Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menilai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi memungkinkan untuk dijadikan landasan pemberian sanksi kepada Ketua KPK Firli Bahuri. Pasal 32 ayat 1c UU ini mengatur soal perbuatan tercela, sementara ayat 1g terkait dengan sanksi. “Kalau kami lihat potensinya bukan sekadar perbuatan tercela, tapi dikenakan sanksi menurut UU ini,” ucapnya dalam diskusi daring bertajuk Menelisik Makna Perbuatan Tercela dan Alasan Hukum Pemberhentian Pimpinan KPK pada Jumat, 25 Juni 2021.
Meski begitu, menurut Zainal, persoalanya terletak pada kategori tercela yang tidak terperinci. “Ada keribetan tersendiri kalau mau mengualifikasi perbuatan tercela. Atau kalau ada keberanian Dewan Pengawas untuk mengualifikasikan perbuatan tercela. Itu tergantung dewasnya, lalu setelah itu menjatuhkan sanksi,” ungkapnya.
Dalam konteks hukum di Indonesia selama ini, kata Zainal, perbuatan tercela kerap diasosiasikan sebatas asusila atau terkait dengan penggunaan narkoba. Hal ini berbeda dengan kontruksi hukum di Amerika Serikat yang mana pengertiannya dapat diperluas dan fleksibel. Menurutnya, perbuatan tercela di Negeri Paman Sam dapat juga dikaitkan dengan kebohongan publik di bawah sumpah. Contohnya saat DPR AS menyetujui pemakzulan Presiden AS ke-42 Bill Clinton lantaran melakukan kebohongan publik.
Selain menggunakan UU KPK, Zainal berpendapat bahwa Firli bisa juga digugat secara perdata. Akan tetapi proses ini sangat bergantung pada integritas dan imparsialitas Pegadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Semua pilihan ada plus minus dan tidak ada pilihan terbaik. Bergantung keperdataannya, keberanian dewas dan independensi PTUN,” katanya
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati ragu Dewan Pengawas KPK dapat menunjukkan taringnya di hadapan pimpinan KPK. Selama ini, kata dia, Dewas tidak pernah berhasil menyelesaikan laporan dugaan pelanggaran etik yang disematkan pada pimpinan. Itu sebab, menurutnya, sudah saatnya Presiden Joko Widodo bertindak tegas terhadap segala upaya pelemahan pemberantasan korupsi. Pasalnya ia menduga adanya upaya obtruction of justice atau merintangi proses hukum di KPK. “Ada pernyataan-pernyataan yang bertolak belakang. Ada bau amis dipersoalan TWK. Terakhir ada beberapa pengawai di profiling yang menangani beberapa kasus tertentu,” kata Asfinawati.
Sejumlah laporan terhadap pimpinan KPK ini telah dilayangkan sejumlah pihak, baik ke Dewan Pengawas KPK, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) maupun Komnas Perempuan. Asfinawati yang juga bertindak sebagai penasihat hukum pegawai KPK yang tidak lolos menjadi ASN menyebutkan bahwa terdapat sejumlah kejanggalan dalam proses seleksi. Pimpinan KPK setidaknya diduga telah melakukan tiga pelanggaran utama, yakni dugaan pelanggaran HAM, maladministrasi dan pembangkangan terhadap perintah Presiden Jokowi. Seluruhnya terkait dengan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai alih status ASN bagi pegawai KPK. “Kami berharap akhir bulan ini atau awal bulan depan laporan sudah bisa ditindaklanjuti. Komnas Perempuan terakhir mereka bertanya ke BKN. Untuk Komnas HAM semakin banyak yang diperiksa,” ujarnya.
Sebelumnya, gerak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diduga tidak lagi leluasa di bawah kepemimpinan Firli Bahuri. Mulai dari dugaan penyingkiran 75 pegawai KPK melalui tes wawasan kebangsaan, dugaan memperdagangkan kasus, kebocoran informasi terkait operasi tangkap tangan hingga gratifikasi. “Ada ketegasan dan sanksi yang bisa dijatuhkan dari sisi administratif bagi pejabat publik yang membangkang perintah presiden,” katanya.
Dalam laporan terbaru ke Dewan Etik KPK pada Jumat, 11 Juni 2021 lalu, ICW melaporkan Firli telah melakukan pelanggaran etik atas penyewaan helikopter. Firli diduga tak menyampaikan secara jujur diskon yang diterima saat menggunakan helikopter ke Batu Raja, Sumatera Selatan hingga Rp 140 juta. Komjen polisi ini hanya mengumumkan ke publik bahwa biaya perjalanannya sekitar Rp 31 juta. Pengakuan ini, menurut ICW, sudah menyalahi ketentuan Pasal 4 Peraturan Dewas Nomor 2 tahun 2020 yang mengatur Pimpinan KPK harus bertindak jujur dalam berperilaku.
Koordinator Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter Kaban menegaskan bahwa Ketua KPK Firli Bahuri layak mendapat sanksi paling berat berupa rekomendasi pemberhentian dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Hal ini perlu dilakukan karena Firli diduga sudah berkali-kali melakukan pelanggaran etik sejak bergabung di KPK. “Kita berharap putusan itu diambil. Bukan sekali pelanggaran, sudah ada beberapa. Hal itu harus jadi pemberat dalam menjatuhkan sanksi,” kata Lalola.
Bahkan sebelum dipilih sebagai Ketua KPK, penanganan kasus korupsi diduga bocor sejak Firli bergabung. Firli ditengarai punya hobi memfoto presentasi penyidik dan penyelidik. Laporan media yang bergabung dalam konsorsium Indonesialeaks menyebut bahwa Firli hobi memfoto persentasi penyidik dan penyelidik. Sumber menyebut perilaku ganjil ini sudah dilakukan Firli sejak menjabat Deputi Penindakan April 2018. Padahal menurut Wakil Ketua KPK saat itu, Saut Situmorang peserta rapat dalam gelar perkara tidak boleh membawa alat komunikasi. Alasannya untuk menghindari kebocoran.