Jurnalis di Asia Tenggara menghadapi pelbagai rintangan ketika melakukan peliputan terkait pemilihan umum (pemilu). Mulai dari akses data pemilu yang terbatas, intimidasi, hingga tindak kekerasan yang diduga dilakukan oleh kelompok pendukung pasangan calon maupun polisi. Di Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 75 kasus kekerasan terhadap wartawan sepanjang Mei 2017-2018. Dari puluhan kasus tersebut, 24 di antaranya dilakukan oleh polisi.
Sedangkan tahun ini, ada 26 kasus kekerasan yang dilakukan anggota Tribrata hingga Agustus 2019. Termasuk 10 kekerasan terhadap jurnalis yang melakukan peliputan unjukrasa 23-24 September lalu. Tidak hanya mengalami intimidasi dan pemukulan, alat kerja para jurnalis pun dirampas sebelum menghapus rekaman, baik foto maupun video.
Selain isu kekerasan terhadap jurnalis, pembatasan ruang gerak jurnalis di Papua dan pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) turut menjadi krikil bagi kebebasan pers di Indonesia. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) Indonesia mencatat sedikitnya 381 kasus UU ITE yang menjerat baik perorangan maupun institusi sepanjang 2011 sampai 2019. Kasus terbanyak adalah pidana yang berhubungan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik atau defamasi, Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Di posisi kedua adalah kasus ujaran kebencian yang mana termuat dalam Pasal 28 ayat 2 UU ITE.
Itu sebab, Reporters Without Borders pada 2018 mencatat indeks kebebasan pers di Indonesia hanya bercokol di peringkat 124 dari 180 negara. Sementara Freedom House pada 2019 menyebut Indonesia masuk kategori kuning yang artinya tak terlalu bebas. Direktur Eksekutif Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), Eni Mulia mengaku prihatin dengan rendahnya indeks kebebasan pers. Padahal, menurutnya, kebebasan pers merupakan prasyarat bagi proses demokratisasi di Indonesia.
“Jurnalisme dan pemilu adalah instrumen paling penting dalam demokrasi. Sehingga jurnalis yang meliput pemilu harus diberi kebebasan dan perlindungan agar bisa bekerja dengan baik menghasilkan laporan-laporan jurnalistik yang berkualitas,” ungkap Eni Mulia dalam konferensi regional bertajuk Peran Jurnalisme dalam Menyokong Pemilu Demokratis di Jakarta pada Selasa, 26 November 2019.
Dalam konferensi se-Asia Tenggara ini, Pemimpin Redaksi Harian Umum Kompas, Ninuk Pambudy (Indonesia); jurnalis senior Khaosod English, Pravit Rojanaphruk (Thailand); Executive Director Philippines Centre for Investigative Journalism (PCIJ); dan Profesor dari Hong Kong Baptist University, Cherian George menjadi pembicara. Mereka memaparkan proses demokratisasi di negara masing-masing, utamanya yang terkait dengan pemilihan umum.
Penerima penghargaan International Press Freedom Award 2017, Pravit Rojanaphruk mengungkapkan bahwa sampai saat ini negeri Gajah Putih belum maksimal menjalankan sistem pemilu yang demokratis. Sebab masyarakat tidak diperkenankan untuk memilih perdana menteri secara langsung. Pada pemilu yang berlangsung Maret 2019 lalu, pemilik suara hanya diperkenankan untuk memilih partai yang berhak masuk parlemen. Sementara jabatan perdana menteri akan ditentukan oleh partai yang punya suara terbanyak di parlemen.
Dengan begitu, menurut Pravit, demokrasi di Thailand ibarat jus jeruk dalam sebuah gelas. Sekalipun ada rasa jeruknya ketika diminum, namun ia tidak tahu berapa jumlah buah jeruk yang diperas dalam gelas tersebut.
“Jadi yang terjadi di Thailand masih rasa demokrasinya saja. Ada parlemen dan ada sistem yang menyerupai demokrasi,” ungkap Pravit.
Lebih jauh, Pravit menjelaskan, kebebasan pers di Thailand terhambat oleh peraturan yang dikenal dengan Lese Majeste alias pasal pelindung keluarga kerajaan. Dengan peraturan ini, kerajaan bisa memberlakukan sanksi pidana terhadap siapa saja, termasuk jurnalis maupun media massa yang dianggap telah melakukan penghinaan terhadap raja.
BBC Thai—layanan berita BBC berbahasa Thailand pernah menjadi korban peraturan tersebut. Sebabnya ialah artikel yang memuat profil Raja Maha Vajiralongkorn pada 12 Desember 2016 lalu. Kerajaan merasa pemberitaan mengenai kehidupan pribadi yang ditulis BBC Thai menghina. Selain melaporkan penyebar artikel tersebut ke kepolisian setempat, Kementerian Ekonomi Digital Thailand juga memblokir semua berita yang disiarkan oleh BBC Thai.
“Saya tidak tahu negara mana lagi yang punya aturan demikian. Di Thailand jika ada menghina kerajaan, meksipun Anda bukan orang Thailand akan dikenakan penjara selama hingga 15 tahun,” ungkap Pravit.
Menurut Pravit, peraturan ini tidak berubah sejak hukum pidana pertama dilakukan pada 1908. Pasca kudeta militer pada 1976, peraturan ini kemudian direvisi agar dapat menguatkan posisi raja.
“Raja harus ditempatkan di singgasana dalam posisi yang disanjung dan tidak boleh dicemari. Tiada seorang pun boleh menyampaikan tuduhan atau aksi dalam bentuk apapun terhadap Raja,” demikian bunyi hukum yang telah diperbarui tersebut.
Hal ini yang kemudian membikin masyarakat Thailand takut untuk menunjukkan ekspresi dan mengemukakan pendapat. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang memilih untuk angkat kaki dari Thailand.
“Orang-orang menjadi eksil karena kondisi di luar Thailand lebih baik. Ada yang pergi ke Amerika, Prancis. Bahkan negara tetangga yang jaraknya hanya satu jam dari Thailand, seperti Korea Selatan,” ujarnya.
Dengan kondisi demikian, peran media dalam pembangunan ruang demokrasi di Thailand yang lebih baik menjadi penting. Sayangnya, menurut Pravit, sejumlah media di Thailand saat ini tidak kritis. Mereka lebih banyak bergeming tatkala melihat keterlibatan politisi maupun kontestan politik dalam kasus korupsi. “Sampai-sampai ada juga (media) yang merasa lebih baik mendukung pimpinan-pimpinan Junta,” ujar Pravit.
Sementara itu, pengamat media dari Hong Kong Baptist University, Prof. Cherian George menilai bahwa sistem demokrasi di Asia Tenggara dalam kondisi kritis. Akan menjadi bencana bila media massa di masing-masing negara tidak mengambil peran. Utamanya dalam peliputan pemilihan umum. Cherian mengingatkan peran jurnalis dalam pesta demokrasi tidak sebatas mengabarkan hasil pemilihan umum, siapa menang dan siapa kalah seperti yang kerap kali diungkap wartawan olahraga. Menurut dia, jurnalis perlu menyibak latar belakang dan bertindak kritis terhadap seluruh kandidat.
“Secara lebih luas laporan pemilu bisa berorentasi pada orang-orang dan menyampaikan kepada publik apa yang perlu mereka ketahui. Bukan apa yang ingin disampaikan kandidat,” ungkapnya.
Dalam hal ini, Cherian mengapresiasi sejumlah media massa yang berhasil menyabet penghargaan liputan Pemilu terbaik dalam ajang Excellence in Election Reporting in Southeast Asia (ExcEl Awards 2019). ExcEL Awards ialah penghargaan untuk para jurnalis yang diselenggarakan oleh RESPECT—program regional yang didukung oleh USAID-Washington DC di mana Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menjadi inisiator.
Penghargaan ini diberikan kepada karya jurnalistik terbaik terkait pemilu oleh para jurnalis di Asia Tenggara. Panitia menerima lebih dari 100 karya jurnalistik yang dibuat oleh para jurnalis dari Indonesia, Myanmar, Malaysia dan Filipina. Adapun yang mendapatkan penghargaan antara lain, Agnes Theodora (Harian Umum Kompas, Indonesia), Brita Putri Utami (Solider.id, Indonesia), Khalida Meyliza (Kompas TV, Indonesia), Arkhelaus Wisnu, Danang Firmanto (Koran Tempo, Indonesia) dan Karol Ilagan (PCIJ Filipina).
Koran Tempo menyabet penghargaan pertama dalam kategori liputan mendalam. Liputan berjudul “PPP Wajibkan Calon Legislator Setor Rp 500 Juta” ditulis oleh Tim Koran Tempo pada edisi 15 Oktober 2018. Liputan ini bercerita soal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang diduga mewajibkan calon anggota legislatif nomor urut 1 di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyetor Rp 500 juta sebagai biaya saksi dalam Pemilu 2019. Sementara PCIJ Filipina diganjar penghargaan peliputan investigasi terbaik ketika menyoroti pengadaan alat verifikasi suara pemilih.