Hoaks Perparah Regresi Demokrasi

Kalis Mardiasih tak dapat memungkiri efek buruk serangan digital terhadap kelompok kritis, seperti aktivis, jurnalis, dan organisasi masyarakat sipil sepanjang dua tiga tahun terakhir kepada dirinya. “Saya banyak ditanya, kok Kalis suaranya di Twitter berkurang? Saya ini sudah tidak banyak ngomong semenjak kasus Ravio dan Ananda,” ujarnya dalam diskusi bertajuk Demokrasi di Bawah Ancaman Disinformasi Jelang Pemilu pada Jumat, 10 Februari 2023 di Institut Kebudayaan Jerman, Goethe Institute, Jakarta.

Saat itu, akhir September 2019, musikus Ananda Badudu ditangkap polisi. Penangkapan Ananda terkait uang yang dihimpun melalui situs crowdfunding kitabisa.com dan disalurkan untuk demonstrasi mahasiswa penentang RKUHP dan Undang-Undang KPK hasil revisi di depan Gedung DPR/MPR pada 24-25 September 2019. Sementara Ravio diciduk di Jalan Gelora, Menteng, Jakarta Pusat pada April 2020. Ia dijerat UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena diklaim melakukan ujaran kebencian.

”Saya tidak bohong. Setiap ada tindakan otoritarianisme digital, saya selalu (mengalami) psikosomatis,” kata Kalis yang juga pegiat literasi digital.

Merujuk data SafeNET, insiden keamanan digital terjadi sebanyak 302 kali sepanjang 2022. Insiden keamanan ini meningkat 54 persen dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 193 kejadian. Dari jumlah itu, sekitar 50 jurnalis atau pekerja media menjadi korban. Jumlah ini merupakan yang terbesar ketiga setelah kalangan aktivis atau organisasi masyarakat sipil.

Pada September 2022, terjadi serangan secara masif terhadap akun Twitter Mata Najwa, jurnalis, staf media, dan mantan staf Narasi TV. Sedikitnya 30 pekerja, termasuk pemimpin redaksi, produser, reporter, desainer, dan staf sumber daya manusia yang diserang. Mereka mengalami peretasan Whatsapp, Telegram, Facebook, dan Instagram.

Kalis sendiri saat ini mengaku kelesah ketika bermedsos. Ia tak lagi leluasa mengutarakan pendapat. Terlebih ketika salah seorang kenalannya di pemerintahan mengabarkan bahwa cuitannya di Twitter mulai dijadikan barang bukti serangan balik. Karenanya ia menyatakan tak jarang mengerem keinginan untuk ikut berkomentar di jagat maya. “Jadi saya shitpost saja. Posting sambal setiap hari. Tempe goreng. Kangen suami. Tidak ada yang berkualitas,” ungkapnya.

Meski begitu, “saya tetap mengambil langkah alternatif. Mencari isu strategis yang masih bisa saya bicarakan. Saya punya kapasitas mental yang cukup untuk merespons situasi krisis demokrasi khususnya demokrasi digital,” lanjut dia.

Kondisi ini yang kemudian juga dikhawatirkan Deputi Direktur Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), Fransisca Ria Susanti. Serangan digital maupun pelabelan hoaks, menurutnya, bisa menjadi alat untuk membungkam kelompok masyarakat sipil yang kritis terhadap pemerintah. Hal ini juga berlaku terhadap jurnalis. Akibatnya, kelompok kritis memilih untuk melakukan swasensor. “Maka, demokrasi akan sulit diperoleh,” katanya.

Sebelumnya, Freedom House—lembaga di Amerika Serikat yang kerap mengukur indeks demokrasi suatu negara, menetapkan status demokrasi Indonesia sebagai “partly free” alias belum sepenuhnya demokratis. Skor demokrasi Indonesia ini mengalami kemunduran dari 65 pada 2013 menjadi 59 pada 2022. Sementara laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) pada awal Februari 2023 menunjukkan indeks demokrasi Indonesia berada di bawah Kolombia dan Filipina.

Oleh sebab itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menilai serangan digital dan disinformasi tak bisa dianggap remeh. Hampir seluruh negara mengalami hal yang sama. Terlebih ketika mendekati pemilihan umum. Dalam kasus Pemilu di Filipina, misalnya, di mana warga dibuat sesat sebelum melakukan pemilihan. Hal ini yang menguntungkan Ferdinand Marcos Junior melenggang mulus sekalipun berasal dari keluarga diktator. ”Misinformasi-disinformasi yang akhirnya membuat masyarakat Filipina tersesat. Meta Facebook itu sampai menutup sekitar 400 akun yang dianggap kejahatan,” ujar Usman, Jumat, 10 Februari 2023.

 

Tak Hanya di Indonesia

Serangan digital dan menjamurnya hoaks, kata Usman, terjadi di negara Asia Tenggara lain, termasuk Myanmar. Kebebasan sipil di negara jiran itu dinilai memburuk sejak 2020 setelah pemerintahan partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi yang memenangi pemilu digulingkan oleh militer. Amnesty International pada November 2022 lalu melansir sedikitnya 1,4 juta orang mengungsi dan tak kurang dari 12.800 ditahan sejak militer mengambil alih kekuasaan.

”Ada kecenderungan demokrasi di Indonesia alami kemunduran, meski tidak sedrastis kudeta militer Thailand, Myanmar, dan Turki. Meski begitu, demokrasi di Indonesia cukup berbahaya karena ruang sipil kian menyusut,” ia menambahkan.

Salah satu akibat dari ruang sipil yang menyusut, menurut Usman, ialah serangan terhadap integritas penyelenggara pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dituding telah mengintervensi hasil verifikasi faktual partai politik jelang Pemilihan Umum 2024. ”Jadi kalau ruang sipil menyempit, kalau ruang oposisi politik melemah, kalau elektabilitas elektoral juga hancur, maka sebenarnya Indonesia adalah bukan negara demokratis,” ujarnya.

Di Timor Leste, hoaks jelang pemilu juga mulai muncul, meski tak marak. “Karena pengguna internet di Timor Leste tidak begitu tinggi, ini hanya beredar di Dili. Dan jadi bahan ketawaan saja,” kata Direktur Eksekutif Centro Nacional Chega! Hugo Fernandes.

Salah satu hoaks yang tersebar jelang Pemilu Parlemen pada 21 Mei 2023 ialah informasi mengenai formasi kabinet versi Partai CNRT. Informasi tersebut dibuat dalam sebuah file dengan logo CNRT di atasnya. Namun yang aneh, menurut Fernandes, daftar nama calon menteri yang duduk di kabinet tersebut merupakan tokoh-tokoh yang di masa lalu dikenal sebagai tokoh pro-otonomi Indonesia. Padahal, CNRT yang didirikan dan dipimpin oleh Xanana Gusmao dikenal sejak awal sebagai gerakan pro-kemerdekaan. “Ini hoaks. Dilancarkan oleh partai tandingan dan tersebar di media sosial,” ujar Fernandes kepada Jaring.id, Jumat, 17 Februari 2023.

Ironisnya, kata dia, jurnalis yang berafiliasi dengan partai justru turut memproduksi dan menyebarkan kabar bohong melalui Facebook—media sosial yang paling banyak pengguna di Timor Leste.

Hoaks “Kabinet CNRT” tersebut, menurut Fernandes, merupakan hoaks politik paling populer yang muncul menjelang pemilu mendatang. Namun, ia menilai pemilu nanti tidak akan mengubah banyak peta politik parlemen. Dua partai besar, yakni CNRT dan Fretilin, diprediksi akan tetap menguasai kursi parlemen. Meski begitu, ia setuju, penyebaran hoaks perlu diberantas. Sayangnya, regulasi yang menyoal penyebaran hoaks belum ada. “Tahun lalu sempat ada pembahasan (di parlemen) tentang defamation law dan kemudian cyber law. Namun ini kemudian tidak jadi karena banyak yang menentang,” katanya.

Sementara Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang dibahas di parlemen sejak tahun lalu juga belum difinalisasi. Padahal salah satu pasal dalam UU ini memberikan tambahan wewenang kepada Dewan Pers untuk memantau konten penyiaran. Ini dapat berguna untuk mengantisipasi penyebaran hoaks di radio dan televisi—media yang paling banyak diakses oleh warga Timor Leste. Namun, kata dia, pengesahan UU ini bukan pekerjaan mudah. “Mayoritas pemilik radio dan televisi di Timor Leste adalah juga pemimpin partai politik,” demikian Fernandes.

Ruang Sipil Harus Kuat

Pengamat politik dari Departemen Politik dan Perubahan Sosial, Universitas Nasional Australia, Edward Aspinall mengungkapkan bahwa demokrasi di Indonesia mulai muncul tanda-tanda menuju regresi. ”Sekalipun regresi di Indonesia tidak sebrutal dengan Myanmar dan Thailand. Di indonesia lebih perlahan-lahan. Secara gradual. Saya kira cukup jelas terlihat prosesnya,” ujar Aspinall saat menyampaikan pandangannya dalam sesi diskusi yang diselenggarakan oleh PPMN, Jumat, 10 Februari 2023.

Tanda-tanda ini, menurutnya, sudah mulai terdeteksi sejak era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dan kondisinya kian memburuk ketika Presiden Joko Widodo menjabat pada 8 tahun lalu. “Kebebasan sipil mulai digerogoti 8-10 tahun lalu,” ungkapnya.

Salah satu indikasi regresi yang diungkapkan Aspinall ialah pembubaran maupun pelarangan organisasi masyarakat pada 2020 lalu lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan UU Organisasi Masyarakat Nomor 17 Tahun 2013. Penerbitan perppu ini berimplikasi terhadap penyederhanaan proses penerapan sanksi administratif kepada ormas yang melakukan pelanggaran. “Selain itu, reaksi pemerintah terhadap demokrasi mahasiswa saat pengesahan KUHP dan UU Omnibus Law Cipta Kerja,” ujarnya merujuk sikap DPR dan pemerintah yang membangkang terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi terkait UU Cipta Kerja.

Sebelumnya, pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja pada akhir tahun lalu untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK. Namun, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan DPD bersama pemerintah sepakat untuk membawa Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ke rapat paripurna pada 15 Februari 2023 lalu. Hanya Fraksi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera yang menolak keputusan tersebut.

Konsolidasi elite ini, menurut Aspinall, yang menjadi masalah utama di Indonesia. Kelompok oposisi tak lagi bergigi karena rezim pemerintahan sekarang dapat mengintervensi partai politik, penyelenggara pemilihan umum, dan bahkan penegak hukum. ”Hal itu yang lebih mengkhawatirkan akhir-akhir ini. Seandainya itu terjadi, berarti proses kemunduran demokrasi di Indonesia akan memasuki fase baru,” kata dia.

”Jadi yang menjadi masalah adalah masalah struktural. Karena saya sangat yakin bahwa pada umumnya masyarakat Indonesia mendukung demokrasi,” ia melanjutkan.

Status quo para elite ini yang kemudian memungkinkan lahirnya praktik penyebaran kabar bohong atau hoaks. Sebab, kata dia, hoaks berguna untuk memperdaya masyarakat agar dapat menerima keadaan sosial, ekonomi, dan politik rezim tertentu. ”Saya kira, hoaks berperan mempersiapkan masyarakat untuk menerima proses regresi demokrasi. Orang jadi tidak mengambil sikap kritis terhadap hoaks,” ia menyesalkan.

Kondisi tersebut dapat terlihat dari polarisasi masyarakat jelang dan pasca pemilu. Di mana masyarakat terbelah menjadi beberapa kelompok. ”Masyarakat toleran tapi antidemokrasi terhadap kubu yang berlawanan. Cebong kampret saya kira menjadi satu faktor. Harus dicatat juga sebagai faktor regresi. Sebagian masyarakat dapat bersikap toleran pada tindakan antidemokrasi asalkan tertuju pada lawan politik tertentu,” tambahnya.

Atas kondisi tersebut, Usman Hamid memprediksi kegaduhan pemilu sebelumnya, seperti polarisasi dan politik identitas akan kembali terjadi pada Pemilu 2024 mendatang. ”Masih akan gaduh. Pada 2014 terjadi, 2018 saat Pilkada DKI terjadi. Tahun 2019 juga terjadi dan 2022 terjadi di Filipina. Bukan mustahil terjadi lagi pada 2024,” kata dia.

Agar tidak kebablasan, Usman menyarankan agar masyarakat, politikus, juga pemerintah lebih mendahulukan demokrasi dan hak asasi manusia ketimbang kepentingan politik jangka pendek pada pemilihan nanti. Masyarakat pun diminta agar tidak hanya menjadi penonton dari pesta demokrasi, tetapi harus menjadi subjek aktif. Misalnya, dalam menolak wacana yang mengarah ke hyper-nationalism. ”Ketika kita membela HTI dibubarkan dengan proses peradilan. Bukan berarti membela HTI. Kita membela sistem demokrasinya. Itu yang belum cukup terpecahkan. Jadi itu pekerjaan rumah kita untuk membenahi collective action untuk tidak lagi terulang masa kepemiluan nanti,” ungkapnya.

Usman dan Aspinall sepakat bahwa masyarakat perlu bersama-sama memerangi politik identitas dan penyebaran hoaks jelang pemilu. ”Kalau ada hal-hal yang perlu dipersoalkan melalui petisi online ya mulai lah. Galang lah dukungan. Ceritakanlah mengapa itu penting. Saya kira bentuknya harus ada action,” kata Usman.

Salah satu kelompok masyarakat yang telah bergerak memberantas hoaks adalah GERAK Aceh dan Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (YPPM) Maluku. Anggota GERAK Aceh, Nurma mengungkapkan bagaimana politik identitas di Aceh mulai dihembuskan, baik lewat Whatsapp Group sampai mimbar-mimbar keagamaan. Antara lain mengenai perempuan yang tidak boleh menjadi pemimpin.

”Jadi perlu memberi pemahaman kepada masyarakat. Siapa? Perempuan, pemuda, disabilitas bahwa kalau menerima informasi jangan langsung diterima karena kebanyakan yang menerima hoaks itu perempuan dan anak muda yang dia dapat dari WAG, Facebook. Diterima dan langsung disebarkan,” ungkapnya.

Oleh sebab itu, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh mengingatkan masyarakat munculnya hoaks, fitnah, hasut pada tahun politik ini. Karenanya MPU berencana untuk kembali menyosialisasikan Fatwa Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penyebaran Berita Bohong (Hoax) dan Dampaknya jelang pemilu.

Ketua MPU Aceh, Tgk. H. Faisal Ali mengatakan pihaknya sudah sepakat dengan sejumlah lembaga, seperti Mafindo dan GERAK untuk menjadikan fatwa sebagai landasan mencegah penyebaran hoaks. “MPU juga akan mengeluarkan tausiah-tausiah tersendiri. Saat ini MPU sudah mengeluarkan fatwa hukum tentang rekrutmen penyelenggara dan pengawas pemilu,” kata dia saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat, 24 Februari 2023. “Ini bukan hanya bicara dalam konteks keagamaan, tetapi juga dalam konteks demokrasi. Demokrasi tidak akan berkualitas kalau orang memilih atau tidak berdasarkan hoaks,” ia menambahkan.

Sementara itu, Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (YPPM) Maluku menyatakan masih berkutat pada masalah konflik keagamaan. ”Itu isu sensitif kalau apalagi kalau soal agama,” ujar perwakilan dari YPPM, Roni.

Pada 2022 lalu, lanjut Roni, sempat terjadi konflik antarwarga akibat persoalan batas tanah. Namun karena hoaks, pertikaian itu merembet mempersoalkan agama. ”Ada yang mengirimkan informasi terkait Ambon membara. Padahal persoalannya cuma masalah tanah tapi dikaitkan dengan agama,” ujarnya.

Dari hal itu, YPPM mencoba untuk memperkuat upaya masyarakat untuk menangkal kabar bohong yang melibatkan sekolah, kelompok pemuda, tokoh agama. ”Khusus yang berkaitan dengan isu agama. Karena isu itu telah mengoyak kehidupan beragama masyarakat yang ada di Maluku,” tutupnya.

Sisa Kengerian Perang di Pinggiran Kyiv

Tentara Ukraina berusaha menjalankan berbagai siasat untuk menahan pasukan Rusia merangsek ke Kyiv, dua tahun lalu. Akibatnya, perang meletup di kota-kota yang terletak di sekitar

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.