Edward Aspinall: Kebebasan Sipil di Indonesia Merosot

Demokrasi di Indonesia makin merosot. Kondisi itu mulai tampak di awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan anjlok ketika Joko Widodo menjabat presiden. Hal itu, diungkapkan Ilmuwan Politik dari Australia Nasional University, Edward Aspinall.

Menurut dia, ada beberapa peristiwa, mulai dari represi aparat terhadap para pengunjukrasa, pengesahan KUHP, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga pemberlakukan UU ITE secara massif yang mencederai demokrasi. Kendati demikian, masih ada upaya masyarakat untuk mempertahankan demokrasi. “Saya sangat yakin bahwa pada umumnya masyarakat Indonesia mendukung demokrasi,” ujarnya kepada Jaring.id pada Jumat, 10 Februari 2023.


Kondisi demokrasi di Indonesia

Pengamatan saya kurang lebih sama dengan mayoritas pemerhati pengamat politik Indonesia, yaitu bahwa Indonesia mengalami sebuah terobosan yang luar biasa dengan jatuhnya rezim Orde Baru pada akhir dekade 90-an. Dan kurang lebih kemajuannya itu terus berlanjut di bidang demokrasi sampai periode awal Presiden SBY. Setelah itu mengalami stagnasi. Kurang lebih 8 tahun atau bersamaan dengan naiknya Presiden Jokowi mulai mengalami regresi.

Walau regresi itu belum terlalu dahsyat dalam hal bahwa sampai saat ini banyak institusi-institusi fundamental dari sistem demokrasi masih menguat, tetapi dalam banyak hal terlihat adanya kemunduran. Terutama dalam beberapa aspek dari kebebasan masyarakat, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berorganisasi, yang agak mengkhawatirkan akhir-akhir ini.

Dua pilar demokrasi

Kalau kita bicara demokrasi pada intinya terdiri dari dua pilar, yakni pemimpin dipilih oleh masyarakat bukan sekelompok elit, oleh pemimpin partai atau oleh perwira tinggi militer, melainkan oleh seluruh warga. Pilar kedua adalah bahwa pemilihan dilakukan dalam kondisi kebebasan sipil. Karena kalau kebebasan sipil dibatasi, maka akan terjadi demokrasi semu.

Jadi kebebasan sipil sudah mulai terlihat agak mundur, mulai digerogoti sejak 8-10 tahun lalu. Sedangkan yang dikhawatirkan baru-baru ini adalah berbagai pertanda. Walaupun kita belum bisa mengambil kesimpulan, pertandanya ialah mulai adanya rongrongan terhadap sistem pemilu, misalnya intervensi terhadap partai politik. Kemudian intervensi kepada penyelenggara pemilu. Intervensi terhadap penegakan hukum. Supaya penegakan hukum, aparat keamanan atau polisi digunakan untuk menghambat jalannya kelompok oposisi. Itu yang lebih mengkhawatirkan.

Seandainya itu terjadi, maka proses kemunduran demokrasi di Indonesia akan memasuki fase baru. Saya sudah 5 tahun memerhatikan kondisi demokrasi di Indonesia, saya berkesimpulan bahwa demokrasi di Indonesia itu mulai terancam.

Kebebasan sipil digrogoti

Sejak adanya Perppu Ormas, kita bisa melihat reaksi pemerintah terhadap demonstrasi-demostrasi mahasiswa saat lolosnya UU Omnibus Law. Contoh lain, ialah dimasukkannya lagi pasal mengenai penghinaan terhadap presiden dalam KUHP baru-baru ini dan banyak lagi, saya kira contoh-contohnya.

Walaupun bisa dikatakan kalau kita membandingkan dengan beberapa negara yang mengalami kehancuran demokrasinya, seperti di Thailand atau di Myanmar, tentu saja kejadian di Indonesia tidak sedahsyat dan tidak sebrutal negara itu. Regresi di Indonesia terjadi secara perlahan-lahan. Secara gradual, tapi saya kira cukup terlihat jelas prosesnya.

Asa menyelamatkan demokrasi

Didukung oleh sejarahnya bahwa demokrasi yang sekarang bukan dibangun secara kebetulan, tetapi berdasarkan pengorbanan yang dilakukan banyak orang. Bukan hanya di Jakarta, ada Gerakan Mei 1998, tetapi juga oleh pengorbanan dan perjuangan banyak orang di berbagai daerah di Indonesia. Jadi saya sangat yakin bahwa pada umumnya masyarakat Indonesia mendukung demokrasi.

Masalah yang akan dihadapi

Yang menjadi masalah utama adalah masalah struktural. Pertama, kesenjangan yang semakin lebar antara elit yang sangat kaya raya dan oligarkis dengan mayoritas masyarakat. Jadi ada masalah struktural

Lalu ada polarisasi. Karena menurut berbagai peneitian, bukan hanya di Indonesia tetapi di beberapa negara. Seringkali proses regresi demokrasi dibidani oleh polarisasi yang terjadi di dalam masyarakat. Sehingga dalam kondisi masyarakat yang terpolarisasi, ada sebagian masyarakat yang secara abstrak dan konseptual tetap mendukung demokrasi sebagai sistem yang baik, tetapi dia bersikap toleran akan tindakan antidemokratis kalau tindakan itu diambil untuk merugikan orang yang dianggap sebagai lawan.

Bukan sebuah kebetulan juga bahwa terjadinya kemerosotan atau regresi demokrasi di mana polarisasi politik itu semakin besar. Fenomena Cebong-Kampret, menurut saya, harus dicatat juga sebagai proses regresi terhadap demokrasi. Sebagian masyarakat akan bersikap toleran terhadap tindakan antidemokrasi asal tertuju pada lawan politiknya. Itu menjadi sesuatu yang complicated.

Hoaks dan regresi demokrasi

Hoaks itu bukan faktor utama. Faktor utamanya adalah proses konsolidasi di tingkat elit dan menguatnya baik di tingkat struktural maupun ideologis pola-pola lama di kalangan elit. Itu yang menjadi faktor utamanya. Tapi kalau kita melihat polarisasi sebagai salah satu faktor yang mempunyai peran dalam terjadinya proses kemerosotan atau regresi terhadap demokrasi barangkali hoaks juga berperan di situ. Karena seringkali orang akan percaya hoaks atau tidak mengambil sikap kritis terhadap hoaks, jika yang mereka baca dan lihat secara online adalah cerita-cerita jelek mengenai orang yang mereka anggap sebagai lawan politik atau dari kubu yang berseberangan dengannya.

Saya kira hoaks berperan dalam hal mempersiapkan masyarakat untuk menerima proses regresi terhadap demokrasi itu sendiri. Hoaks akan melakukan proses delegitimasi terhadap kelompok oposisi terhadap pemerintah, misalnya. Jadi, saya kira, begitu peran hoaks dalam proses regresi demokrasi.

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.