Memberangus Kebebasan Pers = Melemahkan Ekonomi

Pentingnya kebebasan pers dalam dinamika demokrasi yang sedang berkembang sudah sangat dipahami. Namun, apa pengaruh kebebasan pers terhadap sektor ekonomi?

Kami menemukan bukti kalau serangan terhadap kebebasan pers seperti memenjarakan jurnalis, menutup media, dan menghalang-halangi kerja media dengan melakukan gugatan hukum punya dampak yang bisa diukur terhadap pertumbuhan ekonomi. Beranggotakan ekonom, jurnalis dan praktisi media, tim kami menggunakan ranking kebebasan pers dari Freedom House dan data tentang perkembangan ekonomi untuk meneliti kondisi di 97 negara dari tahun 1972 hingga 2014. Hasilnya, negara yang mengalami penurunan dalam kebebasan pers juga menghadapi penurunan  Produk Domestik Bruto (GDP) sebesar 1% – 2%.

 

Perekonomian mungkin tidak kembali normal

Penemuan ini diperkuat oleh studi lain yang menunjukkan bahwa lembaga-lembaga yang menjunjung penegakan hukum memiliki kinerja ekonomi yang lebih kuat. Selain kebebasan pers, faktor pendidikan, angkatan kerja, dan kapital fisik juga dipertimbangkan.

Temuan terpenting dan tak diduga dalam penelitian ini adalah adanya dampak represi terhadap kebebasan pers terhadap kondisi ekonomi jangka panjang.

Freedom House dalam risetnya mengatakan, “Ketika diberikan kesempatan, kebebasan pers dapat dikembalikan setelah masa represi yang sangat panjang.”

Keinginan mendasar untuk kebebasan dan demokrasi, termasuk akses pada laporan jurnalistik yang jujur dan berdasarkan fakta, tidak pernah bisa dimusnahkan.

Namun, kembalinya kebebasan pers tidak serta-merta berdampak pada bidang ekonomi. Di negara-negara yang merepresi kebebasan, pertumbuhan ekonomi tidak mampu sehat kembali seperti semula ketika kebebasan pers telah kembali.

Momen krusial terjadi ketika buruknya kondisi ekonomi berkontribusi pada memudarnya antusiasme terhadap demokrasi, meningkatnya ketidakpercayaan terhadap media, dan bangkitnya pemerintah populis yang otoriter. Dalam kondisi tersebut, pemerintah mulai mengontrol media.

Saat ini, tekanan terhadap kebebasan pers terjadi di banyak negara Asia. Di Hong Kong, undang-undang keamanan yang baru mengancam media independent; Di Myanmar media dibungkam dan jurnalis ditangkapi; Di Malaysia jurnalis dilecehkan dan dipenjara gara-gara mengkritik pemerintah; Di Filipina jurnalis investigasi Maria Ressa telah ditahan 10 kali dalam kurun waktu 2 tahun dengan tuduhan pasal pencemaran nama baik di dunia siber berdasarkan sebuah aturan hukum yang kontroversial; Di India, negara demokrasi terbesar di Asia, pemerintahan Modi juga telah membatasi kebebasan pers. Situasi tak jauh berbeda dialami negara-negara lainnya di Asia.

Rangking kebebasan pers Freedom House
Rangking kebebasan pers menurut Freedom House. (sumber: Freedom House)

Australia mungkin terlihat agak bebas, jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangganya. Namun, beberapa tahun terakhir polisi federal Australia mulai mendatangi rumah-rumah jurnalis dan menerapkan aturan keamanan nasional yang keras. Serikat jurnalis the Media Entertainment and Arts Alliance, bahkan menyebut pemerintah Negeri Kangguru sedang melakukan aksi “perang terhadap jurnalisme”.

 

Memahami kelemahan

Kami paham bahwa penelitian ini merupakan studi tingkat makro yang mengamati  berbagai hubungan berdasarkan statistik secara umum. Oleh sebab itu, riset ini tidak bisa dan seharusnya memang tidak menggantikan analisa lebih mendalam terkait kontekstualitas, budaya, dan model media yang spesifik.

Tim peneliti juga memahami bahwa Freedom House hanya satu dari sekian banyak lembaga yang mengukur kebebasan sipil dan hak politik. Organisasi ini menggunakan perspektif Amerika tentang kebebasan individu—termasuk hak untuk memilih, kebebasan berekspresi, kesetaraan di mata hukum—yang bisa dipengaruhi oleh aktor-aktor negara dan non negara.

Namun, tingkat kebebasan pers atau kemampuan jurnalis untuk meliput masalah kepentingan publik secara bebas dapat memberikan pengaruh pada tingkat kemakmuran ekonomi:

Pers yang bebas dapat memberikan informasi bagi warga tentang keberhasilan atau kegagalan pemimpin mereka, menyampaikan kebutuhan dan keinginan warga kepada lembaga pemerintahan dan menyediakan platform untuk pertukaran informasi dan ide yang terbuka. Ketika kebebasan media dibatasi, fungsi-fungsi ini lumpuh dan terjadilah pengambilan keputusan yang salah dan hasilnya bisa membahayakan keduanya baik para pemimpin maupun warga.

Banyak analisa statistik yang masih bisa digarap, tetapi analisa kami menunjukkan bukti kuat bahwa kebebasan pers—bersama dengan peningkatan pendidikan—adalah kunci untuk meningkatkan ekonomi.

Para peneliti berharap bahwa penelitian ini bisa menjadi dorongan bagi pemerintah di Australia dan negara lainnya untuk mempertimbangkan  kembali pendekatan mereka terhadap kebebasan pers. Pemerintah juga mesti mendukung jurnalisme yang melayani publik, seperti yang dikerjakan oleh Australian Broadcasting Corporation (ABC) dan Special Broadcasting Service (SBS). (Alexandra Wake, Abbas Valadkhani, Alan Nguyen, dan Jeremy Nguyen/Penerjemah: Eni Mulia)


Alexandra Wake adalah program manager of journalism di RMIT University, Melbourne, Australia; Abbas Valadkhani adalah professor of economics di Swinburne University of Technology, Melbourne; Alan Nguyen adalah dosen media di RMIT University, dan Jeremy Nguyen adalah dosen senior ekonomi, di Swinburne University of Technology.

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan oleh The Conversation dengan judul Curbs on press freedom come with a cost, new research reveals. Dipublikasikan ulang Global Investigative Journalism Network (GIJN). Penyebarluasan tulisan ini berada di bawah lisensi Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International. Jaring bekerjasama dengan GIJN untuk mengalihbahasakan dan memublikasikan secara berkala artikel-artikel GIJN untuk pengembangan kapasitas jurnalisme di Indonesia.

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.