Hutan Digarap Perusahaan: Warga Masih Hidup dalam Kemiskinan

Rinjani Sabelau (80) terlihat mondar mandir di beranda rumahnya, sesekali ia membungkukkan badan ke bawah tumpukan kayu bakar yang sengaja disusun di samping kiri pintu masuk untuk melihat periuk berisikan ubi yang sedang dimasak. Bangunan kayu berukuran 4×3 meter persegi dibagi dua, satu bagian dijadikan kamar tidur dan sebagiannya lagi dijadikan sebagai beranda rumah yang sekaligus dimanfaatkan Rinjani sebagai ruang tamu.

Dinding rumah yang terbuat dari papan itu terlihat berlubang-lubang dan mulai keropos dimakan rayap, tak ada pengganti, kata Rinjani.
“Tidak ada gunanya lagi saya perbaiki rumah ini. Saya tidak punya uang dan di sini pun saya hanya tinggal sendiri,” ujarnya.

Ketika meminta izin kepada Rinjani untuk mengambil foto rumahnya, ia menolak. “Tidak usah difoto, tidak ada juga bantuan sedikit pun untuk saya. Kemaren ada juga yang foto rumah saya, katanya akan ada bantuan dari pemerintah. Namun, sampai sekarang tak kunjung datang,” ungkapnya.

Rinjani tinggal di Dusun Taikako Hulu, Desa Taikako, Kecamatan Sikakap, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Di daerah ini sedang beroperasi PT Minas Pagai Lumber (MPL) dengan izin konsesi IUPHHK-HA (HPH) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seluas 78.000 hektare yang meliputi Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan, termasuk Sikakap di dalamnya.

PT MPL mendapat perpanjangan izin 13 April 2013 hingga 12 April 2056. Perusahaan ini sesungguhnya sudah beroperasi di Mentawai sejak 1972 dan berakhir pada 1995.

Rinjani adalah salah satu potret kemiskinan warga yang tinggal di lingkungan izin konsesi hutan alam (kayu) di Mentawai, yang tentu menghasilkan milyaran rupiah uang. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memperlihatkan, produksi kayu bulat PT MPL periode Januari-Mei 2016, 1.838 batang atau 8.876 kubik untuk jenis meranti.

Pengakuan Rinjani, perusahaan terlalu leluasa menggarap kayu yang berada di wilayah Taikako. Fee yang diberikan pun tidak sesuai. Tanah-tanah di sana meski kawasan tanah negara dengan status hutan produksi, masyarakat sesungguhnya mengakui hutan-hutan tersebut milik suku mereka yang kepemilikannya diwariskan dari nenek moyang, jauh sebelum status hutan produksi ditetapkan pada 1960-an.

“Tanah kami (hutan milik suku dusun Taikako-red) yang digarap perusahaan Minas Pagai Lumber itu untuk mengambil kayu sangat luas. Kami hanya dikasih Rp800 ribu pada bulan Juni sebagai fee tahun ini,” kata Rinjani.

Menurut Rinjani, fee yang diberikan PT Minas Pagai Lumber sama sekali tidak mencukupi untuk kebutuhan hidupnya. “Saya sudah tua, tidak sanggup lagi untuk bekerja. Rp800 ribu per tahun itu tidak akan cukup untuk makan sehari-hari. Ya, seperti ini kondisi kami di sini, keseharian saya hanya mengkonsumsi ubi atau pisang sebagai makanan pokok,” ungkapnya.

“Memang saya punya anak tiga orang, namun mereka juga sudah bekeluarga. Untuk menghidupi keluarganya saja susah, apalagi membantu saya,” katanya.

Data dari mantan Kepala Dusun Taikako Hulu, Daniel (67) kondisi masyarakat Taikako yang senasib dengan Rinjani masih banyak lagi. Mereka hidup sendiri dan hanya mengandalkan ubi ataupun pisang sebagai makanan pokok. Tidak ada lagi harapan membangun rumah meski tanah mereka memiliki kayu yang cukup berlimpah.

Menurut Daniel, kesepakatan antara masyarakat dan PT Minas Pagai Lumber tidak jelas. Perundingan untuk menentukan fee hanya dilakukan satu kali, tidak ada keterangan yang diberikan terkait fee dan jumlah kayu yang telah ditebang perusahaan.

“2014 masyarakat Taikako mengadakan perundingan dengan perusahaan untuk menentukan jumlah fee yang akan didapatkan. Kesepakatan tersebut menyimpulkan bahwa fee untuk masyarakat dihitung dari kubik kayu yang diambil, satu kubik itu fee nya Rp50.000, itu tanpa ada bantuan lain. Kalau masyarakat ingin ada bantuan lain seperti infrastruktur, fee yang diberikan hanya Rp25.000 per kubik, dan itu disepakati karena masyarakat butuh bangunan rumah ibadah, balai dusun ataupun jalan,” ungkapnya.

Daniel menyayangkan, setelah perundingan tersebut sampai saat ini tidak ada lagi kesepakatan yang jelas antara masyarakat dan perusahaan. “Kami tidak tahu lagi, RKT 2015 dan 2016 apakah fee yang kami dapatkan sesuai dengan kubik kayu yang mereka ambil. Kami di sini tidak tahu apa-apa, tidak banyak masyarakat di sini yang berpendidikan,” ujarnya.

Daniel mengatakan, masyarakat Taikako hanya pasrah. Berapa pun fee yang diberi, diterima saja. “Kami terima saja berapa yang mereka berikan, kami pun tidak mengerti persoalan dalam penghitungan kubik kayu dengan fee tersebut. Perusahaanpun tidak pernah memberikan kami penjelasan,” ungkapnya.

Restinus Samongilailai (45) mengatakan bahwa tidak ada harapan perusahaan akan memberikan kesejahteraan untuk masyarakat. “Saya sangat menyayangkan kenapa dahulu kita mau begitu saja menyerahkan lahan kepada perusahaan. Kita pasrah saja, berapa diberikan disyukuri saja,” katanya.

Menurutnya, lebih baik mengadu nasib ke rantau orang daripada mengharapkan uang dari perusahaan kayu tersebut. “Walaupun mereka beraktivitas di tanah kita, namun kita tidak akan mendapatkan juga hasil yang memadai dari itu semua. Tidak perlu kita sesali lagi, ini semua sudah terlanjur disepakati,” ujarnya menjelaskan.

Sementara Kepala Bagian (Kabag) Produksi PT Minas Pagai Lumber (MPL), Agus Rahmad mengatakan hasil produksi tahun Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2014 mencapai 63.313 kubik berbentuk log/kayu bulat. Untuk RKT 2015, produksi mencapai 57.768 kubik, sedangkan untuk RKT 2016, terhitung hingga Agustus, produksi mencapai 19.099 kubik.

“Itu jumlah yang kita olah di areal Taikako,” ujarnya.

Selain itu, Marsono Sababalat, Kabag Sosial Masyarakat (Sosmas) PT MPL mengatakan bahwa perusahaan telah memberikan fee untuk masyarakat sesuai kesepakatan bersama masyarakat tersebut. “Kita bayar kepada masyarakat sebagai fee Rp25.000 per kubik. Pembayaran tersebut disaksikan oleh Kepolisian, Camat dan Koramil serta didampingi Muspika,” katanya.

Ia mengatakan, sampai saat ini, perusahaan tidak sanggup untuk memberikan fee lebih dari itu kepada masyarakat. “Kita mampunya hanya segitu, karena kita membayar cukup besar juga kepada pemerintah,” katanya.

Selain memberikan bantuan dalam bentuk fee, perusahaan juga memberikan bantuan bangunan di Taikako. “Tidak hanya fee yang kita berikan, kita juga membangun gereja, jalan, jembatan serta memberikan seng untuk pembangunan balai desa,” ungkap Marsono.

Kewajiban perusahaan sebagaimana yang telah disepakati sudah ditunaikan, katanya.

 

Tulisan ini telah dimuat di Pualliggoubat edisi 1, 14 September 2016, dan diedit kembali untuk dimuat di Jaring.id

Ekspansi Pertambangan Nikel Picu Deforestasi

Penambangan nikel di Halmahera Tengah tak hanya mengakibatkan deforestasi. Ia membikin aliran air sungai menjadi keruh, banjir bandang, hingga merampas kehidupan warga yang selama ini

Yang Rusak karena Tambang Nikel Halmahera

Aliran sungai di Halmahera Tengah tercemar akibat deforestasi penambangan nikel. Air sungai terkontaminasi, sehingga tidak lagi bisa dikonsumsi maupun untuk menjalankan ritual keagamaan. Oktaviana Kristin

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.