Riuh rendah pembahasan amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 terdengar sumbang oleh Cornalis Natasya dan Diah Ayu. Dua warga DKI Jakarta ini menyebut wacana penambahan masa tugas presiden dan pembahasan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak relevan dengan situasi saat ini. Ia berharap para politikus Senayan harusnya lebih fokus menyelesaikan masalah daya tahan warga menghadapi pandemi Covid-19.
“Penanganan Covid-19 yang masih amburadul, krisis HAM, krisis lingkungan hidup. Belum lagi krisis ekonomi. Pemerintah masih gagal,” kata Natasya saat dihubungi Jaring.id melalui Whatsapp, Rabu, 24 Maret 2021.
Sementara Diah Ayu mengaku sangsi terhadap alasan di balik penambahan masa tugas presiden menjadi tiga periode. Sebelumnya, MPR mengklaim bahwa haluan negara diperlukan untuk menjamin kesinambungan kebijakan negara. “Dua periode belum kelihatan kerjanya apalagi menjadi tiga periode,” ujar Diah kepada Jaring.id, Rabu, 24 Maret 2021.
Wacana menghidupkan PPHN melalui amandemen UUD 1945 bergulir di MPR sejak 2014-2019. MPR periode lalu mengklaim bahwa presiden perlu panduan, seperti Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) era Orde Baru untuk meneruskan pembangunan. Gagasan itu kemudian dilungsurkan kepada anggota MPR periode 2019-2024. Wacana ini kemudian berkembang jauh hingga membahas isu perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
Ketua MPR, Bambang Soesatyo memastikan tidak ada usulan mengenai perpanjangan masa jabatan presiden. Seperti dikutip dari laman mpr.go.id, Bambang menyebut bahwa Badan Pengkajian MPR RI sedang fokus menyelesaikan substansi Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Ia menargetkan Haluan negara ini tuntas pada akhir 2021 mendatang.
“Memuat hal-hal filosofis, bukan bersifat teknokratis. Sehingga bersifat sebagai pemberi bintang petunjuk bagi seluruh penyelenggara negara. Majelis perlu menegaskan bahwa tidak ada sama sekali pembahasan tentang periodesasi presiden karena periodesasi presiden dua kali seperti yang ada saat ini sudah ideal,” ujar Bamsoet usai memimpin pertemuan Pimpinan MPR RI dengan Pimpinan Badan Pengkajian MPR RI di Komplek Majelis, Jakarta, Selasa, 23 Maret 2021.
Di samping undang-undang dasar, Bambang menyebut Ketetapan MPR (TAP MPR) sebagai dasar hukum alternatif yang dapat digunakan untuk menampung PPHN. Karena itu, kata dia, belum tentu PPHN akan muncul lewat amandemen UUD 1945. “Siapapun presiden-wakil presiden yang maju dalam pemilihan, harus menerjemahkan PPHN dalam visi dan misinya. Termasuk juga bupati/walikota hingga gubernur. Sehingga arah pembangunan bangsa dari tingkat daerah hingga nasional bisa seiring sejalan,” terang Bambang.
Anggota Fraksi Nasional Demokrat, Taufik Basari ragu pengesahan PPHN tanpa melalui amandemen UUD 1945. Pasalnya amandemen terakhir melarang MPR untuk mengeluarkan TAP yang bersifat mengatur (regling). Ia wewanti-wanti agar wacana amandemen ke-5 tidak digunakan sebagai pintu masuk untuk menyelundupkan pasal di luar jabatan presiden dan PPHN. “Ada kekuatan tertentu yang coba melakukan perubahan dasar yang ada kaitan dengan perubahan ideologi negara,” kata Taufik Basari.
Untuk saat ini, Taufik menilai amandemen konstitusi belum perlu dilakukan. Pembuatan PPHN justru akan melemahkan sistem presidensial, sehingga presiden terpilih akan tunduk pada program-program yang telah disusun MPR. “Presiden yang punya visi misi tertentu malah terikat dengan PPHN. Ini dapat menggeser sistem presidensial,” kata Taufik Basari.
Mantan anggota MPR periode 1999-2004 yang juga pernah menjadi tim ad hoc amandemen konstitusi, Valina Singka Subekti mengungkapkan betapa pentingnya penguatan sistem presidensial. Amandemen 1999-2002, menurutnya, bertujuan untuk memberi batas bagi kekuasaan. Mula-mula jabatan presiden yang dibatasi, selanjutnya pengubahan pada struktur ketatanegaraan di mana MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Dengan begitu semua lembaga berada dalam tingkat yang setara sehingga dapat melakukan proses check dan balance.
Melalui amandemen itu pula, konstitusi menghilangkan GBHN, kemudian membuka pintu bagi Pemilihan Presiden atau Pilpres secara demokratis dan mengakui Pemilihan Umum terbuka. “Kita mau menghasilkan presiden yang punya legitimasi kuat. Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan tidak mudah dijatuhkan di tengah jalan,” kata Valina saat memberikan keterangan pada kegiatan diskusi virtual Denpasar 12 bertemakan Membedah Wacana Amendemen UUD 1945, Rabu, 24 Maret 2021.
Guru Besar Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia ini menilai Indonesia belum perlu melakukan amandemen konstitusi. Menurutnya, UUD hasil amandemen ke-4 masih relevan untuk membangun sistem politik yang demokratis. “Transisi demokrasi selalu ada kaitan dengan reformasi konstitusi dan demokratisasi,” ujarnya.
Dalam hal ini, Presiden Joko Widodo mengklaim tidak berminat untuk melanjutkan masa jabatan. Jokowi bersikukuh memegang Undang-Undang Dasar 1945 sebagai acuan bernegara. Pada Pasal 7 UUD 1945 menerangkan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. “Saya tegaskan, saya tidak ada niat. Konstitusi mengamanatkan dua periode. Itu yang harus kita jaga bersama-sama,” kata Jokowi saat memberikan pernyataannya di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin 15 Maret 2021.
Hal itu pula yang ditegaskan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. Menurutnya, isu amandem terkait perubahan masa jabatan presiden tidak berdasar dan salah alamat. “Yang bicara itu yang ingin sebetulnya. Siapa tahu suatu saat dia bisa tiga periode,” kata Megawati saat meluncurkan buku berjudul Merawat Pertiwi, Jalan Megawati Soekarnoputri Melestarikan Alam di DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Jakarta, Rabu 24 Maret 2021.
Sementara itu, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menyangsikan pernyataan Presiden Jokowi. Menurutnya, ucapan Presiden di hadapan publik tidak bisa dijadikan patokan untuk mengukur ambisi politik. Terlebih Jokowi punya rekam jejak kurang baik ketika memberikan pernyataan. Titi teringat dengan ucapan Jokowi ketika menanggapi isu pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saat itu, presiden menegaskan tidak akan melemahkan KPK, namun pada kenyataanya revisi tersebut justru menjadi pintu masuk untuk melemahkan lembaga antirasuah. “Terkesan lelucon, tapi tidak bisa disepelekan,” kata Titi saat dihubungi Jaring.id, Kamis, 25 Maret 2021.
Titi menilai wacana terkait jabatan tiga periode tak ubahnya sebagai upaya untuk memperkuat hegemoni presiden dan hal itu akan berkaibat buruk terhadap iklim demokrasi di Indonesia. “Bangsa besar tapi hanya bergantung sekelompok kecil individu. Jelas saja ini tidak memberikan rasa adil kepada orang lain. Ini tidak sejalan dengan prinsip demokrasi,” ungkap Titi.
Ketimbang bersirobok untuk membahas amandemen UUD 1945, Titi menyarankan agar pemerintah maupun DPR fokus meningkatkan kualitas demokrasi dengan cara membuka ruang partisipasi warga untuk terlibat dalam kontestasi pemilihan presiden. Salah satu caranya dengan merevisi sistem pemilu, baik terhadap ambang batas presiden (presidential threshold) maupun parlemen (parliamentary threshold).
Senada dengan Titi, Peneliti Asia Democracy Network (ADN), Safina Maulida menyebut bahwa politikus di Senayan hanya melihat sistem demokrasi dari sisi elektoral atau memilih dan dipilih. Padahal, kata dia, muatan demokrasi mencakup pemenuhan akuntabilitas, memperhatikan hak-hak sipil, kelompok termajinalkan, hingga memberikan ruang selebar-lebarnya untuk menyampaikan pendapat, berkumpul, hingga menentukan pilihan presiden. “Jadi bukan soal pemilihan presiden dan pemilu saja. Sistem politik kita sudah kehilangan justice, tapi masih ingin mencoba fairness,” ujar Safina saat dihubungi Jaring.id melalui telepon, Rabu, 24 Maret 2021.