Latar Belakang
Bulan April 2018 lalu, berita tentang perkawinan anak usia 16 tahun dan 14 tahun di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan mendadak viral di media sosial. Sejumlah kalangan merasa prihatin dan mengecam masih terjadinya praktik kawin enak di era di mana informasi tentang bahaya perkawinan anak sudah banyak disebarluaskan. Ironisnya, di Bantaeng dan juga sejumlah wilayah lain di Indonesia, perkawinan anak bukan hal aneh dan mendapatkan pemakluman dari masyarakat sekitar. Malah bisa dikatakan, masyarakat menjadi pendorong terjadinya kawin anak tersebut.
Laporan Vice.com yang dirilis pada 27 April 2018 menunjukkan bahwa perkawinan anak sudah jadi hal lumrah di Sulawesi Selatan. Argumen bahwa lebih baik dinikahkan daripada berbuat zina yang dilontarkan masyarakat kerap menjadi argumen pembenar perkawinan anak. Sementara keberadaan UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan pernikahan baru diizinkan bila laki-laki telah berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun—bahkan terdapat dispensasi jika ternyata perempuanya masih di bawah usia 16 tahun, juga menjadi legitimasi perkawinan anak. Meskipun UU Perlindungan Anak dan UNICEF mengategorikan anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah, tapi UU Perkawinan Anak tidak mengubah syarat umur bagi perempuan yang bisa menikah.
Sejumlah penelitian menunjukkan perkawinan anak memiliki dampak panjang dan risiko besar bagi perempuan dan anak-anak, mulai dari risiko kematian ibu melahirkan, kematian dan atau pertumbuhan bayi yang tidak normal, hingga tindak kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan dan anak.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan 1 dari 4 anak perempuan di Indonesia telah dikawinkan pada umur kurang dari 18 tahun dari tahun 2008 hingga 2015. Sebuah penelitian menunjukkan tingginya perkawinan anak di Indonesia mencerminkan masih tingginya ketidaksetaraan gender. Indonesia memiliki Indeks Ketidaksetaraan Gender atau Gender Inequality Index (GII) pada tahun 2015 sebesar 0,467. Nilai GII adalah kisaran antara 0 sampai 1. Angka 0 berarti ketidaksetaraan 0%, dan 1 artinya ketidaksetaraan 100%. Nilai GII Indonesia masih berada pada peringkat ke-105 dari 159 negara. Peringkat ini lebih rendah dari Cina (GII 0,164, peringkat ke-37) dan Filipina (GII 0,436, peringkat ke-96).
Indeks Ketidaksetaraan Gender mencerminkan ketidaksetaraan berbasis gender dalam tiga dimensi yakni kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan kegiatan ekonomi. Nilai GII yang tinggi, bahkan berkorelasi dengan tingginya angka kematian ibu di berbagai negara. Di Indonesia, Angka Kematian Ibu (AKI)—menurut Sensus Penduduk 2014—adalah 305 per 100.000 kelahiran hidup. Hal yang lebih menyedihkan, kematian ibu melahirkan banyak terjadi pada perempuan yang melahirkan di bahwa usia 20 tahun. Laporan BPS tahun 2016 menunjukkan sekitar 26,16% perempuan yang melahirkan anak pertama mereka berada pada usia di bawah 20 tahun.
Sayangnya, isu-isu semacam ini kurang dipahami media dengan baik. Alih-alih mengungkap akar masalah perkawinan anak atau membongkar musabab tingginya kekerasan dalam rumah tangga, media lebih suka sekadar menyajikan sensasionalitas peristiwa. Belum lagi ditambah kondisi bahwa mayoritas media di Indonesia dalam semua jenis peliputannya masih bias gender. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan UNESCO pada tahun 2012 meluncurkan kerangka indikator untuk mengukur sensitivitas gender pada organisasi dan konten media. Peluncuran kerangka indikator ini, menurut AJI, dilandasi keprihatinan bahwa mayoritas media di Indonesia dalam semua jenis peliputannya masih bias gender. AJI mengakui masih banyak pengelola ruang redaksi diisi oleh jurnalis yang belum mempunyai pemahaman soal gender, sehingga perspektif yang muncul masih sangat maskulin.
Selain persoalan perspektif, masalah lain yang dihadapi para jurnalis adalah ketidaktahuan di mana atau ke mana mereka harus mencari data tentang kasus-kasus pelanggaran hak perempuan dan anak. Kalaupun data atau dokumen sudah diperoleh, mayoritas jurnalis kesulitan membaca dan menganalisa data tersebut. Sehingga yang terjadi kemudian kebanyakan jurnalis mengandalkan pemberitaan mereka hanya pada statement dari sejumlah pihak yang terlibat atau memiliki kepedulian terhadap peristiwa terkait. Hal ini menjadikan laporan yang dibuat para jurnalis menjadi kurang mendalam.
Di sinilah kemudian menjadi penting membekali para jurnalis tentang bagaimana meliput dan melaporkan isu perempuan dan anak secara mendalam dan tidak bias gender. Jaringan Indonesia untuk Jurnalisme Investigasi (JARING) dan PPMN (Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara) berkolaborasi dengan Koalisi Cegah Kawin Anak di Sulawesi Selatan, menyelenggarakan program pengembangan kapasitas jurnalis yang terdiri dari lokakarya (14-16 Desember), beasiswa, dan diskusi publik.
Penyelenggara akan memilih 20 jurnalis yang berhak mengikuti lokakarya. Setelah itu trainer akan menyeleksi enam jurnalis berdasarkan proposal liputan yang mereka tulis untuk mendapatkan beasiswa liputan. Ke-6 jurnalis ini akan mendapatkan mentoring selama proses liputan dari dua jurnalis senior dan bantuan dari tenaga riset JARING. Jurnalis penerima beasiswa akan menerbitkan atau menyiarkan hasil laporan jurnalistiknya di media masing-masing.
Tujuan
Program ini bertujuan untuk:
- Mendorong para jurnalis lebih memahami isu perempuan dan anak dalam perspektif yang tidak bias gender.
- Membekali para jurnalis dengan kemampuan membaca dan menganalisa data terkait isu perempuan dan anak.
- Membekali para jurnalis dengan kemampuan membuat perencanaan liputan dan laporan mendalam.
- Mendorong para jurnalis membuat laporan mendalam yang bisa menjadi rujukan advokasi para organisasi masyarakat sipil yang bergerak di isu perempuan dan anak.
Ketentuan peserta
- Jurnalis yang bekerja di Sulawesi Selatan dan sekitarnya
- Pengalaman bekerja sebagai jurnalis minimal 3 tahun
- Mengisi formulir pendaftaran online
- Menulis esai pendek (300-400 kata) dengan topik Perkawinan Anak di wilayah Anda bekerja
- Mendapatkan surat izin dari pimpinan media/lembaga tempat bekerja
Trainer/Mentor
- Heru Margianto – Wakil Redaktur Pelaksana Kompas.com
- Tika Widyaningtyas – Analis Data di Katadata.co.id
Narasumber
- Maria Hartiningsih (Jurnalis Senior Harian Kompas)
- Perwakilan lembaga pemerintah dan organisasi masyarakat sipil penggiat upaya cegah kawin anak terkait di Sulawesi Selatan
Kegiatan
1. Pendaftaran online (2 November-1 Desember 2018)
Pendaftaran peserta dilakukan secara online dengan mengisi formulir pada tautan http://tiny.cc/beasiswa_jaring Pendaftaran harus dilengkapi dengan menyertakan surat izin resmi dari redaksi yang diunggah saat mengisi formulir. Format surat redaksi dapat diunduh melalui tautan http://tiny.cc/izin_redaksi
2. Seleksi peserta lokakarya (2-4 Desember 2018)
Penyelenggara bersama trainer akan menyeleksi berdasarkan ketentuan yang diminta serta artikel esai yang ditulis calon peserta. Kualitas esai akan memiliki bobot khusus dalam penilaian.
3. Lokakarya liputan mendalam (14-16 Desember 2018)
Lokakarya ini akan diadakan di Makassar selama 2,5 hari, diikuti oleh 20 jurnalis yang sudah terseleksi berasal dari berbagai platform media: cetak, televisi, radio dan online. Mayoritas jurnalis berasal dari Sulawesi Selatan.
4. Beasiswa liputan (Januari-Februari 2019)
Beasiswa liputan dengan topik perkawinan anak. Seleksi penerima fellowship (enam/6 orang) dilakukan berdasarkan proposal liputan yang dikirimkan pasca para jurnalis mengikuti lokakarya liputan mendalam di Makassar.
Enam fellows akan mendapatkan mentoring selama proses liputan dari 2 jurnalis senior dan bantuan dari tenaga riset JARING.
Masing-masing fellow akan menerbitkan atau menyiarkan hasil laporan jurnalistiknya di media masing-masing.
5. Diskusi Publik di Makassar (Maret 2019)
Diskusi hasil liputan dari tim fellows dengan mengundang perwakilan organisasi masyarakat sipil serta lembaga pemerintah di Sulawesi Selatan.
Dihadiri oleh sekitar 50 peserta dari kalangan jurnalis, organisasi masyarakat sipil, akademisi, mahasiswa dan perwakilan lembaga/pemerintah.