Gereja Harus Memihak Penyintas Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual di lingkungan Paroki Santo Herkulanus, Depok, Jawa Barat membuka tabir gelap yang menyelubungi gereja. Badan Kerjasama Bina Lanjut Imam Indonesia (BKBLII) yang dibentuk oleh Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tengah menelusuri para penyintas yang kebanyakan adalah anak di bawah umur. Mereka sehari-hari bekerja di lingkungan gereja. Sampai saat ini belum ada data lengkap mengenai jumlah pasti korban kekerasan seksual di lingkungan gereja seluruh Indonesia.

Anggota BKBLII, Romo Fransiskus Iwan Yamrewav percaya bahwa kasus yang mengemuka belakangan ini hanya permukaan gunung es. Pasalnya pihak gereja kerap menyelesaikan kasus kekerasan seksual yang dilakukan pemuka agama secara kekeluargaan maupun hukum adat. Para pelaku hanya dijatuhi sanksi berupa pemindahan tempat bertugas maupun denda tanpa harus menjalani proses hukum. Terkait hal itu, Jaring.id mewawancarai Romo Iwan pada Sabtu, 11 Juli 2020. Berikut petikannya

Anda ditugaskan menjadi salah satu anggota Badan Kerjasama Bina Lanjut Imam Indonesia (BKBLII) bagian hukum. Apa yang sudah BKBLII lakukan dalam konteks kekerasan seksual?

Sejak beberapa tahun lalu kami bentuk tim protokol karena berkaca dari Paus Fransiskus berkenaan dengan sexual abuse. Akhirnya dirumuskan harus ada protokol yang jelas untuk Indonesia. ini tidak semata bersumber dari gereja Katolik tapi bekerjasama dengan hukum positif di Indonesia seperti menggunakan KUHP, Undang-Undang Perlindungan Anak, UU ITE dan UU KDRT. Nah ini menjadi satu modul.

Kami juga mengadakan sosialisasi melalui workshop. Kami mengadakan tiga kali workshop dengan mengundang para uskup di Indonesia.  Kami juga sudah membuat protokol safe guardian for children. Animo gereja, dalam hal ini keuskupan, cukup positif karena mengirimkan utusannya. Termasuk mereka yang punya power membuat policy di wilayah masing-masing.

Bagaimana Anda memandang kekerasan seksual di lingkungan gereja?

Peristiwa yang terjadi di Gereja Herkulanus Depok, Jawa Barat menjadi heboh karena jumlah penyintas sekian banyak. Ada yang bilang 20, ada yang bilang 31 orang. Kebanyakan penyintas di bawah umur. Ini fatal sekali karena menyangkut anak. Fakta yang terungkap bisa jadi hanya ujung dari puncak gunung es. Sementara kalau mau dikumpulkan ada berapa kasus kekerasan seksual? Saya yakin jumlahnya lebih banyak. Hanya saja kultur di Indonesia menganggap hal seperti ini sebagai aib kalau diceritakan ke orang lain. Lalu, kultus individu masih cukup kuat sehingga para penyintas dan keluarga malu, takut, dan sungkan untuk menceritakannya. Apalagi disampaikan kepada pihak berwajib.

Alih-alih menuntaskan, acapkali pimpinan gereja malah mengambil langkah memindahkan pelaku kekerasan seksual. Menurut Anda hal itu tepat?

Pemindahan itu kan hukum adat. Bisa juga dengan melakukan denda, tetapi itu hanya pelanggarannya saja. Kalau dalam diri pelaku ada kecenderungan melakukan itu (kekerasan seksual-red) lagi, dipindah ke mana pun akan sama hasilnya. Mau dipindah ke A atau ke B kalau diri pelaku tidak dibereskan dulu pasti akan terulang lagi. Kalau pelaku kekerasan seksual salah, harus dihukum dengan hukum sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

Jadi pemindahan pelaku tidak akan menyelesaikan masalah?

Tidak bisa.

Sepengetahuan Anda, ada berapa jumlah korban atau penyintas kekerasan seksual?

Kami belum memunyai data yang pasti. Semua serba kata orang. Kita tidak bisa menggunakan itu dengan valid. Salah satu mimpi kami ke situ (mengumpulkan data penyintas-red). Kita ingin mengumpulkan data yang valid mengenai kasus-kasus yang terjadi agar kita bicara berdasarkan data. Kita ingin punya data yang akurat dan terus diperbarui. Ketika sudah terkumpul, kami membayangkan dapat dijadikan untuk mencegah tindakan berulang sampai melakukan pendampingan terhadap penyintas.

Bila kasusnya tidak sedikit, mengapa penyintas belum berani bersuara?

Konteks Indonesia berbeda dengan di Boston awal 2000-an. Di sana masyarakat pada awalnya tidak berani bersuara. Akan tetapi pada saat ada wadah yang menampung suara mereka, mereka (penyintas-red) lalu bersuara. Di Indonesia, penyintas mengalami berbagai tantangan. Antara lain penyintas merasa malu dan keluarga mendiamkan. Kedua, kita berhadapan dengan pemuka agama gereja. Ketiga, kultus invididu. Lalu masih ada anggapan kalau dibuka nama gereja akan jelek. Pandangan itu yang menjadi tantangan utama.

Bukan karena pihak gereja menyembunyian kasus?

Bahasa yang dipakai masyarakat umum memang menyembunyikan. Namun, setelah saya pahami, bukan menyembunyikan. Lebih tepatnya menyelesaikan secara kekeluargaan. Saya secara pribadi berpandangan tidak bisa itu disembunyikan. Kalau itu salah secara hukum, ya diproses secara hukum. Kalau salah, ya salah. Kalau tidak, ya tidak. Itu di hadapan hukum begitu bunyinya. Dia mau Pastor atau umat kalau dia melanggar hukum harus diproses dengan hukum berlaku.

Dalam hal ini pihak gereja ingin penyintas agar bersuara?

Saya berharap begitu. Prinsip utama selalu cinta kasih. Di dalamnya terkandung unsur keadilan dan martabat manusia, sehingga salah satu bentuk keadilan dan memperjuangkan martabat mereka dengan mendengarkan suara penyintas dan menyuarakan suara mereka. Seperti yang dikatakan oleh Uskup di Timor Leste dengan ungkapan Voice of the Voiceless. Seharusnya gereja itu menjadi corong bagi mereka yang tidak bisa bersuara. Kita ingin arahnya ke sana, walaupun ini akan sangat menyakitkan.

Maksudnya menyakitkan?

Pasti akan mengguncang. Kalau konteks gereja katolik Indonesia, ini akan mengguncang struktur. Tapi pemimpin tertinggi kita, Paus Fransiskus sudah tegaskan tidak ada toleransi terhadap kejahatan seksual buat anak dan dewasa rentan.

Bagaimana upaya pihak gereja untuk mencegah peristiwa terulang?

Di dalam lingkup gereja Katolik Indonesia, kami ada protokol namanya safe guardian for children. Kita ingin menciptakan lingkungan gereja dalam arti segala aktivitas dan kegiatan yang menyangkut gereja harus memerhatikan protokol dan menyediakan ruang aman bagi anak dan remaja. Ini sudah disebarkan ke keuskupan. Tinggal bagaimana protokol ini diimplementasikan di daerah.

Kalau bagi penyintas bagimana sikap yang diambil pihak gereja?

Terlepas dari siapa pun pelakunya, prinsipnya pendekatan yang diambil harus berpihak pada penyintas. Ini yang menjadi pegangan utama. Ketika pendekatan ini tidak dimiliki dalam menangani kasus, maka tidak akan pernah terbuka dan tuntas sebuah kasus kekerasan seksual. Para penyintas tidak bisa kita biarkan atau mengabaikan mereka, apalagi dibungkus dengan alasan suci. Pihak gereja wajib mendampingi sampai tuntas.

Tuntas seperti apa?

Kalau sampai di meja hijau harus sampai tuntas secara hukum, itupun belum tuntas bagi penyintas.  Efeknya seumur hidup. Tidak hanya sebagai penyintas tapi keluarganya juga. Ini kan bukan suka tidak suka, mau tidak mau, bisa tidak bisa. Ini soal keadilan dan martabat manusia. Hidup mereka hancur, apalagi dilakukan sejak kecil. Penyintas yang mengalami seperti itu harus menanggung derita seumur hidup, hidup mereka gelap, selama pelaku melenggang bebas.

Mengapa pelaku berani melakukan kejahatan kepada anak-anak gereja?

Bisa jadi dulunya pelaku adalah korban yang tidak mendapatkan penanganan yang memadai. Akibatnya luka lama yang muncul mendorong melakukannya (kekerasan seksual-red) lagi. Tapi tidak selalu pelaku itu dulunya korban ya.

Pimpinan gereja terkesan bergeming?

Mungkin belum ada akses atau belum ada kanal. Saya rasa cukup banyak yang bersedia bersuara. Kalau pun tidak terbuka, biasanya minta identitasnya dirahasiakan. Saya kira banyak pejabat gereja yang diminta keterangan perihal kekerasan seksual.

Apakah pernah ada pimpinan gereja terbuka melaporkan kasus kekerasan seksual?

Saya kira ada, tetapi sekali lagi melaporkanya kepada siapa kita tidak tahu.

Ke depan apa yang akan dilakukan BKBLII?

Menurut saya pribadi, kolaborasi dengan rekan wartawan yang memiliki data menjadi sangat mendesak agar perjuangan ini menjadi perjuangan bersama. Mudah-mudahan memunculkan kesadaran bersama bahwa di mana pun kejahatan terjadi harus dilawan. Entah dalam konteks gereja atau masyarakat luas atau institusi mana lagi kalau ada kejahatan di situ yang mencederai keadilan dan merendahkan martabat manusia harus dilawan.

Dirjen PSDKP KKP: Kami Bisa Membaur dengan Pelaku

Berdasarkan indeks risiko IUU Fishing yang dirilis Global Initiative Against Transnational Organized Crime (Gitoc) pada Desember 2023, Indonesia tercatat sebagai negara terburuk keenam dari 152 negara dalam menangani praktik illegal, Uunreported, and unregulated fishing (IUUF).

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.