Jangan Gantungkan Kebebasan Pers kepada Pemerintahan Baru

Jakarta – Tantangan yang dihadapi media massa dan jurnalis diprediksi bakal semakin berat di masa pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif PPMN, Fransisca Ria Susanti saat membuka acara Festival Jurnalis Warga: Semua Bisa Kena yang dihelat di Jakarta, Selasa, 20 Agustus 2024.

“Bagaimanapun tugas untuk mempertahankan atau menyelamatkan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi tidak bisa hanya dikerjakan oleh segelintir orang,” ujarnya.

Santi juga menyoroti beberapa aturan yang dinilainya mempersempit ruang gerak pers. Selain Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang masih menyisakan pasal karet, ada juga pasal penghinaan presiden yang dimasukkan dalam Undang-Undang Kitab Umum Hukum Pidana.

“Pasal karet jadi senjata untuk memberangus suara kritis terhadap kekuasaan. Belum lagi serangan jurnalis maupun pegiat demokrasi yang marak akibat kerja mereka,” tambahnya.

Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Jurnalis Warga Daweut Apui, Bireuen, Murni Nasir mengungkapkan bahwa jurnalis warga yang bekerja dengannya sempat dilaporkan lantaran memuat berita soal buruknya layanan terhadap penyandang disabilitas. Pelapor menggunakan pasal pencemaran nama baik UU ITE.

“Pemberitaan yang kami tulis dianggap mencemarkan nama desa dan memperburuk citra desa.  Mereka melaporkannya ke Polsek,” ujarnya.

Meski demikian, Jurnalis Warga Daweut Apui tak lantas berhenti menyuarakan kritik terhadap kualitas pelayanan publik yang belum maksimal. Pelaporan tersebut justru membuat mereka belajar dan menerapkan tiga hal untuk melindungi jurnalisnya. Pertama, dengan memahami aturan hukum untuk mencegah jurnalis warga dikriminalisasi dengan menggunakan UU ITE. Kedua, berkolaborasi dengan jurnalis profesional untuk isu-isu yang dinilai berisiko hukum. “Jika terjadi gugatan atau laporan, hal ketiga yang bisa dilakukan adalah tetap bersikap kooperatif,” ungkap Murni.

 

Permasalahan UU ITE

Dewan Pengawas  Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto menilai revisi terbaru UU ITE masih meninggalkan sejumlah masalah. Pasalnya, banyak aparat penegak hukum yang belum mengetahui keberadaan regulasi anyar tersebut.

“Pasal yang dianggap bermasalah memang disesuaikan. Tapi apakah itu membuat media dapat lebih bebas, itu yang saya sangsikan. Kita boleh bergembira adanya revisi. Namun itu hanya bersifat sementara saja.” kata Damar.

Menengok data SAFEnet terdapat 768 perkara hukum yang terkait dengan pasal bermasalah UU ITE sepanjang 2018-2020. Sebanyak 70 persen dari total kasus dialami oleh jurnalis, aktivis, dan akademisi, lalu kalangan pejabat publik (38 persen), profesi (27 persen), warga (29 persen), dan pengusaha (5 persen).

Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Sutta Dharmasaputra menilai UU ITE punya sisi positif yang bisa digunakan untuk memberangus disinformasi dan misinformasi yang bertebaran di media sosial. Namun, ia juga mencatat kalau aturan ini juga kerap disalahgunakan. 

“Yang jadi masalah adalah aparat penegak hukum mempermasalahkan informasi yang sebenarnya tidak bermasalah seperti yang diterbitkan media, termasuk jurnalis warga,” ujarnya.

 

Forum Dialog

Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika, Nezar Patria yang memberikan keynote speech dalam acara ini menilai pemerintah perlu mengatur agar terjadi keseimbangan. Aturan yang dibuat, menurutnya, diarahkan untuk membentuk digital citizenship atau norma dan perilaku bertanggung jawab yang diterapkan saat menggunakan teknologi informasi. 

Mantan pimpinan redaksi The Jakarta Post tersebut menilai saat ini media berada di persimpangan jalan. Media diharuskan mengikuti perkembangan teknologi dengan munculnya berbagai platform digital, sementara di sisi lain media mulai kehilangan audiensnya. Bagi Nezar hal itu perlu didiskusikan bersama untuk mencari formulasi yang tepat. 

“Ini hal serius yang menjadi bahan refleksi dan perlu dicarikan jalan keluarnya,” ujar Nezar.

Di tengah berbagai permasalahan tersebut, ia menyambut baik diadakannya Festival Jurnalis Warga: Semua Bisa Kena. “Saya menyambut baik festival ini dan berharap ini bisa menjadi forum dialog yang berkontribusi positif bagi pemerintah sehingga menjadi saran perbaikan regulasi untuk jurnalisme yang independen dan inklusif,” imbuhnya.

Festival Jurnalis Warga: Semua Bisa Kena berisi rangkaian kegiatan diskusi yang menghadirkan pegiat media, jurnalis, kelompok masyarakat sipil, jurnalis warga, dan pemangku kepentingan lainnya. Acara yang dihelat pada 20-21 Agustus tersebut juga diisi dengan dua kelas lokakarya bertajuk “Memaksimalkan Media Sosial untuk Advokasi” dan “Jurnalisme Investigasi Berbasis Teknologi untuk Netizen” yang masing-masing diampu oleh Wakil Pemimpin Redaksi Suara.com Reza Gunadha dan Visual Investigative Producer Narasi.tv, Aqwam Fiazmi Hanifan.

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.