, instansi bidang kehutanan dan pertambangan. Mereka lah yang mengusulkan diberikan atau tidaknya. Setelah itu diberikan keputusan pemberian HGU. Setelah terbit SK, baru terbit sertifikat HGU.
PT SWP dan PT PS sudah dapat surat keputusan perpanjangan HGU?
Sudah dua-duanya. Baru surat keputusannya (SK). Nanti setelah SK diberikan, maka mereka punya kewajiban mendaftar di kantor pertanahan. Mengapa lama, dulu terkait dengan penolakan Asosiasi Perangkat Desa Indonesia (APDESI) yang merasa ada kewajiban yang belum dipenuhi perusahaan. Salah satunya adalah lahan plasma.
Salah satu syarat plasma itu daftar nama calon penerima lahan (CPCL) harus jelas dan ditetapkan oleh bupati. Itu sudah SK-nya. Cuma masyarakat mengaku belum ada. Kami juga bingung. Kami rapat dan bahas.
Kami bersyukur Polres turun tangan. Mereka bersurat ke kami. Minta tolong agar tidak ditindak dulu, karena mau diidentifikasi nama. Apakah ini benar nggak di masyarakat. Jangan sampai ada pihak lain yang memanfaatkan kedekatan malah dimasukkan ke plasma, padahal dia nggak berhak. Kami rapat dengan Polres, Kakantah, Kanwil, mereka minta waktu tunda dulu. Rapatnya satu sampai dua kali di lantai 6. Kalau di daerah rapat berkali-kali.
Hasilnya bagaimana?
Polres mengecek kebenaran di lapisan petani dan masyarakat. Dari pengecekan itu mereka merekomendasikan dengan ketentuan dan syarat, maka keluar SK perpanjangannya.
Bagaimana bisa perusahaan menggunakan kawasan hutan untuk perkebunan sawit?
HGU lama PT SWP kan 14 ribu hektar. Tapi setelah diukur, beberapa luasannya masuk kawasan hutan lindung dan sungai konservasi. Kurang lebih 500 hektar. Itu memang sudah diukur, sehingga SK untuk lahan SWP dikurangi. Dalam SK, lahan SWP menyusut menjadi 13.600 hektar
Dalam Peraturan Pemerintah Pemanfaatan Kawasan Konservasi dan Sempadan, tetap kita berikan perpanjangan. Tapi syaratnya tidak boleh mengubah fungsi. Kalau dikeluarkan nanti, pihak luar akan masuk. Membabat lahan konservasi, bisa rusak. Makanya tetap diberikan, tapi nggak mengubah. Kalau tidak diberikan, maka pemegang HGU bisa nggak bertanggung jawab atas tanah. Kalau diberikan, dia wajib memelihara.
Berarti ada 500 hektar lahan sawit yang masuk kawasan hutan. Kok bisa HGU pertama itu terbit?
Saya jujur saja, namanya HGU pasti bukan tanah sengketa atau hutan. Pertama, perizinan kalau tanah kawasan hutan seharusnya dilepaskan. Kedua, panitia pengurusan tanah B pada saat pemberian awal kan salah satunya dari Kehutanan. Kalau pemberitaan pertama dinyatakan masuk kawasan hutan, nggak mungkin HGU diberikan. Kami nggak berani memberikan HGU di atas hutan.
Tiba-tiba, pas HGU berakhir dan perpanjangan ditetapkan, berubah jadi kawasan hutan. Akhirnya tertunda proses perpanjangannya. Kami konfirmasi dulu, apakah kawasan hutan atau enggak? Kalau iya harus dikeluarkan dari kawasan hutan.
Normalnya di kami nggak boleh memberikan HGU di kawasan hutan. Seharusnya dilepaskan dulu dari kawasan hutannya. Nah, sekarang masuk kawasan hutan, mereka harus konfirmasi lagi.
Dalam konfirmasi kami, pihak perusahaan akan melakukan gugatan karena adanya pengurangan lahan. Bagaimana tanggapan Anda?
Silahkan melakukan gugatan. Sangat diperbolehkan. Itu hak dia. Dia merasa ini bukan pemberian pertama. Ini perpanjangan hak dia dahulu.
Wawancara dengan Direktur Penetapan Hak dan Pendaftaran atas Tanah Kementerian ATR/BPN, Husaini ini mengakhiri 4 artikel mengenai tumpang tindih lahan sawit di Belitung. Jaring.id berkolaborasi dengan Katadata.co.id, dan Malaysiakini.com melakukan peliputan ini berkat dukungan dari The Rainforest Journalism Fund (RJF), Pulitzer Center. Terima kasih Anda telah membaca sampai akhir.