Nibras Nada Nailufar sulit melupakan peristiwa yang terjadi pada Selasa, 24 September 2019. Saat itu, ia bertugas meliput unjuk rasa penolakan Rancangan Kitab Umum Hukum Pidana (RKUHP) dan Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja di hadapan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senayan, Jakarta. Aksi penolakan tersebut dilakukan oleh pelbagai elemen masyarakat, seperti buruh, aktivis dan mahasiswa. “Saya ke sana untuk liputan khusus. Saya hanya mengambil data dan gambar,” ungkap Nibras menceritakan peristiwa tiga tahun lalu saat dihubungi Jaring.id melalui sambungan telepon, Kamis, 26 Oktober 2022.
Aksi massa menolak RKUHP dan UU Cipta Kerja tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di sejumlah kota besar di Indonesia, diantaranya Yogyakarta, Malang, Medan, dan Kendari. Mayoritas berujung ricuh dan bentrok dengan aparat kepolisian. Di Jakarta, Nibras melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana polisi melakukan tindak kekerasan terhadap massa aksi. “Suasana saat itu mencekam” ujarnya.
Polisi tak segan memukul, menendang, menelanjangi, dan menyeret sejumlah orang ke Jakarta Convention Center (JCC)—gedung yang bersebelahan dengan DPR. Gedung ini sebelumnya dijadikan titik kumpul pihak polisi yang bertugas menghalau massa agar tidak memasuki kawasan Senayan. Nibras yang melihat kejadian itu berusaha mengingatkan agar polisi tidak sewenang-wenang sembari mengarahkan kamera. Alih-alih berhenti, jurnalis Kompas.com ini malah dikerubungi sejumlah polisi sambil dibentak-bentak. “Polisi berseragam meminta untuk berhenti merekam,” katanya.
Tentu permintaan itu ditolak. Sebagai jurnalis Nibras perlu memberitakan brutalitas polisi itu kepada publik. Tapi polisi berkeras mengambil ponselnya, sekalipun mereka sudah membaca kartu identitas persnya. “Saya akhirnya memasukkan (ponsel) ke bra saya. Begitu (polisi)datang ke saya, handphone saya masukkan ke dalam bra. Tapi mereka mencoba tarik tangan saya. Tas saya ditarik,” kenangnya.
Nibras kemudian melaporkan kejadian itu ke redakturnya. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers pun dihubungi agar dapat melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya ke polisi. “Saya takut kalau ada apa-apa dituntut polisi jadi butuh pendampingan,” ujarnya.
Laporan itu dilayangkan Nibras bersama kuasa hukum dari LBH Pers lewat Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Kepolisian Daerah Metro Jaya dua pekan setelah kejadian. Namun laporan tersebut ditolak. Alasannya, kata dia, terduga pelaku kekerasan tersebut adalah polisi. Polisi menyarankan agar aduan disampaikan ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Metro Jaya.
Nibras menolak. Sebab ia sengaja hendak membawa kasus tersebut ke ranah pidana. Pasalnya, polisi telah menghalangi-halangi kerja jurnalis seperti tertuang dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. “Kami berhasil lapor setelah menyampaikan ke rekan jurnalis. Akhirnya rekan saya mengadu ke Kabid Humas Polda. Lalu laporan diterima di SPKT,” jelasnya.
Polda Metro menyerahkan kasus Nibras ke Polisi Resort Jakarta Pusat. Namun proses pengusutan berlangsung lama. Mulai dari pengaduan hingga pemanggilan membutuhkan waktu hingga tiga bulan. “Setelah itu baru saya dipanggil, diminta keterangan sebagai pelapor,” katanya.
Tiga tahun berlalu, kasus kekerasan yang menimpa Nibras tak kunjung rampung. Ia mengaku sudah berulang kali menanyakan perkembangan kasusnya ke pihak kepolisian. Namun hingga saat ini ia tak mendapat kepastian hukum.
Tindak kekerasan juga dialami oleh jurnalis Tempo, Nurhadi. Pada Sabtu malam, 27 Maret 2021, Nurhadi ditugasi untuk mengonfirmasi dugaan korupsi yang dilakukan mantan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak, Angin Prayitno Aji. Majalah Tempo hendak menulis laporan terkait suap Rp15 miliar dan 4 juta dolar Singapura atau sekitar Rp42,17 miliar terkait dengan tiga pemeriksaan pajak di PT Gunung Madu Plantations, PT Bank Pan Indonesia Tbk, dan PT Jhonlin Baratama.
Nurhadi mengajak seorang videografer untuk mengambil gambar Angin yang tengah menggelar hajatan pernikahan anaknya dengan anak salah satu petinggi kepolisian di Graha Muda Samudra, Komplek Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, Surabaya Jawa Timur. Namun tidak mudah bagi Nurhadi memasuki lokasi pesta. Sebab pernikahan berlangsung terbatas. Para tamu harus membawa undangan berbarcode yang telah disiapkan panitia. Para tamu juga dilarang mendokumentasikan pesta pernikahan tersebut. Pasalnya, saat itu, pernikahan digelar di tengah wabah Covid-19. “Saya akhirnya masuk lewat pintu samping. Saya nggak tahu kalau ada larangan mendokumentasikan,” kenang Nurhadi, Kamis, 26 Oktober 2022.
Nurhadi sempat mengambil tiga gambar suasana pernikahan, termasuk sosok Angin. Gambar tersebut kemudian dikirim ke redaktur Majalah Tempo. Tak lama setelah pengambilan gambar itu, Nurhadi diikuti oleh dua orang. “Saya difoto sama mereka,” katanya. Nurhadi memotret balik kedua orang itu. Kemudian melaporkan kepada redaktur Majalah Tempo. “Mereka ikuti saya. Dua orang berpakaian batik,” lanjut Nurhadi.
Tak sampai lima menit, sosok yang mengikuti Nurhadi mendorongnya ke pintu samping gedung—tempat Nurhadi memasuki ruang pernikahan. Di sana dia mulai diinterogasi. Nurhadi mencoba mengaku bahwa dirinya tamu dari mempelai perempuan. Keluarga dari mempelai perempuan dihadirkan dan tak mengenal Nurhadi. Merasa terdesak, lelaki asal Tuban ini akhirnya mengaku bahwa ia dari Tempo. “Nggak terima orangnya. Telepon genggam saya disita. Setelah itu saya dipiting. Mau dipukul, saya coba hindari lalu dibawa keluar,” ungkap Nurhadi.
Nurhadi dibawa ke Polres Tanjung Perak untuk diperiksa atas dasar melakukan keributan. Namun tidak sampai sepuluh menit perjalanan, petugas yang membawa Nurhadi diminta balik ke Graha Muda Samudera. Setiba di lokasi pernikahan, puluhan orang berpakaian batik, seragam polisi, dan setelan jas hitam memukulnya beramai-ramai. “Turun dari mobil sudah dikeroyok lalu dicekik,” katanya.
Tak ingin ada keributan di area pernikahan, Nurhadi dibawa ke salah satu gudang yang disulap menjadi tempat petugas beristirahat sekaligus tempat berganti pakaian. Pikir Nurhadi, ia tak akan mendapatkan kekerasan lagi. Namun saat baru duduk di kursi yang disediakan. Pukulan kembali melayang ke wajahnya. Setelah itu wajahnya dibekap menggunakan plastik berwarna merah. “Dijotos ditonjok, interogasi. Saya bicara seperlunya. Lalu minta rekan saya datang,” ujar Nurhadi.
Ia berulang kali diminta untuk membuka telepon genggamnya oleh petugas kepolisian. Namun Nurhadi menolak. Tak menuruti perintah itu, Nurhadi ditampar berulang kali. Merasa terdesak, Nurhadi akhirnya menuruti permintaan dengan terpaksa. “SIM Card, SD Card dirusak dan diformat ulang. Mereka juga merusak handphone saya,” katanya.
Selain disiksa, Nurhadi juga mengaku diancam. “Dikasih pilihan, dimasukkan ke Intensive Care Unit (ICU) atau dikuburkan,” ceritanya. Salah satu dari puluhan orang yang menyiksanya bahkan menyampaikan agar Nurhadi ditenggelamkan dengan cara kakinya diikat lalu dibuang ke laut. “Ada ancaman seperti itu,” kata dia.
Setelah acara pernikahan rampung, tepatnya sekitar pukul 11.00 WIB, Nurhadi dibawa ke salah satu hotel yang tak jauh dari lokasi pernikahan. Dari sana ia diminta untuk menghubungi petinggi Majalah Tempo dengan jaminan majalah mingguan itu tak menerbitkan foto yang dikirimnya ke redaktur. “Mereka takut fotonya tersebar,” kata Nurhadi.
Setelah ada pembicaraan dengan petinggi Majalah Tempo, Nurhadi akhirnya diantar pulang ke rumahnya pada pukul 1.30 WIB malam. Sesampainya di rumah, Nurhadi meminjam telepon istrinya, lalu menghubungi redaktur Tempo melalui Instagram. Esok paginya, petinggi Tempo menggelar rapat dan memutuskan memberikan perlindungan dan keamanan pada Nurhadi. “Saya dijemput tim pendamping, bawa kaos satu ransel, sama istri dibawa ke rumah aman. Sekitar jam 14.00 WIB kami lapor ke Polda. Langsung Kasubditnya terima. Setelah itu langsung visum,” kata Nurhadi.
Laporan ditujukan ke ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Kepolisian Daerah Jawa Timur, Jalan Ahmad Yani Surabaya, Minggu, 28 Maret 2021 dengan nomor laporan TBL-B/176/III/RES.1.6./2021/UM/SPKT Polda Jatim. Nurhadi melaporkan oknum polisi bernama Purwanto dan sejumlah orang lain dengan Pasal 170 KUHP dan atau Pasal 351 KUHP dan atau Pasal 335 KUHP dan atau Pasal 18 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dua bulan berselang, Mei 2021, Polda Jawa Timur menetapkan dua tersangka kasus kekerasan terhadap Nurhadi, antara lain Purwanto dan Muhammad Firman Subkhi yang merupakan anggota kepolisian di Polda Jatim. Meski telah berstatus tersangka, Kejaksaan tak melakukan penahanan terhadap dua orang tersebut.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan hukuman 10 bulan penjara kepada Purwanto dan Firman pada 12 Januari 2022 atau delapan bulan berselang. Vonis dibacakan di Ruang Cakra. Selain pidana penjara, terdakwa juga dikenai restitusi sebesar Rp13.890.000 kepada Nurhadi, serta saksi kunci berinisial F sebesar Rp 21.850.000. “Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana pers secara bersama sebagaimana dakwaan pertama,” ungkap Ketua Majelis Hakim Muhammad Basir, Rabu, 12 Januari 2022.
Purwanto kemudian membanding putusan tersebut. Hasil putusan banding di Pengadilan Tinggi Jawa Timur menyatakan mereka bersalah, namun pidana dikurangi menjadi delapan bulan. Saat ini proses hukumnya dalam tahap kasasi di Mahkamah Agung.
Serangan Digital Meningkat
Tindak kekerasan yang dialami Nibras dan Nurhadi merupakan contoh kasus dari banyak kekerasan yang dialami jurnalis di Indonesia. Sejak 2019-2022, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat ratusan kasus yang menimpa jurnalis. Pada 2019, sedikitnya ada 59 kejadian. Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito Madrim menjelaskan, jumlah kekerasan jurnalis tiga tahun lalu melejit ketika terjadi kerusuhan pada 20-21 Mei di depan Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Ketika itu, massa aksi yang mengklaim sebagai Gerakan Aksi Nasional Kedaulatan Rakyat menolak pengumuman penetapan pemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai Presiden-Wakil Presiden periode 2019-2024.
Setahun berselang kasus ini meningkat menjadi 84 kasus. Puluhan kasus tersebut sebagian besar terjadi saat masyarakat menolak revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Omnibus Law, dan RKUHP. Pada 2021 kasus menurun menjadi 42 kasus. Sementara Januari-Oktober 2022 terhitung sudah ada 39 kasus yang terjadi. “Sebabnya berkaitan dengan liputan yang mendalam atau tulisan-tulisan yang kritis terhadap pemerintah. Sebagian besar memang kasus kekerasan itu terjadi karena mereka tidak suka atau merasa dirugikan dengan pemberitaan,” kata Sasmito, Rabu, 25 Oktober 2022.
AJI Indonesia mengamati peningkatan tren kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di jagat maya. Ia mencontohkan kasus peretasan yang dialami 37 pegawai Narasi TV. Tak hanya itu, website Narasi TV juga sempat di-hack. AJI Indonesia bersama Lembaga Bantuan Hukum Pers melaporkan kejadian itu ke Kepolisian dengan aduan bernomor LP/B/0573/IX/2020/SPKT/BARESKRIM Polri pada 30 September 2022. “Serangan digital terhadap jurnalis menjadi sangat dominan hari ini, disusul serangan fisik,” ungkap Sasmito.
Menurut Sasmito, tidak sedikit kasus kekerasan terjadi menjelang tahun politik. “Ini memang berbahaya. Mungkin mendekati 2024, kemungkinan itu cukup kuat. Kasus berkaitan dengan kegiatan politik,” katanya.
Adapun pelaku kekerasan masih didominasi oleh polisi. AJI mencatat sepanjang 2006-2022 jumlah kasus yang dilakukan polisi terhadap jurnalis sebanyak 61 orang. Diikuti oleh massa sebanyak 60 orang, dan orang tidak dikenal 53 orang. Sejumlah kasus yang disebut Sasmito, sebenarnya telah dilaporkan ke kepolisian. Sayangnya, hingga saat ini tidak banyak kasus kekerasan jurnalis yang ditanggapi. Hal ini, menurut AJI, membuktikan kepolisian tidak serius menyelesaikan perkara yang menimpa jurnalis. “Sebagian besar kasus lain mangkrak. Jadi ini membuktikan adanya persoalan di tubuh polri yang memang harus direformasi,” kata Sasmito.
Serupa dengan itu, LBH Pers menerima banyak aduan kekerasan terhadap jurnalis. Kasus yang diterima lebih banyak berkaitan dengan doxing, peretasan, dan pelabelan hoaks pada pemberitaan media. Pengacara LBH Pers, Mustofa Layung menyampaikan pelabelan hoaks oleh polisi sempat terjadi pada 2021. Korbannya media Project Multatuli dan Republika. “Padahal untuk menilai hoaks atau tidak itu kewenangan Dewan Pers. Ini menjadi catatan bahwa serangan makin bervariasi,” kata Mustofa, Rabu, 25 Oktober 2022.
Sementara hingga Oktober 2022, LBH Pers mencatat tiga kasus yang sudah dilaporkan ke kepolisian. Sebelumnya, empat kasus pada 2020 dan 2019 delapan kasus. Seluruh kasus yang dilaporkan berkaitan dengan penghalangan kerja jurnalistik, intimidasi, dan kekerasan fisik. “Kami bahkan telah melaporkan juga ke bagian propam. Namun semua laporan itu hingga kini belum ada perkembangan,” ujarnya.
“Memang cukup disayangkan beberapa kasus tersebut tidak banyak lanjut. Kami berharap kepolisian memberikan pelayanan baik dengan melanjutkan kasus mangkrak,” lanjut Mustofa.
Terkait pelaporan yang mangkrak, Jaring.id telah mencoba menghubungi Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Listyo Sigit melalui Whatsapp. Namun hingga kini tak berbalas. Sementara itu, Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri, Kombes Nurul Azizah ketika dihubungi menyarankan agar perkembangan kasus menyangkut wartawan ditanyakan langsung ke masing-masing kepolisian daerah. “Silahkan dikonfirmasi di tempat yang ada laporannya karena kami belum terkonfirmasi dengan kasus tersebut,” kata Nurul melalui pesan Whatsapp, Kamis, 27 Oktober 2022
Hingga berita ini diturunkan. Jaring.id telah mengonfirmasi perihal mandeknya laporan kekerasan terhadap jurnalis kepada Juru Bicara Polda Metro Jaya, Kombes Endra Zulvan namun tidak berbalas. Panggilan telepon juga tidak diangkat.
Satgas Kekerasan Jurnalis
Menyikapi banyaknya kasus kekerasan di ranah digital terhadap jurnalis, Dewan Pers membentuk Satuan Tugas Kekerasan. Dewan Pers menilai serangan terhadap jurnalis dan media saat ini cukup mengkhawatirkan. Ketika tidak cepat ditangani hal itu akan mengancam kebebasan pers di Indonesia. Kasus Narasi TV, Tirto, dan Tempo, dan juga laporan kekerasan jurnalis lainnya sudah lebih dari cukup bagi Dewan Pers untuk menyikapi persoalan ini.
“Kalau lihat dari pola serangan digital memiliki kaitan dengan produk jurnalistik yang keluar viral dan hangat. Kami menduga serangan ada kaitan dengan pemberitaan. Serangan digital merupakan sebuah teror,” ungkap Ketua Bidang Pengaduan Dewan Pers, Arif Zulkifli, Jumat, 28 Oktober 2022.
Dewan Pers, kata dia, akan mengawal proses hukum yan diadukan jurnalis. “Selain itu, melakukan koordinasi dengan para pemangku kepentingan agar kekerasan tidak terjadi,” kata pria yang akrab dipanggil Azul ini, Jumat, 28 Oktober 2022.
Dewan Pers memprediksi kasus serangan, baik fisik maupun digital akan meningkat jelang Pemilu 2024. Azul mengkhawatirkan jika serangan digital berlanjut dan menjadi teror terhadap jurnalis dan media, maka ada kemungkinan media atau jurnalis akan melakukan self-censorship. “Prinsip main aman sangat berbahaya untuk kebebasan pers,” ujarnya.
Kekhawatiran Azul cukup beralasan. Di Thailand, tindakan self-censorship oleh media ini sudah terjadi. Jurnalis senior Pravit Rojanaphruk menyebut tindak kekerasan terhadap jurnalis nyaris tidak ada karena mayoritas media mainstream di Thailand melakukan self-censorship.
Media massa di Thailand tidak berani menyampaikan berita yang mengkritik institusi monarki atau kerajaan. Padahal partai politik seperti Move Forward Party, partai oposisi terbesar kedua di Thailand, telah terang-terangan menyampaikan kampanye soal reformasi monarki jelang Pemilu 2023. “Jadi saya tak bisa membayangkan bagaimana pemimpin asosiasi jurnalis Thailand bertemu dengan asosiasi jurnalis dari negara lain dan bicara soal kebebasan pers, tapi mereka tidak mau melihat dan tidak mau menyebut bahwa self-censorship yang mereka lakukan adalah problem,” ungkap Pravit kepada Jaring.id, Senin 24 Oktober 2022.
Guna mengantisipasi agar pers Indonesia tak jatuh pada pilihan “bermain aman,” Azul mengatakan bahwa Dewan Pers telah melakukan sejumlah langkah, diantaranya melakukan pertemuan dengan perwakilan Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, Bareskrim Polri, serta anggota Kantor Staf Presiden (KSP) untuk membahas masalah-masalah kekerasan baik fisik maupun digital yang dihadapi oleh media dan jurnalis. “Dalam waktu dekat akan melakukan koordinasi dengan lembaga terkait lagi,” ujarnya.
Selain itu, Dewan Pers juga hendak memperbarui Memorandum of Understanding (MoU) antara Dewan Pers dan Kepolisian. Dengan MoU tersebut Dewan Pers ingin memastikan agar sengketa pers diselesaikan lewat Dewan Pers. “Aturannya harus dirinci seperti apa yang mesti dilakukan penegak hukum di level daerah. Lalu di ujung kegiatan, kami lakukan sosialisasi,” kata Azul.
Langkah terakhir, Dewan Pers telah menyusun pedoman penggunaan media sosial bagi perusahaan pers. Aturan ini berlaku bagi media yang telah berbadan hukum sesuai dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Kata Arif, pedoman ini mengatur agar media wajib mencantumkan semua kanal media sosial di situs mereka dan akun media sosial dari media yang bersangkutan harus mencantumkan nama medianya secara resmi . “Pedomannya sudah dibuat. Sudah disahkan di pleno. Tinggal sosialisasi ke publik,” ujarnya.
Kebebasan Pers Terancam
Maraknya kasus kekerasan terhadap jurnalis menjadi salah satu indikator rendahnya kebebasan pers di Indonesia. Hal itu mengakibatkan Indeks Kebebasan Pers turun dari skor 62,60 pada 2021 menjadi 49,27 pada 2022. Reporter Without Border (RSF) dalam laporannya juga menyebutkan Indonesia berada pada peringkat 117 dari 180 negara. Merosot dari peringkat 113 pada 2021.
Beberapa yang menjadi catatan RSF adalah janji Presiden RI Joko Widodo untuk membuka keran kebebasan pers di Papua belum dilaksanakan. Selain itu juga ancaman pemidanaan jurnalis dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
Di negara-negara kawasan Asia Tenggara, indeks kebebasan pers Indonesia masih berada di bawah Thailand (50,15 point), Malaysia (51,55 point), dan Timor Leste (81,89 point). Kondisi di Malaysia tidak separah di Indonesia. Hal itu disampaikan oleh anggota Gerakan Media Merdeka (GeramM)—sebuah organisasi kumpulan jurnalis di Malaysia, Alya Alhajri. Ia mengatakan bahwa masalah kekerasan terhadap jurnalis jarang ditemui. “Malaysia tidak ada kekerasan fisik seekstrim Indonesia, Filipina atau Myanmar. Lebih ke online saja saat ini. Itu pun tidak sebrutal di Filipina,” kata Alya saat dihubungi melalui telepon, Kamis, 27 Oktober 2022.
Kasus serangan kepada jurnalis di Malaysia yang marak saat ini, menurut Alya, sebatas stalking, doxing, dan kekerasan berbasis gender online. “Saat pandemik banyak menggunakan live (siaran langsung). Masyarakat banyak komentar seksual di live itu. Serangan digital banyak seperti itu,” kata Alya.
Sementara terkait kasus pemilu hanya pernah terjadi pada 2018 lalu. Saat itu media nasional di Malaysia melaporkan peristiwa anggota DPR Malaysia yang berada di Sabah. Ini terkait dengan sosok anggota dewan yang dianggap bermasalah. Anggota dewan tersebut tak terima saat membaca berita itu dan begitu mengetahui jurnalis yang menulis laporan tersebut bertugas di gedung parlemen, maka ia sontak mengusirnya. “Kasus pemilu hanya itu saja yang terjadi,” ujar Alya.
Kendati demikian, perempuan yang bekerja di Malaysiakini ini tetap khawatir dengan kebebasan pers di Malaysia. Salah satunya karena di Negeri Jiran masih terdapat UU yang membungkam kebebasan berpendapat dan pers. Salah satunya UU terkait dengan hasutan. “Di Malaysia itu ada semacam undang-undang ITE,” ujarnya. Terlebih, jerat UU ini tidak dibarengi dengan mekanisme penyelesaian sengketa pers seperti yang ada di Indonesia.
Menurut Alya, Indonesia masih cukup baik karena memiliki Dewan Pers sebagai lembaga yang menjadi ruang untuk penyelesaian sengketa pers. Di Malaysia sejauh ini, menurutnya, belum ada lembaga yang menangani masalah pers. “Kami tidak memiliki Dewan Pers. Tidak ada juga undang-undang yang melindungi pers,” ujarnya.
Dari hal itu, GeramM menyusun pedoman keamanan bagi jurnalis ketika menghadapi kekerasan, baik sebelum maupun setelah terjadi kekerasan. Pedoman itu disusun bersama koalisi masyarakat sipil Malaysia dan Center for Independent Journalist. “Hal itu untuk antisipasi serangan,” kata Alya.
Di Thailand, kekerasan terhadap jurnalis nyaris tidak pernah terjadi pascapemilu 2019. Namun ini bukan karena situasi negara lebih demokratis, tapi karena media massa dan jurnalis melakukan self-censorship, terutama dengan isu yang berkaitan dengan kerajaan.
Sementara serangan digital lebih banyak menyasar anak-anak muda pengguna media sosial. Thailand menggunakan dua UU untuk menjerat aktivis yang mengkritik monarki dan mempostingnya di media sosial, yakni UU Lese Majeste dan UU Komputer. “Orang-orang tidak lagi percaya pada media mainstream. Orang-orang memilih menerjemahkan berita dari media asing, terutama terkait dengan kritik terhadap monarki, lalu membaginya ke twitter, facebook, dan kemudian mereka ditangkap,” ungkap Pravit.